Berita

Pansus II DPRD Sumenep Belum Setujui Penyertaan Modal PT WUS, Ini Alasannya

Pansus PT WUS
Anggota Pansus II DPRD Sumenep, Juhari,

matamaduranews.com – Rencana penyertaan modal yang diajukan oleh PT Wirausaha Sumekar (WUS) masih menuai sorotan dari Anggota DPRD Sumenep.

Hingga pertengahan April 2025, Panitia Khusus (Pansus) II DPRD Sumenep belum memberikan persetujuan atas pengajuan tersebut.

Pengajuan ini menjadi perhatian publik, mengingat kinerja PT WUS pada tahun sebelumnya tidak berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sumenep.

DPRD Soroti Kinerja dan Transparansi PT WUS

Anggota Pansus II DPRD Sumenep, Juhari, menyatakan bahwa pihaknya masih membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang berkaitan dengan penyertaan modal. Menurutnya, belum ada keputusan final karena masih banyak aspek yang perlu dikaji secara mendalam.

“Itu masih dalam pembahasan. Pansus II tidak harus serta merta menyetujui penyertaan modal tersebut,” ujarnya, Selasa (15/04/2025).

Juhari menilai bahwa PT WUS perlu menyampaikan laporan yang lebih komprehensif dan transparan kepada dewan, khususnya terkait pengelolaan dan efektivitas penggunaan modal yang diajukan.

Kepemilikan Modal dan Kinerja Usaha Jadi Sorotan

Salah satu catatan penting dari DPRD adalah kepemilikan modal sebesar 99% oleh Pemkab Sumenep yang dinilai belum dimaksimalkan. Juhari menegaskan agar PT WUS tidak melibatkan pihak lain seperti MMI, jika memang pemerintah daerah memiliki mayoritas saham.

Selain itu, kinerja PT WUS di sektor SPBU juga dipertanyakan. Menurut Juhari, tidak semestinya usaha SPBU mengalami kerugian karena setiap liter BBM yang dijual sudah memiliki harga pokok dan margin keuntungan.

“Tidak layak dikatakan rugi. Barang keluar pasti ada harga pokok dan hasil. Ini harus ditinjau serius,” tegasnya.

Efisiensi Belanja Operasional Jadi Evaluasi

Dewan juga menyoroti belanja operasional PT WUS yang dianggap tidak efisien. Juhari memberikan contoh, jika pendapatan usaha mencapai Rp1 miliar, maka pengeluaran operasional idealnya tidak melebihi Rp300 juta.

“Bukan malah hasil usaha Rp1 miliar, biaya operasionalnya Rp1,2 miliar. Itu tidak efisien dan perlu dievaluasi,” pungkasnya. (ham)

Exit mobile version