matamaduranews.com–SUMENEP-Panembahan Sumolo merupakan Raja Sumenep pada tahun 1762-1811 M. Beliau menduduki tahta kerajaan Sumenep menggantikan ayahandanya, Bindara Saut.
Ibu dari Bindara Saut, Nyai Nairima; dengan ibu dari Nyai Izza, Nyai Galu, masih bersaudara kandung. Keduanya sama-sama putra Kiai Khathib Bangil di Parongpong, Kecer, Dasuk. Sehingga terjadi perkawinan sepupuh.
Saat Bindara Saut “dipinang†oleh Ratu Rasmana, Ratu Sumenep, pada 1750 Masehi; Asiruddin dan Baha’uddin (kakak kandung) memilih menetap di Desa Lembung, Kecamatan Lenteng bersama ibunya. Beberapa tahun setelahnya, kedua putra Bindara Saut dipanggil menghadap Keraton Sumenep.
Sampai di keraton keduanya menghadap sang ayah dan ibu tiri. Putra termuda menyembah pada Ratu Rasmana, sedang si Sulung menyembah pada Bindara Saut. Saat itulah, dengan dicatat oleh sekretaris keraton, Ratu Rasmana sembari memegang kepada si Bungsu, bersabda sekaligus berwasiat bahwa Asiruddin kelak akan menjadi pengganti ayahnya (Bindara Saut) sebagai Raja Sumenep.
Panembahan Sumolo dikenal sebagai sosok yang alim, khususnya di bidang agama. Latar belakangnya yang berasal dari trah kiai dan ulama besar di Sumenep membentuk karakter kepribadian seorang pemimpin atau negarawan yang memegang teguh pada agama. Suasana pemerintahan Sumenep mengalami pergeseran budaya. Dari aristokrat sejati ke kaum santri.
Sebutan Panembahan Sumolo atau yang menurut lidah Sumenep Panembahan Somala memiliki makna khusus. Yaitu bahwa beliau adalah penguasa Sumenep yang mula-mula bergelar Panembahan. Sebelumnya, penguasa Sumenep bergelar Pangeran atau Tumenggung saja.
Di masa pemerintahan Kiai Asiruddin dilakukan pemisahan wilayah kekuasaan Sumenep. Daerah tapal kuda meliputi Panarukan hingga Banyuwangi semula menjadi bagian daerah kekuasaan Sumenep dan ditukar dengan memasukkan gugusan kepulauan di sekitar Sumenep ke keraton di ujung timur pulau garam ini.
Panembahan Sumolo juga memiliki perhatian terhadap aset keraton, dan berupaya agar tidak ada campur tangan pihak luar, khususnya Belanda. Sehingga sejak beliau dikeluarkan keputusan berupa wasiat bahwa keraton dan bangunan-bangunan lainnya, serta sebagian tanah di sekitar kota dinyatakan menjadi waqaf untuk kepentingan fakir miskin. Begitu juga Masjid Jami’ (Masjid Agung) dinyatakan dalam sebuah wasiat khusus.
Farhan, Mata Madura