Opini

Pentingnya Menelaah Falsafah

Nur Muhammad.@Mata Madura

Oleh: Nur Muhammad*

Di tengah hiruk-pikuk perjalanan suatu perkumpulan, sering kali didengar kalimat “jangan banyak bicara, bekerjalah”, yang mana hal tersebut sering dijadikan sebagai alat atau dasar untuk mencemooh aktivis yang hobinya ngopi dan konsolidasi. Dilihat dari kajian faktual, kalimat tersebut sebenarnya bukan berarti salah. Akan tetapi masih membutuhkan kajian lebih lanjut untuk menemukan pemahaman yang komprehensif. Sebab jika dibiarkan, yang sering tertanam dalam benak seorang adalah pemaknaan kalimat itu menjadi sempit.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Adanya kalimat demikian, sebenarnya tidak hanya terjadi pada saat ini. Akan tetapi semenjak Hindia Belanda dijajah oleh negeri Belanda sudah sering kali kalimat itu didengungkan. Seperti dulu saat perjuangan untuk meraih kemerdekaan, Bapak Proklamator Bung Karno juga dicemooh dengan kalimat demikian. Pada saat itu, Bung Karno yang sering menyampaikan orasi-orasi dari podium satu ke podium lainnya dinilai oleh beberapa orang terlalu banyak bicara dan tidak ada buktinya. Namun pada masa itu pula di media “Suluh Indonesia Muda” dimuat karya penulis nasional bernama Manadi yang menulis tentang “banyak bicara, banyak bekerja” yang menjadi tandingan. Lalu hal tersebut dikuatkan kebenarannya oleh Bung Karno. Sang Prokalamator menyampaikan bahwa bekerja dalam artian melakukan banyak pembangunan adalah hal yang penting. Akan tetapi juga tidak kalah pentingnya melakukan pergerakan propaganda politik dengan menghidupkan massa aksi melalui pidato-pidato di atas podium agar massa tersebut menjadi radikal.

Kenyataan yang pernah dirasakan Bung Karno pun tidak jauh berbeda dengan kenyataan yang dirasakan beberapa aktivis pergerakan belakangan ini, yang sering mendapat justifikasi bahwa “mereka terlalu berbelit-belit, tidak menghasilkan apa-apa”. Yang sebenarnya ketika hal tersebut kita kaji lebih lanjut merupakan penampakan keterbelakangan pemahaman yang dimiliki oleh mereka.

Berbagai pergerakan atau apapun saja ketika akan dibangun oleh para aktivis memang membutuhkan proses kajian yang sangat Panjang. Sebab dalam skala besarnya bangsa ini adalah bangsa yang sangat kental dengan substansi dan value. Dan ketika apa yang ingin dibangun oleh aktivis kemudian menghilangkan budaya kajian mendalam atau manut pada prinsip “tidak banyak bicara, banyak bekerja”, maka perlu kiranya aktivis tersebut dilakukan pembinaan dan ditinjau kembali plakat ke-aktivis-annya.

Selamanya dunia perjuangan adalah dunia lautan darah, yang siapapun masuk di dalamnya sudah barang tentu harus siap terluka. Terluka dalam artian merasakan sakitnya berproses. Lebih-lebih bagi kalangan mahasiswa yang tergabung dalam suatu perkumpulan non profit yang mempunyai kader dan segenap senior.

Sebagai perbandinga, sering kita temui dalam catatan sejarah banyak para tokoh kecewa tanpa batas sebab tidak dapat mengakses buku-buku untuk dibaca. Seorang tokoh Timur Tengah misalnya ketika dikejar oleh penguasa karena ia sering melakukan penolakan atas kekuasannya, yang diselamatkan pertama kali adalah buku-bukunya. Atau para aktivis pergerakan terdahulu seperti Bung Karno, Pak Hatta, dan Tan Malaka yang pada saat itu sangat sulit mengakses buku-buku, namun sudah memiliki dan berhasil membaca sekaligus menulis ratusan buku. Bukti nyata tersebut masihkah kurang untuk menjadi pelajaran bahwa dinamika kajian itu tidak dapat dipisahkan dari urat nadi pergerakan?

