matamaduranews.com-BANGAKALAN-Ridwan Yusuf, salah satu jurnalis Bangkalan mengaku mendapat pengetahuan bathin saat kali pertama berjumpa dengan Ra Lilur. Pengetahuan itu ia rasakan hingga Ra Lilur wafat.
Berikut testimoni Iwan-panggilan akrabnya-saat bercerita kepada Mata Madura.
Nama Ra Lilur pertama kali masuk ke telinga saya sejak tahun 2000-an. Nama beliau diperkenalkan oleh orang tua saya yang memang dibesarkan di kalangan NU. Sewaktu muda, ortu sering bercerita tentang sosok Ra Lilur yang hidup dalam kesederhanaan. Dari cerita itu, menginspirasi saya untuk mengetahui dan berkenalan tentang sifat dan sosok beliau yang masih keturunan Syaichona Moh Kholil, waliyullah yang termashur di Madura.
Namun, muncul pertanyaan dalam benak saya. Apakah benar beliau seperti dibicarakan banyak orang. Maklum, di lingkungan pesantren cerita semacam itu menjadi hal yang luar biasa. Puncaknya pada tahun 2012, sosok Ra Lilur kembali menghantui perasaan saya. Ketika mendengar nama Ra Lilur, hati langsung ingin lebih tahu. Tapi, informasi sosok beliau beragam. Ada anggapan, bila hendak bertemu Ra Lilur mengalami kesulitan. Jika tamu tidak dikehendaki, sulit akan ditemui. Hal itu yang mendorong semangat kian menggebu untuk sowan.
Waktu itu, hari Sabtu, saya mengajak seorang teman satu profesi untuk sowan kepada beliau di rumah abdi dalemnya, di Desa Banjar, Kecamatan Galis. Tiba di kediaman Ra Lilur Pukul 11.00 WIB. Namun, disuruh menunggu oleh abdi dalemnya. Waktu itu, hati kembali diselimuti banyak pertanyaan, kenapa tidak langsung ditemui. â€Apa benar memang beliau tidak berkenan dengan kehadiran saya,†gumam dalam hati. Lebih dari tiga jam saya menunggu sambil menenangkan hati.
Tak kunjung ditemui, saya tawassuli beliau dari dalam mushalla. Bahasa kerennya dikontak batin, sambil berharap agar kami bisa bertemu. Setelah lama menunggu, akhirnya kami berdua disuruh masuk oleh abdi dalemnya. Saat itu, saya menyaksikan langsung kezuhudan beliau, Ra Lilur berada di dalam sebuah kamar dengan ubin masih terbuat dari tanah. Itu yang saya saksikan.
Dari raut wajahnya terlihat kejernihan hati dan jiwa beliau. Auranya langsung masuk pada kedalaman jiwa. Saat melihat beliau, hati dan jiwa ini langsung tak berhentinya berdzikir menyebut nama Allah. Mungkin beliau ini yang dimaksud ulama pewaris nabi. Ulama yang benar yang bisa mengingatkan dan mendekatkan kita kepada sang pencipta.
Meski tak lama bertemu beliau, saya mendengar beliau sempat bertanya kepada abdi dalemnya perihal kedatangan kami berdua. Saya pun bersalaman dengan beliau tanpa mencium tangannya. Karena beliau tidak kasokan (tidak mau, red).
Tak ada satu kata pun muncul dari mulut saya. Hanya ketakziman dan ketakjuban yang saya lihat dari sosok beliau. Akhirnya, saya keluar dari kamar beliau. Pancaran kealiman dan kemakrifatan beliau sungguh masih terasa meski sesaat berjumpa beliau. Tak bisa saya melupakan momen saat berhadapan dengan beliau.
Sejak saat itu, anggapan saya tentang beliau semakin kuat bahwa beliau merupakan ulama yang khos. Yang mempunyai kedudukan tinggi secara spiritual.
Lebih dari lima belas kali saya bertemu beliau di tempat tinggal beliau. Dari sekian pertemuan itu, anggapan tentang beliau tidak kasokan (sulit ditemui) sirna. Sebab, setiap saya sowan selalu ditemui beliau.
Banyak peristiwa terjadi saat saya bersama beliau. Setiap mengajak teman ke sana ada saja hal yang terjadi. Ada yang ditempeleng wajahnya sampai dipukul oleh Ra Lilur. Saya hanya bisa tertawa sesenggukan dari belakang.
Saya anggap itu sebuah penyadaran jiwa, karena teman saya jiwanya lagi sakit. Buktinya, teman saya itu merasa lebih baik atas peristiwa itu. Ibarat kata, bagi saya beliau itu dokternya jiwa. Mampu membaca dan mengobati penyakit hati yang menggrogoti jiwa ini. Tak salah jika beliau kadaang bersikap di luar kewajaran.
Pernah juga, saat itu beliau sedang makan nasi dan sate daging. Setelah satenya dimakan tinggal tusuknya sebanyak tiga buah, lalu sisanya disuruh makan kepada saya. Saya bertanya isyaroh apa yang beliau berikan ini. Lucunya lagi, setiap bersalaman dengan beliau mempunyai nuansa yang berbeda. Pernah saya bersalaman dengan beliau, tangan dan kaki kanannya yang diangkat.
Apa maksudnya ini, itu pertanyaan dalam benak saya. Saya pun memaknai itu sebagai isyarah agar berbuat adil kepada sesama, tak membedakan antara yang di atas dan di bawah. Karena mungkin banyak ketidakadilan yang terjadi di dunia ini.
Dari beliau saya banyak belajar tentang perbaikan jiwa, bagaimana bersikap untuk menjadi pribadi lebih baik. Tak jarang, beliau sering hadir dalam bawah sadar memberikan sebuah solusi, meski kebanyakan memang sebuah isyaroh. Sebab, saya anggap beliau guru yang bisa mengobati penyakit hati. Mungkin itu yang membuat banyak orang menjadikan beliau jujukan dalam memecahkan persoalan kehidupan.
Kini sudah tahun 2018, tepat April lalu beliau meninggalkan dunia fana ini. Tak ada lagi wujud beliau, semua orang akan merasakan kehilangan beliau. Namun pelajaran berharga dari beliau masih akan tetap tersisa dalam setiap individu yang pernah berjumpa Ra Lilur. Syair-syair kehidupan tentang kedalaman spiritualnya akan tetap menjadi kenangan umat agar bisa menjadi suri teladan atas pencapaian jiwa dan ketinggian makrifat.
hamrasidi/hasin