Oleh: Fera Andriani, Lc., M.Pd.I*
Iftitah
Tidak bisa dipungkiri, semakin luas wilayah suatu negara, maka semakin beragam dan majemuk pula segala yang ada di dalamnya. Keberagaman itu meliputi: budaya, suku, agama, bahasa, dan lain sebagainya. Indonesia adalah negara dengan luas wilayah di urutan ke-13 di dunia, dengan lebih dari 300 etnik yang tersebar di lebih dari tiga belas ribu pulau, 6 agama utama, dan lebih dari 700 bahasa daerah yang masih aktif digunakan oleh para pemakainya.
Data di atas merupakan bentuk keberagaman dari sisi geografis. Belum lagi di era demokrasi dan keterbukaan ini, yang mendorong munculnya banyak organisasi maupun partai politik. Jumlah penduduk menurut Biro Pusat Statistik yang mencapai 258 juta jiwa di tahun 2016, juga merupakan tantangan untuk keutuhan sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semakin banyak penduduk, semakin banyak kebutuhan, dan banyak ide yang mendorong semakin beragamnya organisasi dan golongan.
Segala keberagaman itu sejatinya merupakan kekayaan dan anugerah yang tidak ternilai harganya. Namun dalam kenyataannya, semakin banyak keanekaragaman seringkali memicu garis-garis perbedaan dan memunculkan sekat-sekat yang memperjelas perbatasan.
Demokrasi Indonesia di tengah Pusaran Konflik
Demokrasi merupakan sistem bermasyarakat dan bernegara yang paling populer saat ini. Dengan demokrasi masyarakat dapat menyelenggarakan tatanan organisasi yang tertinggi yaitu Negara. Demikianlah yang menjadi alasan mengapa Indonesia memilih demokrasi sebagaimana diungkapkan oleh Mahfud MD (Rosyada, 2005, hal. 112). Namun dikarenakan pemahaman yang kurang mendalam, pelaksanaan demokrasi tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Benih-benih konflik bukan suatu barang baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Latar belakang yang berbeda merupakan penyebab yang dijadikan penyulut konflik. Ketika demokrasi dikembalikan ke definisinya sebagai pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Saat dihadapkan pada kepentingan rakyat yang sangat majemuk ini timbullah pertanyaan baru. Rakyat yang manakah yang dimaksud?
Dalam sejarahanya di era kerajaan Majapahit, Nusantara sudah pernah disatukan oleh patih Gajah Mada di bawah kekuasaan Raja Hayam Wuruk. Tapi Sumpah Amukti Palapa tidak lagi mempan untuk benar-benar dijadikan dasar persatuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Sebab jika dianalisis lebih jauh, penyatuan Nusantara di era Hayam Wuruk itu bukanlah atas dasar cinta Nusantara ataupun persamaan nasib, melainkan bersatu karena dipaksa atau dengan jalan penaklukan. Diperlukan subuah penyebab lain yang bisa menyatukan tekad seluruh rakyat.
Sebagai contoh, pada tahun 1926 ketika para pemuda sudah mulai sadar bahwa persatuan adalah modal utama meraih kemerdekaan, maka diselenggarakanlah Kongres Pemuda pertama. Persamaan nasib sebagai korban penjajahan itulah yang berperan menimbulkan kesadaran untuk bersatu. Mereka sadar bahwa masing-masing harus menanggalkan ego kedaerahan dan agamanya.
Tidak ada lagi yang mengagungkan identitas kedaerahan sebagai Jong Java, Jong Celebes, Jong Betawi, dan sebagainya. Juga tidak pula mengedepankan ego keagamaan sebagai Jong Islamieten Bond, ataupun Perkumpulan Pemuda Kristen, Perhimpunan Pemuda Katolik, dan sebagainya. Yang ada hanyalah para putra-putri Indonesia yang mendekarasikan tanah air, kebangsaan, dan bahasa yang satu, yaitu Indonesia. Sehingga dalam kongres pemuda kedua, tahun 1928, mereka bisa merumuskan Sumpah Pemuda.
Selama beberapa dekade semangat Sumpah pemuda itu menjadi landasan pemersatu yang cukup relevan, sehingga mendorong terjadinya kemerdekaan dengan diikrarkannya Proklamasi pada 17 Agustus tahun 1945. Untuk beberapa saat, euforia perayaan kemerdekaan masih menjadi pemersatu negara Indonesia. Namun lagi-lagi karena banyaknya kepentingan, Indonesia lagi-lagi mengalami pergolakan dalam revolusi kemerdekaan.
Disini penulis tidak membahas sejarah pergolakan politik secara detail, sebagaimana sudah dibahas di ratusan buku sejarah, namun hanya sekilas saja yang berfokus pada keberagaman partai politik yang ada.
