Opini

Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah-Kisah Kekasih Allah

Hikayat Auliya'
Nilai-Nilai Pendidikan dalam Kisah-Kisah Kekasih Allah. (By Design A. Warits/Mat Madura)

Membaca kisah-kisah terdahulu seperti kisah para nabi, sahabat, waliyullah, ulama sangat menghibur. Kehadirannya menjadi obat, sehingga membangkitkan hati yang tadinya kering dapat bersemangat kembali.

Buku ini menghadirkan kembali beberapa kisah menarik tentang kehidupan para salafusshaleh. Kisah-kisah yang diangkat di dalam buku ini memuat kisah sangat beragam. Masing-masing cerita disampaikan secara ringkas, tujuannya untuk memberikan bimbingan, membangkitkan kembali semangat untuk taat beribadah kepada Allah, juga agar bisa memberikan cerminan kehidupan yang utuh bagi kaum muslimin, terkhusus generasi penerus: Kids Zaman Now.

Saat Anda membaca buku ini, yang menceritakan kehidupan sehari-hari para kekasih Allah SWT tersebut, Anda akan mendapatkan bahwa kehidupan mereka sarat dengan pendidikan cinta. Mereka adalah kekasih Allah SWT yang memiliki spirit humanisme yang tinggi dan kasih sayang yang tulus.

Di antara cerita yang sangat mendidik dan menginspirasi antara lain tentang kisah Nabi Ibrahim As yang dikenal sebagai orang yang sangat dermawan. Diceritakan, Nabi Ibrahim tidak pernah makan kecuali dengan tamu. Dia, dalam cerita tersebut, menangguhkan melakukan santap makan ketika tidak menemukan tamu.

Suatu ketika dia diuji dengan diutusnya beberapa malaikat yang menyamar. Datang para malaikat menyamar sebagai tamu. Nabi Ibrahim menghidangkan makanan buat mereka. Mereka mengatakan kepada Nabi Ibrahim kalau mereka tidak bisa makan karena sedang diserang penyakit kusta. Sebagai bentuk kedermawanannya tersebut, Nabi Ibrahim As lantas mengatakan, “Maka sekarang aku harus menyuapi kalian sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memberiku keselamatan dari cobaan yang Dia timpakan kepada kalian” (hlm. 81).

Cerita di atas secara implisit mengingatkan kita bahwa Islam pada dasarnya adalah memberikan bimbingan agar hamba-Nya dapat bersikap ramah terhadap siapapun. Selain itu, agama Islam juga mengajarkan tentang pentingnya membumikan moralitas luhur di era digital ini. Oleh karenanya, selain ajarannya berisi tentang indoktrinasi dan teologis, yang perlu diketahui pula dari ajaran-ajarannya adalah tentang pentingnya membumikan nilai-nilai moral dan cinta kasih.

Pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim di atas kita bisa mengetahui sikap beliau terhadap para tamunya sangat ramah. Bukan hanya itu, sifat dermawan yang dia lakukan itu dapat menjadi pelajaran bagi kita agar tidak terlalu boros sehingga lupa untuk saling berbagi.

Selain cerita di atas masih ada beberapa cerita lain yang menggugah. Cerita tersebut mengajarkan kita tentang betapa pentingnya pendidikan tasawuf dalam Islam. Mengutip pendapat Syekh Nursamad Kamba (Allahu yarham) bahwa antara tasawuf dan Islam tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, maka tasawuf menjadi pondasi dan prinsip dalam kehidupan umat Islam. Ketika Kids Zaman Now mau bersemangat, sebaiknya orientasi dakwah lebih diarahkan pada pembumian nilai-nilai tasawuf, dengan membumikan ajaran-ajaran Islam yang ramah tersebut.

Setiap umat Islam akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat dari amal perbuatannya di dunia. Bagi yang diberikan pengertian tentang hal ini niscaya ia akan lebih senang memikirkan tentang kondisi dirinya daripada sibuk mengurusi kebaikan-kebaikan dan kejelekan orang lain. Seperti pesan-pesan Abu Manshur adz-Dzakir kepada putranya melalui mimpi putranya. Pada malam keempat putranya melihat Abu Mansur memberikan pesan tentang pentingnya merendahkan diri dan tidak sombong. Sebab, amal yang dilakukan selama hidup belum tentu menjadi jaminan (hlm. 47-48).

Kaum muslimin, terlebih Kids Zaman Now harus mengetahui hal ini. Sebab mereka memiliki hak atas dirinya, keluarga dan orang lain. Hak tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya kelak; Hak anak kepada orang tua, demikian pula sebaliknya; Hak istri kepada suami; Hak suami terhadap istri; Hak seseorang terhadap orang lain; termasuk juga terhadap antar sesama kaum beriman.

Sayangnya banyak orang yang lupa diri terhadap hal ini. Al-Qur’an menegaskan, “Ketika sangkakala telah ditutup, sejak saat itulah tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka” (Al-Mu’minun: 101). Pada saat itu pula banyak orang merasa bergembira karena mereka meresa punya hak: orang tua merasa punya hak terhadap anaknya atau terhadap saudaranya atau terhadap ayahnya atau terhadap suaminya sendiri (hlm. 428).

Melalui buku yang ditulis oleh Syekh Muhammad Abu al-Yusr Abidin kita bisa mengetahui bahwa kehidupan para kekasih Allah sungguh menghibur. Mereka memberikan pendidikan tentang cara bersikap yang baik, mengamalkan ilmu mereka dan berpegang pada syariat Allah serta Sunnah Rasulullah.

Lewat hikayat tersebut, buku ini menyampaikan pesan bahwa dalam melakukan pembumian ajaran Islam umat Islam harus bisa memberikan nilai-nilai tasawuf dalam setiap gerak dakwah. Adalah penting memahami tasawuf dan mengkontekstualisasikannya dalam kehidupan kekinian.

Pentingnya pengajaran dengan gaya cerita ini lebih efektif, sehingga pembaca tidak mudah merasa bosan dan jenuh ketika akan menuntaskan bacaannya. Buku setebal 468 yang diterbitkan penerbit Qaf Jakarta menjadi solusi bagi anak muda, Kids Zaman Now, untuk menambah wawasan keilmuan.

*Guru di Motivator Qur’an Ekselensia Indonesia, Bogor, Jawa Barat.

Exit mobile version