Kita ketahui bersama ketika Bung Karno menyampaikan pidatonya, ia sama sekali tak memegang teks seperti pidato improvisasi. Tapi kenapa isinya mampu menggemparkan dunia dan menyentuh cakrawala pendengarnya sehingga sampai saat ini masih sering diambil sebagai referensi oleh siapa saja? Tak lain, itu karena ketika ia mau memyampaikan pidato, semisal politik, sudah membaca puluhan buku untuk dijadikan referensi sejak sebelumnya.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan realita hari ini, yang mana untuk melakukan apapun saja dengan statemen “banyak bekerja” sudah menjauhi referensi meski sebatas untuk dijadikan pokok acuan argumentasi dan gerakan aksi. Lalu kemudian ketika banyak kaum imperialis masuk untuk merongrong, bisanya hanya marah-marah tanpa dasar. Padahal, sebenarnya di balik aksi yang dilakukan oleh kaum imperialis tersebut telah banyak kajian dan penelitian yang dilakukan.

Nah, belakangan ini banyak sekali kita dapati kenyataan matinya budaya literasi seperti itu di tengah gerombolan mahasiswa yang disebut sebagai harapan masa depan bangsa. Lalu saat kenyataannya sudah demikian, masihkah pantas predikat harapan masa depan diberikan kepada mahasiswa? Padahal, pergerakan atau keorganisasian yang dimotori oleh mereka sudah mulai memyingkirkan budaya leluhur kita, atas dasar mengagungkan kalimat “banyak bekerja” tersebut. Meminjam bahasa Taufiq Ismail, “ini tragedi”.

Saat kondisinya demikian, maka tidak perlu heran ketika belakangan kita dapati banyak saudara-saudara yang mendapat rongrongan dari kaum asing terhadap kekayaan yang dimiliki kita. Sebab, para generasi sudah tidak mau berpikir, lantas mental kritisnya juga mulai terkungkung sendiri dengan amanat modernisasi, sehingga itulah akhir yang terjadi.

Maka ke depan, kajian mendalam sangat perlu dilakukan di semua aspek kehidupan kita. Lebih-lebih yang berbasis keagamaan atau kenegaraan. Karena jasa founding father kita yang melakukan perjuangan dan kontemplasi mendalam menggali falsafah Nusantara terlalu suci untuk dikotori oleh kebodohan para generasi saat ini. Sebab, falsafah yang dimiliki tidak akan pernah usang oleh waktu. Sehingga dalam setiap perjuangan, apapun seharusnya tidak memarginalkan asas dan penyampaian argumentasi berdasar kajian filosofis, antropologis, politis, dan lain sebagainya yang sesuai dengan rumusan, kedudukan dan fungsinya sebagai manifestasi sebuah generasi yang di anggap berinetlektual tinggi, cendikia dan calon ilmuan katanya, yang mempunyai tanggung jawab besar, walaupun hidup menderita karena perjuangan seperti yang ditulis Jujun S. Suria Sumantri dalam salah satu bukunya.

Dalam semua kesempatan yang ada, substansi memang selalu menjadi asas dari semua aspek. Kalimat “jangan banyak bicara, bekerjalah” yang sering didengungkan itu perlu kiranya kita kaji secara mendalam agar pemahaman yang dimiliki tidak sesempit lubang semut. Atau jika perlu kita dengungkan kalimat tandingan dari Bung Karno, yakni “banyak bicara, banyak bekerja”. Akhirnya, dunia litetasi perlu terus digenjot untuk mendapat pemahaman yang komprehenshif dan terintegrasi dalam kematangan dan kedewasaan berpikir di benak setiap generasi. Baik secara akademis maupun aktivis, semuanya perlu terlebih dahulu dikaji dan bedah referensi.

*Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep.

Exit mobile version