Opini

Nasib Petani di Tengah Pandemi

×

Nasib Petani di Tengah Pandemi

Sebarkan artikel ini
Petani
Nasib Petani di Tengah Pandemi. (By Design A. Warits/Mata Madura)

Oleh: Akhmad Kholil*

Musim panen mestinya surga bagi para petani. Hari memetik hasil dari yang selama ini mereka tanam dengan biaya yang tak murah, dengan segala usaha dan jerih payah. Tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Begitulah nasib petani tahun ini. Hasilnya jauh dari yang diharapkan. Bisa dilukiskan dengan dua kata: petani merugi.

Derita ini terjadi di tengah kondisi pandemi Covid-19. Bencana non-alam ini memang tengah menggerogoti sendi-sendi kehidupan. Nyaris segala kegiatan diatur dan dibatasi oleh protokol kesehatan Covid-19. Semua tempat yang menimbulkan kerumunan dilarang seperti pasar, pariwisata, rumah makan, dan tempat kerumunan lainnya. Sehingga, aktivitas perekonomian mengalami kelesuan.

Bagi masyarakat petani, kelesuan ekonomi memiliki dampak nyata. Pertama, di satu sisi harga kebutuhan pokok masyarakat secara umum perlahan berangsur naik. Termasuk harga pupuk dan obat-obatan tanaman yang dibutuhkan petani makin naik.

Di sisi lain, serangan hama terhadap tanaman sayur-mayur, tembakau, dan tanaman lainnya juga tengah menjadi persoalan. Hal ini memperburuk derita yang lain: anjloknya harga hasil tanaman dari petani. Harga sayuran dari petani anjlok di kisaran Rp 2000/kg. Harga tomat jauh melorot hingga Rp 500/kg.

Kedua, terutama tanaman tembakau yang bagi masyarakat di Madura dipandang sebagai tanaman primadona, daun emas. Tak jauh nasibnya dengan tanaman lainnya, harga tembakau juga terjun bebas alias nyungsep.

Di wilayah Kecamatan Pasongsongan, Sumenep, harga tembakau perkilogramnya hanya berkisar belasan ribu. Padahal, daerah ini merupakan penghasil daun tembakau bernilai kualitas tinggi, yakni tembakau varietas Prancak.

Bahkan, untuk daun bawah tembakau ada yang Rp 8000/kg. Harga paling tinggi hanya mencapai Rp 35000/kg. Harga ini jauh menurun jika dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai 50-60 ribu/kg. Sungguh ini malapetaka bagi mayoritas rakyat Madura. Karena komoditas ini adalah harapan untuk menyambung hidup.

Melonjaknya harga kebutuhan pokok, tingginya harga pupuk dan obat-obatan tanaman di satu sisi dan rendahnya harga jual hasil panen petani di sisi lain adalah persoalan gawat yang mesti jadi perhatian bersama agar segera ditemukan solusinya. Di saat seperti ini, nasib petani seharusnya mendapatkan perhatian lebih.

Peran Dispertahortbun dan Disperindag?

Masalah di atas tidak akan terlalu sulit seandainya pemerintah pusat maupun daerah ada upaya untuk menyelamatkan dan mengangkat derajat petani. Pertama, pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Sumenep harus benar-benar hadir untuk rakyatnya, khususnya bagi petani. Ada beberapa instansi yang harus maksimal kinerjanya. Antara lain Dispertahortbun dan Disperindag. Dua instansi ini punya peranan penting bagi keselamatan dan keberlangsungan petani.

Dispertahortbun menyediakan pupuk, pengayaan bibit dan memberikan pengarahan/penyuluhan serta mengawal kualitas hasil pertanian maupun perkebunan. Sementara tugas Disperindag mengawal harga dan pemasaran hasil pertanian itu sendiri. Sinergisitas keduanya akan menyelamatkan masa depan pertanian dan ketersediaan pangan, setidaknya untuk wilayah Madura maupun untuk Sumenep itu sendiri.

Sebenarnya, tugas pokok maupun fungsi bagi dua instansi tersebut sangatlah kompleks. Tidak cukup diulas di sini. Namun yang jelas, jika mereka mau terjun langsung pada para petani dengan memberikan penyuluhan dan pengawalan secara maksimal, persoalan pertanian seperti halnya kualitas hasil tani dan rendahnya harga tak akan pernah lagi menjadi langganan setiap musim panen. Setidaknya, persoalan klasik ini bisa diminimalisir.