Pemilu pertama yang dilaksanakan pada tahun 1955, selang 10 tahun saja setelah merdeka, sudah diikuti 172 kontestan partai politik. Nampak bahwa euforia kemerdekaan justru mendorong keberanian untuk berpecah, bukan malah bersatu. Pemilu selanjutnya di tahun 1971 diikuti oleh 10 Parpol. Banyaknya kontestan partai politik yang ada menunjukkan betapa banyaknya keberagaman golongan dan kepentingan.
Sementara pemilu tahun 1977 hingga 1997 (baca: Orde Baru), dimana kontestan hanya terdiri dari 3 partai saja: PPP, Golkar, PDI tidak dapat dijadikan indikator bahwa demokrasi mampu meminimalisir perbedaan yang ada. Justru pada masa itulah demokrasi kita sedang sakit dan tercekik oleh rezim penguasa, dimana kebebasan berpolitik dikebiri, sehingga pemenang pemilu sudah bisa ditebak sebelumnya.
Sementara di era reformasi, lagi-lagi euforia merayakan kemenangan rakyat yang berhasil melengserkan rezim penguasa, melahirkan banyak parpol baru dalam pemilu 1999. Yaitu diikuti oleh 48 parpol. Selanjutnya di tahun 2004 diikuti 24 parpol, tahun 2009 diikuti 38 parpol nasional dan 6 parpol lokal (Aceh), dan di tahun 2014 jumlahnya menyusut hingga hanya 12 parpol saja.
Akar Keberagaman dan Pemicu Konflik
Dari data yang telah disebutkan di atas, tampak betapa beraneka ragamnya partai atau golongan yang ada di Indonesia. Disamping keberagaman lainnya, yang sedikit banyak pasti memberi pengaruh terhadap jalannya demokrasi. Jika dianalisis, maka ada beberapa penyebab utama dalam menimbulkan keberagaman.
Pertama, Perbedaan suku. Kita mafhum bahwa suku merupakan identitas bawaan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Tidak ada orang yang bisa memilih dari suku mana dia akan dilahirkan. Seharusnya identitas yang bersifat permanen tersebut tidak usah dijadikan alasan untuk bertikai. Namun faktanya, banyak sentimen-sentimen yang dipicu oleh perbedaan suku.
Peristiwa konflik besar antaretnis yang pernah terjadi di Indonesia diantaranya ialah konflik antara etnis pribumi dan Tionghoa yang mengiringi era reformasi pada tahun 1998. Konflik pertikaian antara Suku Dayak dengan Suku Madura di awal tahun 2000-an, dan yang terbaru adalah konflik Jawa versus Lampung di tahun 2012 yang terulang kembali di tahun 2014. Juga konflik-konflik lain yang berskala lebih kecil dari pada peristiwa di atas.
Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya konflik-konflik tersebut tidaklah murni sebagai genosida atau niat pemusnahan suku tertentu. Namun di balik peristiwa tersebut ada kepentingan lain yang saling bergesekan–misalnya faktor ekonomi, dan tersulut menjadi konflik ketika ada provokator yang menggunakan nama suku. Akibat sentimen tersebut banyak warga sipil yang menjadi korban.
Kedua, Perbedaan Agama. Berbeda dengan suku, agama bukanlah identitas bawaan yang permanen. Akan tetapi setiap individu memiliki kemerdekaan untuk memilih agama apa yang akan dipeluknya, dan kepercayaan mana yang akan dianutnya. Agama memang urusan keyakinan yang bersumber dalam hati yang tidak kasat mata. Namun dalam pelaksanaan ritualnya, tentu melibatkan anggota badan yang tentu saja dapat dilihat oleh siapapun.
Namun sebagai keyakinan yang menancap dalam di sanubari tiap pemeluknya, agama acapkali menjadi sumber konflik yang sangat tajam ketika terjadi gesekan antar pemeluk agama yang berbeda. Sedikit saja sentilan yang menyinggung agama dan simbol-simbol di dalamnya, dapat menyulut pertikaian yang sangat besar.
Sebut saja kasus penistaan agama yang sedang menjerat Gubernur DKI non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ucapannya yang hanya beberapa detik itu dapat menimbulkan dampak yang sangat massive. Walaupun ada juga beberapa tokoh yang mengatakan bahwa dampak ucapan Ahok tidaklah sedemikian besar jika tidak berbarengan dengan momen Pilkada. Namun perkiraan semacam itu terbantahkan jika melihat reaksi jutaan umat Islam dari segala penjuru Nusantara yang tentu saja tidak mempunyai kepentingan langsung dengan pilkada DKI, namun turut meramaikan demonstrasi.
