Saya ditanya banyak hal usai menyerahkan proposal tesis itu. Bahkan beliau menyarankan agar ganti judul. Jangan menggunakan tarekat. Alasan beliau: sebuah tarekat pasti ada namanya. Nama tarekat dinisbatkan kepada penciptanya. Seperti tarekat Qodiriyah. Penciptanya Syekh Abdul Qodir al Jailani. Tarekat Tijaniyah. Penciptanya Syekh Tijani. Begitu kira-kira penjelasan si dosen.
Beliau nyarankan agar diganti majelis dzikir tanpa nama.
Saya menolak. Alasan saya: majelis dzikir itu berbeda dengan tarekat.
“Majelis dzikir sebatas berdzikir tanpa target pencapaian. Sedangkan tarekat sebuah jalan menuju pencapaian (makrifatullah),”.
Makanya, Ibnu Athaillah dalam al-Hikam menjelaskan: apabila dalam perjalananmu (laku salik) bertemu sesuatu yang belum diketahui. Tanyakan kepada gurumu (mursyid).
Lalu dosen menanyakan sanad mursyid tarekat tanpa nama itu. Apakah bersanad ke Rasulullah SAW.
Saya menjawab: sanadnya jelas. Sampai ke Rasulullah SAW.
“Guru musryid itu sudah almarhum. Si mursyid berguru kepada Kiai …-silsilahnya sampai ke Rasulullah,” Saya paparkan secara rinci.
Si dosen tanya lagi: bagaimana bisa dipercaya guru mursyid tarekat tanpa nama itu menerima ilmu dari seorang yang sudah lama meninggal dunia.
Saya menyodorkan kitab Fusus Al-Hikam dan Al-Futuhat Al-Makkiyyah karya Ibnu Arabi. Isi kitab- sebagaimana penjelasan Ibnu Arabi dalam pengantar itu: isi kitab ini hanya menyalin apa yang disampaikan Rasulullah SAW kepada saya. Tak dikurangi dan ditambahin.
Artinya: perjumpaan Ibnu Arabi dengan Rasulullah SAW berlangsung beberapa hari dan malam. Padahal, Ibnu Arabi hidup-setelah Rasulullah wafat 400 tahun lalu.
Si dosen teihat tersenyum. Terkesan kecut meski senyum usai mendengar penjelasan panjang lebar dari saya.
Si dosen tetap memberi keterangan konsultasi proposal tesis itu: dengan keterangan merevisi judul.
Sampai di sini saya tak lagi tertarik melanjutkan tesis. Saya memilih berhenti tak melanjutkan sampai wisuda.
Toh..kuliah pasca sarjana-waktu itu-sebatas sarana dan refreshing tiap minggu ke Surabaya-agar punya alasan.
Makanya saya tertarik jika ada pengajian bercorak tauhid dan tasawuf. Saya anggap menghibur diri. Walau ilmu-ilmu wacana itu mudah didapat. Yang susah mengamalkan, kata Imam al-Ghazali.
Apalagi yahannu. Pura-pura ngerti. (*)