Kenyataannya, setidaknya ini yang dikeluhkan masyarakat, dua lembaga Pemerintah Kabupaten Sumenep tersebut sejauh ini kurang bekerja maksimal. Memang beberapa tahun belakangan ini, Dispertahortbun mulai terlihat bergerak melalui jaringan kelompok tani di desa-desa, mengontrol langsung ke sawah dan kebun petani untuk melihat kualitas beberapa komoditas pertanian. Tetapi, sinergisitas keduanya belum terlihat. Padahal, masalah utama lainnya bukan sekedar pada tanaman, tapi juga permainan harga yang sangat merugikan petani.

Peran Dinas Pengairan?

Kedua, persoalan utama yang lain yang yang melanda beberapa daerah di Sumenep saat musim kemarau adalah kekeringan. Air menjadi kendala utama bagi pertanian dan perkebunan di beberapa daerah di Sumenep. Berdasarkan data BPBD Sumenep, sebanyak 38 desa di Kabupaten Sumenep diprediksi akan mengalami kekeringan saat musim kemarau, seperti saat sekarang ini. Desa tersebut tersebar di 10 kecamatan. Di antaranya Kecamatan Pasongsongan, Dasuk, Batuputih, Batang-Batang, Talango dan Kecamatan Saronggi.

Pemerintah Kabupaten Sumenep sebenarnya memiliki Dinas Pengairan yang bisa menjadi solusi untuk masalah ini. Instansi ini bisa dimaksimalkan untuk melakukan tugas utamanya yakni melakukan pemetaan daerah rawan kekeringan dengan cermat. Kemudian membuat langkah cepat dan jelas menanggulangi persoalan kekeringan tersebut. Pertanyaan, yang lagi-lagi klasik, sampai sejauhmana instansi tersebut bekerja sesuai tugasnya?

Jawaban yang dirasakan masyarakat, instansi tersebut belum jauh ke mana-mana. Bukti kuatnya, sekali lagi, cukup perhatikan fakta-fakta terabaikannya daerah-daerah yang terus mengalami kekeringan dan kesulitan air, yang bila di musim kemarau tiba seperti sekarang, jangankan untuk mengairi sawah atau ladang, untuk mandi sehari-hari pun para petani harus berjuang melalui jalan terjal dan berliku untuk sekedar mendapatkan air bersih. Bukti itu pun untuk mempertanyakan jangan-jangan instansi itu memang belum ke mana-mana. Tak ada petunjuk yang menunjukkan instansi tersebut bekerja maksimal.

Peran DPRD Sumenep?

Sesuai fungsi dan tugasnya, anggota legislatif (DPRD) merupakan perwujudan dari wakil rakyat yang sejatinya memperhatikan, menampung, dan memperjuangkan aspirasi, kepentingan, dan kesejahteraan rakyatnya, pihak yang mereka wakili. Tapi, ini sekali lagi berhenti pada fungsi ideal belaka. Nyatanya, peran mereka tak dirasakan oleh rakyat.

Bahkan di situasi saat ini, tak ada satupun wakil rakyat yang turun langsung ke bawah. Tak satu pun anggota DPRD Sumenep (khususnya Komisi II) yang menemui petani untuk mendengarkan keluh-kesah, dan menampung aspirasi mereka. Ini bukan lagi “seakan-akan”, tapi sudah “jelas” bahwa rakyat tak punya wakil di parlemen. Karena mereka (anggota DPRD) tak pernah hadir di saat mereka dibutuhkan.

Tapi sejauhmana harapan masih ada, rakyat akan terus menagih janji para legislator. Rakyat berhak menilai kinerja para wakil yang berdasi di parlemen itu. Dan anggota DPRD memang harus memperbaiki perannya sebagai wakil rakyat.

Semoga saja wakil rakyat itu punya integritas, karena perbaikan kinerja hanya bisa dilakukan jika DPRD diisi oleh legislator-legislator berkualitas, kredibel dan tentu memiliki komitmen tinggi serta tanggung jawab dalam menjalankan fungsi legislatif. Kinerja anggota legislatif, khususnya komisi II DPRD Sumenep saat ini sepertinya layak mendapatkan raport merah.

Penting untuk diingat. Ketersediaan pangan merupakan penentu masa depan bangsa. Butuh langkah nyata yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan para petani. Tanpa mereka, kelangkaan pangan bisa saja terjadi. Ini menjadi ancaman serius bagi semua pihak. Seharusnya petani mendapat perhatian lebih, bukan justru sebaliknya.

*Penulis anak petani asli Sumenep. Lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

KPU Bangkalan