Dalam urusan agama, persaudaraan menjadi terikat sangat kuat bahkan melebihi ikatan persaudaraan kandung. Maka tidak heran jika umat Buddha di seluruh dunia mengerahkan penjagaan yang lebih ketat pasca peristiwa genosida Myanmar terhadap etnis Muslim Rohingya.
Ketiga, perbedaan kepentingan dan golongan. Perbedaan semacam ini lebih tepatnya dikerucutkan lagi menjadi perbedaan partai politik dan imbasnya pada kepentingan terhadap kekuasaan dan jabatan-jabatan strategis.
Sudah menjadi kodrat manusia untuk mempunyai ambisi terhadap kekuasaan, bahkan kadang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sudah kita saksikan banyak contoh di media massa, bagaimana upaya perseorangan atau golongan untuk mencapai tujuan politiknya, hingga akhirnya menimbulkan konflik. Dan konflik tersebut semakin meluas dan merebak hingga ke daerah-daerah sejak diberlakukannya otonomi daerah.
Otoda (otonomi daerah) secara resmi telah diterapkan di seluruh wilayah Republik Indonesia mulai Januari 2001. Dasar hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Hakekat otonomi daerah adalah “keleluasaan†pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam segala-urusan, kecuali urusan tertentu yang masih menjadi urusan pemerintah pusat. Namun di samping tujuan baik di atas, rupanya pilkada sering dijadikan tunggangan untuk kepentingan tertentu sehingga memicu berbagai konflik.
Menyikapi Keberagaman, Menuju Demokrasi yang Sehat dan Dinamis
Bersumber dari berbagai penyebab keberagaman di atas, maka untuk menerapkan demokrasi yang sehat kita memerlukan berbagai solusi. Dimulai dari menyikapi keberagaman etnis, sudah sewajarnya kita kembalikan pada sebuah prinsip. Bahwa hak asasi seseorang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Demikian pula dalam menjalankan berbagai ritual etnis tertentu, jangan sampai ada diskriminasi pada etnis lainnya, terutama apabila hidup berdampingan di suatu wilayah.
Mengenai etnis dan budaya, sebagai produk manusia, tentunya masih memungkinkan untuk terjadinya asimilasi atau penerimaan unsur budaya dari luar sehingga terciptalah budaya baru. Akulturasi budaya pun, yang merupakan percampuran dua budaya atau lebih, juga sangat memungkinkan terjadi. Yang penting antar etnis tersebut terjadi saling pengertian dan tidak ada unsur pemaksaan.
Akan tetapi lain halnya dengan keberagaman agama yang merupakan “produk langitâ€. Tentu saja tidak memungkinkan untuk dicampuradukkan seperti budaya. Tiap agama mempunyai aturan dan syariatnya sendiri yang sangat asasi. Agama, yang dalam Bahasa Sansekerta berarti “kumpulan aturan†(Sasongko, 2005, hal. 19) tentu memiliki norma-normanya tersendiri yang semuanya mengajak kepada kebaikan dan keteraturan.
Untuk menyikapi keberagaman beragama, yang diperlukan tidak lain adalah teloransi atau saling menghormati antar umat beragama. Bisa dikatakan, pada dasarnya setiap agama mengajarkan toleransi dan menjauhi pemaksaan dalam akidah. Walaupun dalam pelaksanaannya tidaklah selalu mulus.
Agama Islam mempunyai contoh nyata dalam toleransi, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.â€
Pengejewantahan ayat tersebut sudah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad seperti yang terekam dalam Konstitusi Madinah, dimana Umat Islam bisa hidup berdampingan dengan Yahudi dan Nasrani dalam damai. Kaum Yahudi juga mendatangi Nabi untuk bermusyawarah mengenai contoh-contoh hukuman yang tepat bagi kaumnya yang melakukan tindakan kriminal.
Contoh lain dari toleransi sudah dipraktikkan pula oleh Shalahuddin Al-Ayyubi setelah berhasil merebut kota Yerussalem. Dimana di bawah kekuasaan Islam, umat Kristiani bisa bebas menjalankan ibadahnya.
Demikian juga yang dipraktikkan oleh Sultan Mehmed II, yang dikenal sebagai Muhammad Al Fatih dari Turki, setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel. Dimana pada saat itu untuk pertama kalinya adzan dikumandangkan di Hagia Sofia, sebuah gereja yang kemudian berubah menjadi masjid. Sultan Mehmed tidak pernah memaksakan penganut Kristiani untuk memeluk Islam, dan memperlakukan tawanan perang dengan sangat adil (Siauw, 2016, hal. 258).
