Oleh: Jazuli Muthar*
matamaduranews.com-Praktek kesufian menurut Al-Ghazali harus dilalui dengan ‘uzlah (menyendiri), khalwat (menyepi), riyadlah (olah jiwa), dan mujahadah (sungguh-sungguh) demi memperbaiki hati dan akhlak agar selalu ingat Allah Swt. Sehingga dapat merasakan (dzauq) hasil yang dilakukan.
Sikap ‘uzlah dan khalwat diambil al-Ghazali sebagai proses elementri penyucian sifat-sifat kasar menuju kebeningan hati. Dia sadar, selama menjadi selebritas, alfa, bahwa kedudukan dan kemewahan, bagian dari orientasi hidupnya. Karena itu, setelah hampir sepuluh tahun ‘uzlah, al-Ghazali merasakan sesuatu yang baru saat kembali ke Naisabur, menjadi tenaga pengajar.
Di pengasingan al-Ghazali merasakan hal baru. Berbeda saat berada di Baghdad. Jiwa al-Ghazali tidak lagi mencari kedudukan, gelar dan pengaruh. Dirinya bersandar pada kalimat laa haula wa laa quwwata illa billah. “aku tidak berdaya. Dialah yang menggerakkan jiwa dan ragaku,†tulis al-Ghazali dalam al-Munqidz.
Masa reborn (kelahiran kembali) al-Ghazali waktu mengajar, memanfaatkan bertukar pikiran dengan para muridnya pada malam hari. Al-Ghazali menceritakan, tentang apa yang telah menimpa dirinya, sejak memutuskan mengembara menuju Allah. Serta bagaiman ia mendapat pengalaman spiritual.
Bagi al-Ghazali, ‘uzlah sebagai bentuk proses netralisasi diri dari kekagetan seorang salik yang akan menemukan rahasia yang tak terhingga sebagai tahap awal menuju musyahadah (penyaksian yang Haq) kemudian meningkat pada mukasyafah (tersingkapnya hijab). Walau dalam keadaan sadar, kata al-Ghazali, ia akan bertemu para malaikat, arwah para Nabi dan Rasul kemudian naik kepada tingkatan lebih tinggi yang tidak bisa dilukiskan dengan kata, yaitu makrifatullah.
BACA JUGA: Metamorfosis al-Ghazali; Dari Filsuf Menuju Sufi (4)
Al-Ghazali menyebut tangga makrifatullah sebagai etape bagi perambah jalan Allah Swt. Dia melukiskan tujuh mi ‘raj (pertemuan) yang harus dilalui oleh para Salik sebelum meraih atau mencapai terminal akhir yang dituju, yaitu pertemuan dengan Allah Swt (makrifatullah).
Al-Ghazali mengibaratkan makrifatullah seperti membaranya api. Sedangkan ilmu tasawuf adalah api. Makrifat hanya diberikan kepada orang yang dekat kepada Allah Swt berupa pemberian cahaya-Nya yang ditautkan dalam hatinya. Cahaya makrifat muncul dalam hati yang bersih dari sifat hina, buruk, tercela, dan rasa malu diri sendiri. Al-Hujwiri menyebut makrifat merupakan hati yang hidup bersama Allah Swt dan dia selalu memalingkan diri selain Allah Swt.
Dengan makrifatullah, kata al-Ghazali mengantarkan hamba untuk mencintai (mahabbah) Allah Swt karena merasakan manisnya bertemu yang dirindu. Hal ini yang membedakan pengertian mahabbah Al-Ghazali dengan para Sufi terdahulu, seperti Dzun Nun Al-Misri atau Rabi’ah Adlawiyah, yang melalui tahapan mahabbah sebelum makrifatullah. Keduanya sama dimengerti atau dibenarkan. Hanya saja, Al-Ghazali lebih menekankan wujud atau hasil konkret lebih dahulu sebelum menyatakan cinta kepada Allah Swt. Sebab, bagi Al-Ghazali, dirinya merasa kurang yakin menyatakan cinta sebelum berkomunikasi langsung atau merasakan pertemuan langsung dengan-Nya (makrifatullah).
Titik perbedaan landasan cinta (mahabbah) itulah yang dirasakan Al-Ghazali menjadi bagian integral dalam kehidupannya. Sehingga, dirinya merasa ‘gila’ karena terbawa cinta-Nya. Tiada waktu untuk selalu bermesraan (uns) bersama kekasih yang dicinta. Dirinya rela (ridla) atau ikhlas menjalani apa yang menjadi ketentuan-Nya.
Al-Ghazali menyebut mahabbah kepada Allah Swt merupakan buah makrifatullah dari para pejalan mencari Allah Swt. Sebab, katanya, cinta nya kepada Allah berakar dari manisnya bertemu. Rasa rindu menggelora bila tak bertemu kekasih. Karena itu, kata Al-Ghazali, cinta butanya mengantarkan untuk selalu menyendiri demi merajut kemesraan dengan kekasih yang dicinta (Allah Swt).
Tiada waktu kecuali bermunajat (komunikasi) melalui peleburan diri dengan merasakan manisnya dzikir. Sebab, kata Al-Ghazali, hati, pikiran, dan pengetahuan sudah terserap kemesraan dengan kekasih. Al-Ghazali menyebut kemesraan (uns) bergelayut dengan Allah Swt karena hatinya terserap dan tertuju pada Kekasih yang dicintanya, sehingga tidak ada ruang kosong di dalam hatinya kecuali berisi nama Kekasih (Allah Swt). Dia melihat yang Satu, tidak lagi melihat akan dirinya, karena kalah terserap ke dalam persatuan dengan Allah Swt.
Menurut Al-Ghazali, para ‘arif melihat tidak ada wujud kecuali eksistensi Tuhan (Allah), semuanya binasa kecuali “Wajahâ€-Nya. Semuanya fana (hampa) kecuali yang Esa. Para ‘arif meleburkan diri dalam Kesatuan Mutlak. Akal pikiran hilang dan terbius di dalam-Nya. Mulutnya tidak memanggil selain nama Allah Swt. Lupa akan diri sendiri hanya Allah yang diketahui. Hatinya selalu ingat (dzikir) Allah Swt. Lisannya selalu memuji-Nya. Anggota badannya sibuk beribadah kepada Allah Swt. Para ‘arif menemukan kebahagian dan tidak mau berpisah dari yang dicintai. Allah selalu mengingat sebagaimana ia selalu ingat kepada Allah Swt. Allah mencintainya sebagaimana dia mencintai Allah. Para ‘arif merasa senang dan puas bila bersama Allah Swt.
Bersambung
* Dosen tinggal di Sumenep