Politik

Mengurai Fattah Jasin: Jas Merah Yang Tak Berwarna Merah

Fattah Jasin. (Foto/Warits Design)

matamaduranews.com-SUMENEP-Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah! Kata-kata ini dilontarkan orator ulung negeri kita, sekaligus proklamator kemerdekaan RI, dan Presiden pertama negeri ini.

Bicara Fattah Jasin atau Gus Acing, tentu tidak bisa melupakan sejarah. Tak hanya Acing, setiap kita adalah bagian dari sejarah. Lahir dari sejarah, dan kelak pun akan menjadi sejarah. Meski secara faktual sejarah lebih memihak kepada mereka yang menjadi pemenang. Atau sejarah ditulis oleh mereka yang menang.

Lalu apakah lantas sejarah tidak lagi objektif? Perlawanan-perlawanan dari pihak-pihak yang kalah pun lantas mewarnai sejarah. Sehingga di sini, belajar sejarah memerlukan kearifan tersendiri. Perlu tafsir sejarah. Dan kebenaran tidak pernah kalah. Meski ia kadang terlambat datang.

Kembali pada Acing, sosok yang sekarang dan kemarin tak asing itu, juga memiliki sejarah dalam sisi kehidupannya. Acing tak hanya seorang negarawan yang bangsawan. Belajar sejarah Acing, agar semakin tak asing.

Bersusur galur pada tokoh anti penjajah

Acing lahir dari pasangan R. P Moh Taha dan R. Kunti. Ayah Acing merupakan pejabat penting di masanya. Taha merupakan paduan keluarga bangsawan Sumenep dan Pamekasan. Ia pun purna di Sampang sebagai Sekretaris daerah di sana.

Taha, ayah Acing dilahirkan dari ibu yang merupakan putri Raden Ario Pratamingkusumo (Ishak). Pratamingkusumo merupakan cucu Panembahan Pamekasan yang memerintah pada 1804-1842. Panembahan itu bernama Mangkuadiningrat. Nama kecilnya Abdul Latif. Mangkuadiningrat adalah adik Sultan Abdul Kadir alias Sultan Kadirun dari Bangkalan.

Jadi Taha dari garis ibunya berasal dari keluarga besar raja-raja Madura Barat, yaitu dari trah Cakraningrat.

Ayah Taha bernama R. P. Joyobroto. Joyobroto adalah anak R. P. Mangkukusumo I.

Mangkukusumo I adalah salah satu anak dari pembesar Sumenep yang terkenal, yaitu Raden Adipati Pringgoloyo.

Pringgoloyo merupakan Rijksbestuurder atau Patih Dalem Keraton Sumenep, di masa Sultan Abdurrahman. Hubungan Pringgoloyo dengan Sultan Sumenep adalah saudara ipar. Ke atasnya lagi terdapat pertemuan silsilah keduanya, yakni dari jalur keluarga adipati Semarang.

Pringgoloyo dikenal sebagai sosok yang anti penjajah. Dalam beberapa sumber, ia dan ayahnya, yaitu Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V (Hoofd Regent alias Kepala Adipati di Semarang) merupakan sosok yang disingkirkan oleh kolonial.

Keduanya dikenal keras dan mengadakan perlawanan fisik. Sekitar 1820-an, Suroadimenggolo V dan Pringgoloyo ditangkap. Keduanya diasingkan ke Ambon. Namun atas upaya Pringgoloyo dan Sultan Sumenep, pihak kolonial memindahkan keduanya ke Sumenep.

Suroadimenggolo V wafat dan dimakamkan di Sumenep. Makamnya terletak di kompleks tersendiri sebelum kompleks utama Asta Tinggi. Sultan Sumenep sangat memuliakannya, sampai berwasiat agar terlebih dahulu para peziarah berziarah ke makam Suroadimenggolo V sebelum ke makam raja-raja Sumenep.

Keluarga bupati

Seperti di sebut dimuka, ayah Acing dilahirkan dari ibu yang merupakan putri Raden Ario Pratamingkusumo (Ishak). Pratamingkusumo juga dikenal memiliki beberapa putra-putri lainnya. Di antaranya ialah Raden Tumenggung Ario Zainalfattah Notoadikusumo, dan Raden Ario Moh Ali Pratamingkusumo.

Zainalfattah merupakan sejarahwan legendaris Madura. Beliau juga dikenal sosok yang alim di bidang agama. Zainalfattah merupakan salah satu bupati Pamekasan hingga di awal-awal berdirinya NKRI.

Sementara Moh Ali, adik Zainalfattah juga dikenal sebagai salah satu sosok bupati. Namun bukan di Pamekasan. Ali merupakan bupati Sumenep pada 1949-1954.

RM Farhan

Exit mobile version