matamaduranews.com-Dalam kitab Al-Mahabbah, al-Ghazali mengungkapkan cinta kepada Allah (mahabbatullah) merupakan puncak dari tangga makrifatullah yang dilalui para salik.
Bagi pejalan yang mencapai atau merasakan cinta kepada Allah Swt mengalahkan cinta lainnya, memiliki derajat paling tinggi di hadapan Allah Swt.
Sebagaimana hadits qudsi yang berbunyi; tidaklah seorang hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah kecuali Aku akan mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku pun menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar; menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat; menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memukul; dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) akan memiliki efek rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat lain serupa.
Kenapa? Al-Ghazali menyebut mahabbah kepada Allah Swt berakar dari manisnya bertemu. Rasa rindu akan selalu menggelora bila tidak bertemu kekasih yang dicinta.
Tidak mengherankan bila cinta buta al-Ghazali mengantarkannya untuk selalu menyendiri demi merajut kemesraan dengan kekasih yang dicinta (Allah Swt).
Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, seorang Sufi yang lahir di Bustham, pada tahun 261 H/874 M bagian timur Laut Persi. Namanya menjadi kata kunci dalam dunia tasawuf karena ia mencetus faham al-ittihad (melebur), sebuah tingkatan tertinggi dalam pencapaian makrifatullah.
Abu Yazid sempat berpikir, ketersediaan waktu untuk selalu ingat (dzikir) kepada Allah Swt atau bermesraan dengan Allah Swt, disangka melalui hasil pencapaian dengan berbagai ibadah. Selang beberapa hari, Abu Yazid mendapat petunjuk, sadar dan akhirnya meralat asumsinya, dan menyatakan bahwa kesenangan dan keseriusan beribadah kepada Allah Swt bukan berasal dari ghairah dirinya. Melainkan berasal dari Allah yang berdzikir (ingat).
“Karena Allah Swt yang ingat atau mencintai dirinya sehingga selalu dapat bermesraan dengan-Nya,†Abu Yazid menyadari.
Pernyataan Abu Yazid itu ibarat magnet dan paku. Paku dan magnet merupakan benda mati. Tapi, keduanya bisa berinteraksi bila saling mendekat.
Secara kasat mata, paku bisa berjalan atau bergerak menuju magnet. Tapi secara substansi, magnet yang menarik paku untuk mendekat. Tambah besar daya magnetnya, kian kencang daya tariknya.
Bagaimana jika besi (paku) tanpa magnet atau besi dan plastik? Meski saling berdekatan atau menempel tidak akan ada reaksi karena tiada magnet. Begitu pun, magnet dan plastik juga tidak akan ada reaksi meski ditempelkan karena tidak senyawa.
Sebaliknya, bila besi atau paku mendekat dengan magnet akan bergerak dan menempel lengket.
Pernyataan Abu Yazid selaras dengan pengakuan Syech al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairi, yang menerangkan mahabbah merupakan suatu kemuliaan saat Allah memberitahu tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Allah-lah yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Allah Swt.
Sebagaimana sosok sufi lain yang memperkenalkan faham mahabbatullah sebelum al-Ghazali di abad kedua Hijriah adalah Rabi’ah Adawiyah, sufi perempuan kelahiran Basrah, Irak, sekitar abad kedelapan, tahun 713-717 Masehi. Ajaran Rabi’ah begitu menonjolkan cintanya kepada Allah Swt.
Saat itu, tasawuf memang lebih didominasi corak kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan al-Bashri, sufi tabi’in lahir di Madinah pada tahun terakhir dari kekhalifaan Umar bin Khattab pada tahun 21 H.
Sufi Hasan mendasarkan ajaran pada rasa takut (khauf) kepada Allah. Corak tasawuf yang dikembangkan oleh Rabi’ah tersebut kelak membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia tasawuf.
*) diolah dari berbagai sumber
bersambung…