Dalam konteks ke-Indonesia-an, contoh toleransi yang dicontohkan umat Islam adalah dalam perumusan Pancasila sila pertama. Dimana pada awalnya berbunyi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyaâ€, kemudian berubah menjadi teks yang sekarang yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esaâ€. Faktanya, umat Islam yang sejak dulu mayoritas, tidak serta merta memaksakan kehendak untuk mempertahankan teks yang semula dengan kalimat syariat Islam di dalamnya. Namun memilih untuk memakai teks yang lebih umum seperti sekarang ini. Dengan asumsi bahwa negara Indonesia adalah negara yang Berketuhanan yang Maha Esa (Kaelan, 2002, hal. 15).
Sementara dalam konteks kekinian, kita mengenal sosok Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme dan Guru Bangsa. Baginya, Indonesia harus dibangun dengan sikap kebersamaan tanpa diskriminasi antar kelompok. Tak heran jika di momen tahlilan wafatnya, dihadiri pula oleh sejumlah pemeluk agama lain seperti kalangan Hindu, Buddha, Konghucu, Nasrani, hingga penganut aliran kepercayaan Sunda Wiwitan (EIN Institute, 2010, hal. 26) .
Agama lain pun juga mengajarkan toleransi. Untuk Kristen, sebagaimana ditulis oleh A.A. Susanto dalam bukunya, Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin, bahwa berdasarkan refleksi cinta kasih Yesus hubungan antar pemeluk agama Nasrani maupun terhadap selain Nasrani harus didasarkan pada pemahaman, penerimaan, dan toleransi.
Di dalam ajaran Katholik juga terdapat konsep toleransi, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Konsili Vatikan II tentang sikap Gereja terhadap agama-agama lain didasarkan pada asal kisah rasul-rasul 17 : 26 sebagai berikut: “Adapun segala bangsa itu merupakan satu masyarakat dan asalnya pun satu juga, karena Tuhan menjadikan seluruh bangsa manusia untuk menghuni seluruh bumi.â€
Dalam agama Hindu terdapat ajaran Dharma atau perbuatan yang baik terhadap sesama. Sementara dalam ajaran Buddha terdapat Metta atau hubungan yang baik antar sesama sebagaimana ibu kandung kepada anaknya.
Sementara untuk menyikapi keberagaman antar golongan -lebih mengerucut lagi partai politik- tentunya diperlukan sikap yang dewasa. Dengan kata lain, tiap individu harus bisa legowo menerima apapun hasil dari pelaksanaan pesta demokrasi. Hendaknya semua pihak mampu menahan diri. Yang menang menahan diri dari euforia yang melebihi batas kewajaran, dan pihak yang kalah menghindari penghujatan. Apalagi di era digital seperti saat ini dimana segala macam berita, foto, ucapan, dan sebagainya bisa menyebar dalam hitungan detik. Sementara konsekuensi dari hal tersebut bisa dialami berbulan-bulan bahkan hitungan tahun.
Demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia untuk tatanan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, tidak ada pilihan lagi selain demokrasi haruslah dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh setiap warga negara. Masyarakat yang demokratis hendaknya memenuhi ciri-ciri sebagai masyarakat yang penuh tanggung jawab, toleran, kritis, terbuka, jujur, dan adil.
*Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) dalam rangka memperingati Haul Gus Dur ke 7 yang diselenggaran DPC Garda Bangsa Bangkalan dan Mata Madura Biro Bangkalan. Penulis adalah Dosen STAI Syaikhona Moh. Kholil Bangkalan.
Daftar Pustaka
al-Nour, Sahm (2013), Al-Quran dan Terjemahannya, Pustaka Al-Mubin, Jakarta
Barton, Greg (2016), Biografi Gus Dur, Saufa, Yogyakarta
Hisham, Ibnu (1999), As-Si>rah An-Nabawiyah Li Ibn Hisham, Daar al Taqwa, Kairo
Institute, EIN (2010), Jejak Langkah Guru Bangsa, Semarang
Kaelan (2002), Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta
Rosyada, Dede (2005), Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta
Sasongko, Haryo (2005), Kerukunan Beragama, Daulat Politik, dan Kereta Reformasi, Harapan Baru Raya, Jakarta
Setiadi, Andi (2014), Bung Karno Marah, Palapa, Yogyakarta
Siauw, Felix (2016), Muhammad Al-Fatih 1453, Al-Fatih Press, Jakarta
Susanto, AB (1997), Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/205-diplomasi-desember-2014/1805-indonesia-menikmati-kebebasan-beragama-dan-demokrasi.html
http://lembutambun.blogspot.co.id/2016/05/pancasila-dan-pluralisme-indonesia.html
www.wikipedia.co.id