Pondok Pesantren Mambaul Hikam merupakan salah satu pesantren tertua di kabupaten Bangkalan. Meski tidak ada catatan pasti yang tertulis, namun dari sejarah pendirian maupun aspek hubungan guru-murid antara pengasuh awal dengan beberapa kiai besar di Madura, secara tidak langsung menyatakan bahwa pesantren ini tidak hanya tertua, namun menjadi salah satu jujukan utama yang menelorkan sejumlah ulama besar di nusa garam ini.
MataMaduraNews.com, BANGKALAN – Kisah berdirinya pesantren ini tidak bisa lepas dari sosok Kiai Haji Abubakar yang diyakini hidup di kurun 1800-an Masehi. Kiai Abubakar disebut asli Madura Barat, yakni dari Desa Petapan, Labang, Bangkalan. Sebuah desa yang terkenal dengan mata air keramat Petapannya. Mata air yang merupakan sisa karomah Kangjeng Suhunan Putromenggolo bin Suhunan Cendana, yang jasadnya disemayamkan di bumi Petapan. Versi lain menyatakan bahwa Kiai Abubakar bukan asli Madura, namun versi ini agak lemah karena bersumber dari selain keturunannya.
Namun dari kedua versi tersebut menyebut bahwa Kiai Abubakar menuntut ilmu hingga ke tanah suci Mekkah. Dan dari sanalah sejarah pesantren ini diukir. Konon Kiai Abubakar disuruh pulang oleh gurunya sembari dibekali segenggam tanah atau saketeng (Madura). Tanah tersebut disuruh sang guru untuk dibawa ke tempat yang jenis tanahnya sama atau cocok. Dan jika sudah ketemu, sang murid diperintahnya mendirikan sebuah pesantren disitu.
Patuh, Kiai Abubakar segera melaksanakan titah gurunya. Alhasil, di antara sejumlah tempat pengembaraannya, tanah yang cocok ada di pulau Madura, tepatnya di wilayah Kecamatan Burneh Bangkalan. Tempat itu selanjutnya diberi nama Ketengan, mengacu pada segenggam tanah yang dibawa beliau, atau yang istilah Maduranya ketengan.
Letak geografis pesantren tersebut terbilang unik. Melengkung atau agak menjorok ke dalam, mirip perahu. Namun anehnya, saat musim hujan atau terjadi banjir, lokasi pesantren luput dari genangan air. Air justru hanya lewat di sisi kanan dan kiri pesantren ini.
Kiai Abubakar merupakan pendiri sekaligus pengasuh pertama pesantren ini. Setelah Kiai Abubakar mangkat, estafet kepengasuhan dipegang oleh menantu beliau, Kiai Haji Mohammad Amin. Kisah mangkatnya Kiai Abubakar begitu terkenal dan terus terpatri di benak para penerusnya. Beliau dikisahkan mangkat di tengah perjalanan pulang dari tanah suci Makkah, di tengah laut sagatra atau laut Merah.
Saat itu, Kiai Abubakar bersama rombongan jamaah haji dari Madura bermaksud menunaikan ibadah haji ke tanah haram. Selepas menjalankan ibadah, Kiai Abubakar bertolak kembali ke Madura. Namun di tengah perjalanan beliau wafat. Saat itulah semua penghuni kapal melihat karomah besar beliau. Jasad beliau saat hendak ditenggelamkan ke laut, tiba-tiba laut terbelah seperti disibak sembari mengeluarkan cahaya terang. Konon jenazah Kiai Abubakar diterima kawanan lumba-lumba dan masuk ke dalam laut yang terbelah dan bersinar itu.
Murid-murid utama Kiai Abubakar menyebar di Madura, bahkan juga di luar pulau ini. Di antara murid beliau yang terkenal ialah Kiai Haji Syaikhona Muhammad Khalil, Bangkalan. Sementara di Sumenep, di antara murid beliau yang masyhur ialah Raden Ario Abdulghani Atmowijoyo (salah satu tokoh waliyullah dan ulama besar di kota Sumenep), dan Kiai Haji Imam (salah satu ulama besar sekaligus pendiri pesantren Karay, Ganding, Sumenep).
Selanjutnya, kendali pesantren dipegang oleh Kiai Amin, seperti yang disebut sebelumnya di atas. Kiai Amin dikenal sebagai tokoh ulama di bidang fiqh dan tashauf. Setelah Kiai Amin, Ponpes ini dipimpin oleh putranya, Kiai Haji Khothib, sekitar dekade 1920-an. Di masa beliau ini untuk pertama kalinya dibangun langgar berlantai dua yang hingga kini masih berdiri kokoh, dan merupakan peninggalan utama pesantren, disamping ratusan kitab-kitab kuno (klasik).
Kiai Khothib kemudian diganti putranya Kiai Haji Abdul Kafi. Di masa ini Ponpes ini mengalami banyak kemajuan, hingga tahun 1948 Kiai Kafi mangkat di perantauan, tepatnya di Sumbawa kala berdagang. Hingga tahun 1978, Ponpes ini sempat mandeg, sebab putra-putra Kiai Kafi masih nyantri. Baru tahun itu salah satu putra Kiai Kafi, yaitu Kiai Ahmad Jamil menghidupkan kembali mesin pesantren. Di masa beliau dan saudara-saudara lainnya juga mulai dibentuk jalur pendidikan formal, mulai Madrasah Tsanawiyah hingga Madrasah Aliyah.
Namun, meski mengkolaborasikan kedua jalur (non formal dan formal), pesantren peninggalan Kiai Abubakar ini tetap mengutamakan pengembangan pendidikan agama dan diniyah sekaligus karakter kepesantrenan. (R B M Farhan Muzammily)