BudayaOpini

Mengulas Dhudhul dan Kocor, Dua Ratu Jajanan Pernikahan Manusia Madura

×

Mengulas Dhudhul dan Kocor, Dua Ratu Jajanan Pernikahan Manusia Madura

Sebarkan artikel ini
Dhudhul dan Kocor
Ilustrasi Mengulas Dhudhul dan Kocor, Dua Ratu Jajanan Pernikahan Manusia Madura. (By Design A. Warits/Mata Madura)

Oleh: Syarifah Isnaini*

Salah satu unsur penting dalam tradisi pernikahan manusia Madura yang tidak boleh dilewatkan yakni ketersediaan aneka rupa jajanan. Jajanan memegang peranan besar dalam upacara pernikahan seluruh kalangan masyarakat Nusantara sejak dahulu kala. Hal ini terjadi pula pada sekumpulan manusia Madura yang memiliki daftar khusus jajanan yang seharusnya disajikan pada acara pernikahan. Adalah masyarakat Pasean, sekumpulan manusia Madura yang mendiami kecamatan dengan 178 dusun dan 11 desa ini turut memiliki perspektif tersendiri dalam memandang urgensi jajanan pernikahan. Dua jajanan yang memiliki tempat istimewa pada hari pernikahan masyarakat Pasean lazim dinamai Dhudhul (dodol) dan Kocor (kucur).

Bukan tanpa alasan, ditinjau dari segi antropologi, penempatan beberapa jenis makanan pada posisi istimewa di tengah-tengah masyarakat menjadi bukti bahwa setiap manusia senantiasa mempertahankan budaya mereka. George M. Foster dan Barbara Gallatin Anderson dalam Medical Anthropology (1986) menguraikan bahwa makanan tertentu tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mempertahankan hidup. Lebih dari itu, makanan menjadi penanda pengesahan budaya yang berkaitan erat dengan kredo, preskripsi dan adat istiadat yang mengikat sebuah masyarakat. Tampaknya begitu juga halnya dengan dhudhul dan kocor bagi masyarakat Pasean.

Bertolak dari penelitian Andreano Al Ramadhan Hutagalung yang berkutat seputar tema implementasi komunikasi pemasaran dodol pada tahun 2019, genealogi sejarah dhudhul dapat ditelusuri dari masyarakat Betawi yang mengklaim bahwa mereka memiliki makanan khas tersendiri dalam menyambut lebaran. Makanan ini berwujud kue dengan bahan dasar tepung beras yang kemudian diberi nama dodol. Penggunaan tepung beras sebagai unsur dari dodol melambangkan identitas orang-orang Betawi sebagai warga agraris. Sektor pertanian menempati garda terdepan selaku mata pencaharian utama orang Betawi kala itu. Selain itu, beras dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas karunia Tuhan yang dipanen masyarakat Betawi setiap musimnya.

Seiring dengan mobilitas masyarakat Indonesia, pengenalan terhadap budaya masing-masing daerah dalam bidang makanan merambah masyarakat Madura. Kesamaan  tujuan pembuatan dodol yang mana salah satunya melambangkan status sosial orang Betawi pada masa itu nampaknya turut menjadi jawaban mengapa dhudhul senantiasa lestari di Madura. Inilah yang kemudian mengilhami pembuatan dhudhul di kalangan manusia Madura selaku adopsi adat istiadat orang Betawi. Hanya saja belum diketahui secara pasti mengenai era sejarah dhudhul pertama kali di Nusantara.

Hampir senada dengan dhudhul, penganan kocor juga memiliki pertautan silsilah yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah Betawi. Kocor konon berasal dari bahasa Betawi ‘ngocor’, sebab pembuatan kocor dilakukan dengan cara mengucurkan atau meneteskan adonan kue kocor dalam takaran tertentu ke dalam minyak panas. Dalam perkembangannya kemudian, kocor dikenal pula dengan istilah jajan kucur atau cucur. Selain Betawi, orang Madura dan Manado juga mengklaim kocor sebagai kue khas daerah mereka. Belum ada referensi pasti mengenai asal muasal daerah kocor. Kendati dipenuhi beragam probabilitas, akan tetapi dapat dipastikan bahwa kocor merupakan masakan khas orang Asia Tenggara mengingat ia dapat ditemui pada upacara adat di Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam.

Penelitian Massimo Montanari yang dituangkan dalam karya Food is Culture (2004) telah menegaskan bahwa penggunaan makanan menjadi tanda relasi manusia dengan budayanya. Maka demikian pula dengan apa yang terjadi dengan dhudhul dan kocor seyogyanya turut menjadi sebuah objek yang dikonstruksikan manusia Madura. Dhudhul dengan posisi istimewanya bagi upacara pernikahan manusia Madura tidak bisa terlepas dari elemen yang dikandungnya. Sekurang-kurangnya tiga bahan utama dhudhul melambangkan beberapa nilai filosofis sebagai hasil dari perkembangan peradaban manusia.

Pangesti Hijrah Rahayu melalui penelitiannya pada 2016 mengungkapkan bahwa gula merah dengan rasa manis dalam dhudhul merefleksikan kemanisan hubungan kedua calon pengantin selama mengarungi bahtera pernikahan. Beralih pada bahan beras dhudhul, prinsip utamanya terletak pada warna putih daripada beras yang diharapkan dapat mencerminkan akhlaq sang raja maupun ratu sehari tersebut. Adapun bahan pokok terakhir dhudhul tidak lain yakni kelapa dengan representasi harapan lurusnya perjalanan hidup kedua mempelai sepanjang kehidupan perkawinan mereka. Begitu pula dengan kocor yang terdiri bahan pokok gula dan beras.

Mengadopsi nilai-nilai filosofis sebagai halnya diteliti oleh Rahayu di atas, dhudhul dan kocor pada akhirnya bertransformasi dari sekadar makanan biasa menjadi simbol sakral sebuah peristiwa adat maupun religius serupa pernikahan. Demikian pula jika kembali pada konteks masyarakat Pasean selaku manusia Madura. Selain ekspresi budaya manusia Madura, secara khusus penggunaan dhudhul dan kocor pada upacara pernikahan masyarakat Pasean mengamini gagasan Georg Simmel yang tertuang dalam Sociology of The Meal (1997). Simmel mendedahkan teori mengenai makanan yang salah satunya berdimensi komunal. Bagi Simmel, makanan sangat mungkin memegang peranan sebagai ikatan sosial dan memunculkan sisi emosional di antara orang-orang yang berjibaku seputar makanan tertentu.

Semacam itu pula dengan jajanan dhudhul dan kocor yang mengeratkan keguyuban dan rasa sepenanggungan masyarakat Pasean dan bukan tidak mungkin seluruh manusia Madura yang menempatkan dhudhul dan kocor pada posisi sakral dalam bilangan acara mereka. Proses pembuatan yang memerlukan kerja sama hingga akhirnya senyum yang terukir ketika masyarakat Pasean menikmati dhudhul dan kocor cukup menjadi bahasa bahwa jajanan tidak pernah sederhana. Selalu ada kedudukan istimewa bagi sejumlah jajanan, sebagaimana ratu yang tidak pernah diposisikan terpinggir di dalam sebuah kerajaan.

*Penulis merupakan mahasiswi Program Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Dalam rangka proses purna studi, saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta.

KPU Bangkalan