matamaduranews.com-LABANG Mesem yang jika dibahasa Indonesiakan bermakna Pintu Senyum. Pintu Labang Mesem ini menjadi pintu masuk menuju kawasan utama Keraton Sumenep.
Ia semacam pintu gerbang utama, lazimnya bangunan keraton pada umumnya.
Posisi Labang Mesem di sisi kiri jika dilihat dari dalam keraton yang menghadap ke arah selatan ini.
Hingga saat ini, banyak ditemukan tulisan atau informasi tentang makna Labang Mesem. Baik yang ada di website ataupun yang didapat dari pihak penjaga museum keraton sendiri.
Dalam sebuah website berita, diketahui jika Labang Mesem merupakan sebutan yang mengacu pada sejarah lisan.
Meski info di web itu tidak jelas sumber utamanya. Kebanyakan memang tulisan-tulisan yang ada tidak dilakukan kritik dari berbagai aspek. Istilah Cak Nurnya, meminjam lidah orang untuk kemudian dijadikan info berbentuk tulisan.
Lepas dari benar-tidak, yang penting ada yang bisa ditulis. Sehingga, memenuhi tuntutan kejar tayang. Tak masalah pembaca disuguhi info akurat atau tidak. Toh, nanti mereka akan menyimpulkan sendiri.
Biasanya begitu alasan klasik sang penulis.
Nah, kembali pada tulisan salah satu web itu, penyebutan Labang Mesem karena dulu, di waktu Pangeran Jimat, salah satu penguasa Sumenep yang memerintah 1721-1744 M, pintu masuk keraton dijaga oleh para pengawal yang bertubuh kerdil.
Orang Sumenep menyebutnya cabul, tapi bukan “cabul†dalam Bahasa Indonesia. Jika dibahasa Indonesiakan lagi, cabul itu cebol, kerdil, dan kata lain yang semakna.
Lha, katanya, ya kata di website itu, ketika ada orang yang melihat pemandangan tersebut; baik masyarakat, tamu, atau kalangan keraton sendiri sering senyum-senyum geli. Sehingga lantas, lambat laun, pintu masuk atau gerbang keraton itu disebut dengan Labang Mesem.
Kemudian, ada versi lain lagi. Juga di web tersebut. Katanya lagi, disebut Labang Mesem karena di atas Labang Mesem itu, yang merupakan sebuah loteng kecil, raja biasa mengawasi area sekitar keraton.
Ketika itu, raja juga mengawasi isteri, dan putri-putri keraton, serta dayang-dayang yang sedang mandi di Taman Sari. Yaitu kolam pemandian khusus keluarga keraton, yang berada tepat di sebelah timur Labang Mesem.
Saat memperhatikan pemandangan kolam dan mereka yang mandi di sana itulah, raja lantas tersenyum, atau mesem.
Lagi, versi lain yang tertulis di website lain. Istilah labang mesem muncul pasca “Keraton Sumenep berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali.
Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka mereka pun datang ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan gerbang keraton amarah yang diselimuti dendam berubah. Menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan.
Kabarnya, hal itu merupakan akibat terkabulnya doa raja kepada Tuhan yang Maha Esa. Merubah api dendam menjadi air persaudaraan.†Begitu keterangan yang saya salin utuh dari web tersebut.
***
Sampai di sana, mari kita coba kaji satu-persatu tiga versi tersebut.
Begini. Bicara manusia bertubuh kerdil, atau cebol, tentu bukan hal yang aneh. Di masa kini, kelainan genetik atau yang sifatnya alamiah, faktor X, yang murni merupakan kehendak Sang Kuasa menciptakan mahluknya dalam ragam bentuk, rupa, dan sifat; juga terus ada.
Saya tak lantas menuduh pencerita versi itu mengarang-ngarang. Namun tidak bisa juga kita lantas menafikan kisah anekdot. Meski fiksi sifatnya, umumnya bertujuan baik.
Ada yang ingin membangkitkan sense, menyentil dengan humor, namun tujuannya tidaklah buruk, meski sekadar membuat orang tertawa atau terharu.
Terkait dengan versi pertama, di situ ada Pangeran Jimat dan manusia cebol. Belum ada literatur yang menjelaskan hubungan manusia cebol dengan Pangeran Jimat yang bernama lain Raden Ahmad alias Pangeran Cakranegara III ini.
Di pasarean tokoh yang dikenal keramat itu memang terdapat beberapa kuburan “miniâ€. Keterangan sejak jaman lampau yang tetap dikenal hingga kini, itu makam manusia atau orang cebol.
Versi pertama di atas menceritakan jika orang-orang cebol (meski belum pasti yang dimakamkan di kubah Pangeran Jimat) adalah pengawal yang menjaga Labang Mesem.
Entah dari mana sumbernya. Anggaplah itu benar. Tak jadi persoalan.
Lalu di mana masalahnya?
Pangeran Jimat seperti disebut di muka memerintah tahun 1721-1744 M.
Kala itu pusat pemerintahan, kediaman raja, atau yang lidah masyarakat menyebut karaton, terletak di Kawasan Karang Toroy. Pusat tersebut dimulai sejak pemerintahan Pangeran Cakranegara I, alias Raden Abdullah (1589-1626), penguasa Sumenep ketujuh sebelum Pangeran Jimat.
