Religi

Pendapat Para Sufi Tentang Wushul Ilallah

Wushul Ilallah
Ilustrasi

matamaduranews.com-Dalam tasawuf, wushul ilallah (وصول إلى الله) bermakna: pencapaian kesadaran hakiki tentang Allah.

Seseorang yang telah wushul ilallah, menurut para sufi yaitu mereka yang telah melewati berbagai maqam spiritual, seperti tazkiyatun nafs (penyucian jiwa), lenyapnya ego dan hidup dalam kehendak Allah.

Berikut pendapat para sufi tentang wushul ilallah (sampai kepada Allah)

Syekh Junaid al-Baghdadi:

Mereka yang benar-benar telah wushul ilallah tidak akan pernah mengklaim diri mereka sebagai wali atau orang suci. Mereka akan menyembunyikan maqam mereka dengan tawadhu’.

Syekh Junaid al-Baghdadi berdawuh:

Orang yang mengatakan ‘aku telah sampai’, berarti ia masih jauh.”

Mereka menyadari bahwa perjalanan ini tidak ada akhirnya karena Allah adalah Dzat yang tak terbatas. Sehingga semakin tinggi maqam seseorang, semakin dalam rasa ketidakberdayaannya di hadapan Allah.

Jadi, seseorang yang telah wushul ilallah bukanlah orang yang menghilang dari dunia, tetapi ia hadir dalam kehidupan dengan cahaya Ilahi, menjadi rahmat bagi manusia, dan hidup dalam kesadaran penuh akan Allah di setiap tarikan napasnya.

Ibnu Athaillah as-Sakandari

Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam sering menekankan bahwa perjalanan menuju Allah bukanlah soal mencapai suatu titik akhir, tetapi sebuah kesadaran terus-menerus akan keberadaan-Nya.

Salah satu hikmahnya berbunyi:

Permintaanmu agar diberi tambahan ketika engkau sudah sampai adalah bukti bahwa engkau belum sampai.

Maksudnya, orang yang benar-benar wushul tidak lagi menuntut sesuatu dari Allah. Mereka telah mencapai kesadaran total bahwa segala sesuatu datang dari-Nya dan tidak ada kehendak lain selain kehendak Allah.

Ibnu Arabi

Menurut Ibnu Arabi seseorang yang telah mencapai wushul ilallah menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang terpisah dari Allah.

Beliau berdawuh:

Orang yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya. Jika ia mengenal Tuhannya, maka ia tidak lagi melihat dirinya.”

Artinya, wushul ilallah bukanlah “mencapai” Allah karena tidak ada pemisahan antara manusia dan Allah sejak awal.

Hanya saja, selama manusia masih terjebak dalam ego dan ilusi dunia, ia merasa terpisah dari Allah.

Begitu kesadaran sejati muncul, ia menyadari bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari-Nya.

Imam Al-Ghazali

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa wushul ilallah adalah perjalanan batin yang melalui tahapan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan ma’rifatullah (pengenalan hakiki terhadap Allah).

Beliau menulis:

Bukanlah wushul itu dengan berpindah tempat, tetapi dengan lenyapnya hijab yang menghalangi antara engkau dan Tuhanmu.”

Menurutnya, hijab terbesar yang menghalangi manusia untuk mencapai wushul adalah nafsu, cinta dunia, dan kejahilan.

Setelah semua itu disingkirkan, manusia akan mengalami cahaya Ilahi dalam hatinya dan melihat segala sesuatu dengan mata hakikat.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam Futuh al-Ghaib menjelaskan bahwa seseorang yang telah wushul ilallah bukanlah orang yang menghilang dari dunia, melainkan ia tetap berada di tengah manusia tetapi dengan hati yang selalu terhubung dengan Allah.

Beliau berdawuh:

Jadilah seperti burung di udara dan ikan di air. Burung tidak tenggelam di air, dan ikan tidak terbakar di udara.

Maksudnya, seorang yang telah wushul tetap berada dalam kehidupan dunia, tetapi tidak terpengaruh oleh godaannya. Ia hidup di dunia, tetapi hatinya telah bersama Allah.

Rabi’ah al-Adawiyah

Rabi’ah, seorang sufi wanita besar, menekankan bahwa wushul ilallah adalah keadaan cinta yang murni kepada Allah, tanpa ada keinginan duniawi maupun ukhrawi.

Beliau berdawuh:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, maka jauhkanlah aku darinya. Jika aku menyembah-Mu karena takut neraka-Mu, maka masukkanlah aku ke dalamnya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, maka janganlah Engkau jauhkan aku dari-Mu.”

Bagi Rabi’ah, wushul adalah saat seseorang mencintai Allah tanpa pamrih, hanya karena Dia adalah Tuhan yang layak dicintai.

Bayazid al-Bustami

Bayazid al-Bustami terkenal dengan konsep fana’ (lenyapnya ego dalam Allah) dan baqa’ (kehidupan dalam kehendak Allah).

Beliau pernah berdawuh:

Aku ingin bebas dari diri sendiri, agar aku bisa bersatu dengan Tuhanku. Maka, aku berkata: Ya Allah, siapakah Engkau? Dan siapa aku? Maka terdengar jawaban: Aku adalah Aku, dan engkau adalah engkau.

Artinya, seseorang yang telah wushul tidak lagi memiliki kehendak pribadi, karena kehendaknya telah menjadi bagian dari kehendak Ilahi.

Dari berbagai pandangan para sufi di atas, ada beberapa poin utama tentang wushul ilallah:

Bukan berarti bertemu Allah secara fisik, tetapi mencapai kesadaran hakiki tentang-Nya.

Proses ini mencakup penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan kehancuran ego (fana’).

Orang yang telah wushul illah tidak mengklaim dirinya telah sampai, karena semakin tinggi seseorang, semakin ia merasa kecil di hadapan Allah.

Ia tetap hidup di dunia, tetapi hatinya tidak terikat oleh dunia (zuhud sejati).

Ia melihat semua kejadian sebagai manifestasi dari kehendak dan kasih sayang Allah.

Sebagaimana Junaid al-Baghdadi berkata:

Orang yang mengatakan ‘aku telah sampai’, berarti ia masih jauh.”

Jadi, semakin seseorang merasa telah wushul, justru itu tanda bahwa ia masih terhalang. Sementara mereka yang benar-benar telah wushul, hidup dalam kesederhanaan, kebijaksanaan, dan kasih sayang, tanpa perlu mengumumkan maqamnya kepada dunia. (redaksi)

Exit mobile version