Religi

Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (1)

Imam-al-Ghazali
Sketsa Imam al-Ghazali (Foto/google)

Oleh: Jazuli Muthar*

matamaduranews.com-NAMA Imam al-Ghazali, sudah tidak asing di kalangan pesantren Indonesia. Sejumlah buku hasil karyanya, menjadi mata pelajaran wajib para santri yang mengenyam ilmu agama di pesantren. Seperti kitab, bidayat al-hidayah, ihyaâ Ulum al-Din, mukasyafat al-qulub, dan sebagainya. Sosoknya tak lapuk dimakan sejarah. Selebritas intelektual, ia lepas, lalu menjadi khadam (pelayan) seorang mursyid tarekat, dan memilih kehidupan sufi,. Jejak hidupnya, ia tulis lewat buku al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) dan misykat al-anwar (relung cahaya), sebuah catatan yang memberi gambaran jalan hidupnya. Al-Ghazali mengalami metamorfosis.

Setiap mendengar nama al-Ghazali dalam benak pikiran, pasti tergambar pemikir Muslim yang multi. Sosoknya penuh gelar dengan lika-liku kehidupan. Kemana al-Ghazali berdomisili, warga pasti suka dengan sikap  bersahaja, walau memiliki kecemerlangan dan wawasan ketika berceramah. Selain itu, al-Ghazali juga menyandang banyak gelar sepeninggal hidupnya. Dia tercatat sebagai filsuf, teolog, fuqaha, dan seorang Sufi. Dan semua gelar itu dimiliki oleh sosok Al-Ghazali.

Philip K Hitti, seorang orientalis, menyebut Al-Ghazali sebagai pemikir Muslim paling agung dan orsinil dalam sejerah intelektual Islam. Dia juga disebut sebagai penyempurna paham Al-Asy’ari yang kemudian menjadi ajaran Sunni hingga saat ini.

Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Al-Ghazali, yang lahir di kampung Gazzal, kota Thus, Khurasan wilayah Persia pada tahun 450 H/1058 Masehi. Al-Ghazali dan adiknya, Ahmad al-Ghazali, menjadi yatim sejak kanak-kanak. Sebelum ayahnya wafat, Al-Ghazali bersama sang adik, dititipkan kepada teman ayahnya, yang juga seorang Sufi di Thus, bernama Syekh Ahmad bin Muhammad Radhkani (w.477/1082). Pada usia muda itu, Al-Ghazali belajar ilmu fiqh dan bahasa Arab.

Menginjak dewasa, Al-Ghazali melanjutkan pendidikan di kota Durjan, di bawah asuhan Abu al-Qasim Isma’il bin Mas’ada al-Ismaili (w. 477/1084). Semua ilmu ia tulis. Saat pulang ke Thus, di tengah jalan, Al-Ghazali dicegah segerombolan penyamun, mengambil semua bekal termasuk catatan ilmu yang ia peroleh di Durjan.  Al-Ghazali  meminta buku catatan. Sang perampok malah tertawa dan berkata: bagaimana kamu bisa punya ilmu, saat kami rampas buku ini, dirimu terpisah dari buku catatan.

Al-Ghazali terdiam sambil memohon kepada kepala perampok untuk tetap mengembalikan buku yang penuh ilmu itu. Tanpa duga, sang ketua menyuruh anak buahnya untuk mengembalikan buku catatan kepada pemiliknya. al-Ghazali tersadar, kejadian yang baru menimpanya merupakan petunjuk dari Allah Swt untuk selalu menghafal semua ilmu yang di dapat.

Pada tahun 470/1077-1078, al-Ghazali pergi ke Nishapur bersama siswa asal Thus untuk belajar, di Madrasa Nidzamiyah cabang Nishapur. Dia belajar teologi, filsafat, logika, ilmu kalam dan ilmu alam di bawah asuhan Abu Ma’ali Al-Juwaini Al-Haramain (w., 478/1085). Pola belajar di sekolah barunya mencerahkan al-Ghazali. Sebab, sang guru memberi kebebasan kepada para murid untuk mengeluarkan pendapat secara bebas. Siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata mulai terlihat. Dan  al-Ghazali menunjukkan kecemerlangan dalam penguasaan ilmunya.