Lokasi itu terus bertahan hingga dua penguasa setelah Pangeran Jimat, yaitu Pangeran Lolos dan Ke’ Lesap. Baru setelah itu, yaitu di masa Ratu Tirtonegoro dan suaminya, Bindara Saot, pusat keraton pindah ke Pajagalan. Yaitu lokasi keraton yang bangunannya tetap ada hingga sekarang.
Jika demikian, sebutan Labang Mesem di waktu itu jelas tidak tepat. Karena waktu itu bangunan keraton yang berlabangkan mesem itu masih belum ada.
Bangunan itu baru ada di masa Panembahan Sumolo (memerintah 1762-1811 M), sang pembangun, yaitu pengganti Bindara Saot. Lokasinya juga di Pajagalan, bukan Karang Toroy. Jadi, versi ini selesai hingga di sini.
Versi kedua, soal penyebutan labang mesem yang mengacu pada sikap raja saat melihat para isteri dan putri serta dayang sedang mandi di Taman Sari, dari atas Loteng Labang Mesem.
Versi ini dibantah oleh sedikitnya tiga orang pemerhati sejarah di Sumenep: RPM Mangkuadiningrat, RB Ja’far Shadiq, dan RB Hairil Anwar.
Menurut Mangkuadiningrat, salah satu sesepuh di kalangan keluarga keraton Sumenep saat ini, belum ada satupun riwayat kuna yang menceritakan hal itu.
â€Asal-usul penamaan Labang Mesem dari kisah tersebut baru saya dengar. Terasa aneh. Kalau riwayat tutur sesepuh turun-temurun, tidaklah demikian,†kata Mangku, beberapa waktu lalu.
Ja’far Shadiq dan Hairil Anwar juga menilai versi tersebut tidak mengakar pada sumber keraton. Apalagi jika dilihat dari segi etika, hal itu tidak mencerminkan sikap raja dinasti terakhir yang dikenal banyak yang alim dan berakhlak baik.
Salah satu pemerhati sejarah lain, Imam Alfarisi menilai info yang demikian merusak citra penguasa Sumenep kala itu. Imam senada dengan Ja’far dan Hairil, yang ketiganya merupakan satu tim di Ngoser (Ngopi Sejarah), bahwa hal itu sama sekali tidak menunjukkan karakter raja dinasti terakhir.
â€Dinasti Bindara Saut, yang di dalamnya ialah Panembahan Sumolo dan Sultan Abdurrahman adalah penguasa-penguasa yang alim dan sekaligus arifbillah, serta menjunjung etika tinggi. Versi tersebut cenderung seolah-olah mengedepankan syahwati,†katanya.
Nah, bagaimana dengan versi ketiga? Seperti versi pertama, perihal kejadian Raja Bali mendadak luruh amarah dan dendamnya ketika sampai gerbang keraton, mungkin tak perlu dibahas panjang lebar.
Hal yang lebih luar biasa dari kejadian itu lebih banyak. Seperti kisah kuda terbang milik Jokotole misalnya, atau perahu terbang milik Dampo Abang (Awang). Membahasnya karena faktor tidak percaya versus percaya tentu hanya akan membuang energi.
Lantas versi ini apa pasalnya? Masalahnya, perang Sumenep-Bali lebih awal lagi dari masa Pangeran Jimat, sandaran versi pertama sebutan Labang Mesem.
Perang itu terjadi di masa Pangeran Lor dan Pangeran Wetan I, anak Tumenggung Kanduruhan. Keduanya merupakan penguasa kembar Sumenep yang memerintah 1562-1567 M.
Untuk kedua kalinya, dengan terpaksa, dan dengan sendirinya, versi ini juga selesai.
Kemudian, apa tak ada versi lain yang lebih bisa dijadikan acuan?
Ada dua versi. Menurut Mangkuadiningrat, penamaan Labang Mesem karena dahulu, di dalam keraton, posisinya lurus dengan pintu masuk utama tersebut, ada arca menghadap ke Selatan.
â€Arca itu digambarkan tersenyum. Maknanya tamu yang masuk keraton dihadiahi senyuman yang disimbolkan oleh arca. Juga ketika hendak pulang, tamu yang juga melintas Labang Mesem juga mendapat senyuman patung kecil di Loteng Labang Mesem. Menurut cerita sesepuh keraton, begitu,†ujar Mangku.
Versi kedua?
â€Ada riwayat dari desa Sendir. Dahulu, ketika Bindara Saot memanggil kedua putranya yang ada di Lembung untuk menghadap ke keraton. Terjadi adegan mengharukan, karena ayah-anak lama tak jumpa. Keduanya pun sama-sama melempar senyum. Nah, di lokasi pertemuan itu lantas oleh Panembahan Sumolo diabadikan dalam bentuk Labang Mesem di keraton yang dibangunnya. Tujuannya untuk mengenang peristiwa dengan ayahnya di masa lampau itu,†cerita Imam Alfarisi.
Kedua versi itu tentu saja tidak menyisakan ganjalan, baik secara etika maupun yang sifatnya anakronisme.
Apa lantas itu yang paling benar? Tentu siapapun saat ini tidak bisa memberi jaminan atau bukti, karena tidak mengalami masa ratusan tahun silam.
Namun dari kedua versi itu setidaknya bisa dipetik pelajaran baik, dan yang lebih penting lagi ialah, bagaimana kita melestarikan warisan budaya luhur para pendahulu, baik yang berupa bendawi maupun tak bendawi. Jas Merah!
RBM Farhan Muzammily