Margaret Smith, seorang orientalis lain, menyebut, al-Ghazali pada usia 20 tahun, telah menorehkan reputasi cemerlang dengan menulis kitab al-Mankhul, yang ditunjukkan kepada sang Imam Al-Haramain. Kemudian sang guru berkata: Kamu telah mengubur saya hidup-hidup. Kenapa tidak bersabar menunggu sampai saya mati? Dengan buku itu menjadikan karya-karya saya terabaikan.

Kecerdasan al-Ghazali sampai di telinga, Wazir Saljuk di Persia, Nizham al-Mulk Abu Ali al-Hasan bin Ali at-Thusi (w.485/1092), dan akhirnya ditunjuk sebagai Dekan Teologi Madrasah Nidzamiyah di Baghdad, pada tahun 484/1091. Pada usia 33 tahun al-Ghazali menjadi selebritis di Baghdad, dengan gelar profesor fiqh.

Mengajar  penuh wawasan, dengan bumbu sindiran halus, mengantarkannya sebagai intelektual yang tersohor. Mereka yang ngefans menjuluki al-Ghazali dengan sebutan “Bagaikan apel dipelupuk mata”.

Selama di Baghdad, al-Ghazali banyak menulis karya-karya pemikirannya di bidang fiqh, filsafat dan ilmu kalam. Salah satu karya monumentalnya adalah tahafut al-falasifah (kekacauan para filsuf) yang mengkritik para filsuf muslim dahulu, seperti al-Kindi, Al-Farabi, ibn Sina, dll.

Empat tahun menyandang guru besar dan menjadi selebritis, mengantarkan kehidupan yang tidak menyenangkan. Ada gejolak batin dalam pergulatan kehidupan yang di alami. Para peneliti menyebut al-Ghazali sedang menderita penyakit gila. Bagaimana tidak, di tengah status selebritas dan kekayaan menumpuk, tiba-tiba dirinya merasa tidak cocok dengan kehidupan yang dijalani. Ingin keluar sebagai guru besar di Nidzamiyah, yang diyakini sebagai kehidupan tipu daya.

Para peneliti tidak menyebut alasan pasti, apa yang mendorong Al-Ghazali memilih hidup menyepi dalam dunia Sufisme. Berpaling dari dunia intelektual menuju mistisme. Dari dunia rasional beralih ke dunia irrasional. Pasti ada alasan pribadi yang menjadi dasar keberpalingan hidup Al-Ghazali. Hanya saja, para peneliti menyitir pengakuan al-Ghazali sendiri dari autobiografinya yang berjudul al-Munqidh min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan). Selain itu, sebagian peneliti menyebut keberpalingan al-Ghazali dari dunia intelektua akibat kecewa pada mahasiswa dan para sahabatnya, sehingga memilih meninggalkan status guru besar dan memilih hijrah dari Baghdad.

Sumber lain menyebut, al-Ghazali mengalami kegoncangan bathin setelah ‘dipermalukan’ oleh sang adik, Ahmad al-Ghazali, ketika dirinya menjadi imam shalat. Sang adik tidak mau menjadi makmum. Al-Ghazali mengira sang adik sedang menganut aliran sesat. Peristiwa yang baru terjadi dihaturkan ke sang  ibu, dan mempertemukan antara Al-Ghazali dengan sang adik, Ahmad. Di luar dugaan al-Ghazali, jawaban sang adik menyengat batinnya. “Bagaimana aku bisa bermakmum shalat dengan imam yang berlumur darah,” jawab sang adik. Jawaban sang adik menyadarkan al-Ghazali bahwa sebelum shalat, dirinya baru saja selesai mengarang kitab fiqh, dalam bab nifash. Sehingga ingatannya terbawah dalam shalat. Al-Ghazali yakin ilmu sang adik melompati dirinya. Ketika itu, Al-Ghazali minta ditunjukkan siapa guru sang adik. Saat ditunjukkan guru tasawufnya ada di dalam pasar, yang bekerja sebagai penjahit sepatu.

Bersambung…

* Dosen tinggal di Sumenep

Exit mobile version