Ponpes Nurul Cholil; Berawal Dari Cahaya di Kediaman Kiai Muntashor

KH Zubai Muntashor
Nama besar Syaikhona Cholil memang berkah. Setiap orang bertabarruk dengan namanya. Untuk nama anak, cucu, hingga lembaga pendidikan agama. Jejak sang guru besar sudah mendarah daging, laksana cahaya dengan sang surya. Nurul Cholil merupakan bagian dari berkah dan cahaya sang Wali.
KH Zubair Muntashor
KH Zubair Muntashor

MataMaduraNews.comBANGKALAN– Awal berdiri Pondok Pesantren Nurul Cholil erat kaitannya dengan perkembangan Pondok Pesantren Syaikhona Cholil Bangkalan. Sejak Syaikhona Cholil bin Abd Latif wafat tahun 1925, pengasuh pondok pesantren dipangku oleh Kiai Haji Imron Cholil, namun beliau menyerahkan tugas kepemimpinannya kepada Kiai Haji Muntashor bin Muhammad, menantunya. Kiai Muntashor ini juga merupakan salah satu santri Syaikhona Cholil yang terkenal wara’, alim dan berbudi luhur.

Awal cerita bermula dari ungkapan dhabu (Madura; red), Kiai Imron bin Syaikhona Moh Cholil pada tahun 1955, kepada beberapa santri. Salah satunya bernama Munawwir asal Desa Bilaporah, Kecamatan Socah, Bangkalan; bahwa Kiai Imron melihat cahaya (nur) di atas kediaman Kiai Muntashor bin Muhammad.

Di lokasi inilah beliau memberi isyarat bahwa nantinya akan berdiri sebuah pondok pesantren besar yang diasuh oleh salah satu keturunan beliau. Dan kelak putra-putri dari alumni Kiai Imron akan belajar di pondok itu. Isyarat tersebut diperjelas oleh beliau dengan mengatakan bahwa kelak di lokasi musholla Kiai Muntashor akan berdiri pondok pesantren besar.

Asrama Ponpes Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan
Asrama Ponpes Nurul Cholil, Demangan Barat, Bangkalan

Selang beberapa waktu kemudian santri di Ponpes Syaikhona Cholil kian hari kian bertambah, sehingga asrama pemukiman yang ada tidak dapat menampung santri. Konon sebagian santri sampai berteduh di bawah pohon Salak. Sehingga membuat salah seorang santri minta izin kepada Kiai Haji Makmun bin Kiai Haji Imron dan Kiai Haji Fathur Rozi untuk pindah ke musholla Kiai Haji Muntashor sebelah barat Ponpes Syaikhona Cholil yang berukuran 4×4 meter persegi dan berstatus tanah waqof dari Datuk Muhammad Bin Sholeh.

Pada tahun 1957 dawuh Kiai Imron terwujud dan berdirilah sebuah pondok pesantren di situ. Dari sinilah cikal bakal berdirinya pondok pesantren Nurul Cholil yang saat itu jumlah santri masih bisa dihitung dengan jari. Santri pertama ponpes ini bernama Syafi’i. Ponpes ini pun juga masih belum memiliki nama saat itu.

Seiiring dengan berjalannya sang waktu, santri pun kian hari kian bertambah banyak, oleh karena itu Kiai Muntasor berinisiatif untuk membangun asrama pemukiman untuk santri. Dalam hal ini Kiai Muntashor dibantu oleh Haji Jawini (Juaini) Pakaan Lao’ dan Haji Abd Jalil Sattoan Bangkalan. Pembangunan pun dimulai dan berdirilah asrama berukuran 8×12 meter persegi tersekat menjadi 4 bilik yang selanjutnya disebut cangkruk (sebutan untuk tempat beristirahat dan berfikir). Penyebutan ini diilhami dari perkataan istri Kiai Muntashor, yakni Nyai Hajjah Nadhifah Imron ketika melihat begitu kecilnya asrama yang ada.

Perkembangan Ponpes
Sebagai lembaga pendidikan salaf, pondok pesantren ini mengadopsi sistem belajar bandongan dan sorogan. Ternyata sistem tersebut mampu memikat animo masyarakat untuk menuntut ilmu dan mengaji ke pondok yang diasuh Kiai Muntashor ini. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengikuti kegiatan bandongan dan sorogan tersebut, di antaranya terdapat Kiai Haji Thobroni bin Kiai Haji Abd Aziz Sebaneh, beliau sangat akrab sekali dengan Kiai Muntashor.

Era 70-an istilah cangkruk berubah menjadi Ponduk Jhubara’ (pondok barat; red) dan asrama santri bertambah menjadi 21 bilik dengan berupa bangunan kayu yang menjadi ciri khas pesantren kala itu.

Pada tahun 1977 mendung duka menyelimuti kota Bangkalan, Kiai Muntashor selaku pengasuh sekaligus pendiri pondok pesantren meninggal dunia. Kemudian secara otomatis tongkat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh putra tunggal beliau yaitu Kiai Haji Zubair Muntashor.

Dan semenjak itulah beliau dengan telaten mengadakan pembenahan di berbagai sektor dan disesuiakan dengan tuntutan zaman, namun tetap dalam kriteria salafiyah, terutama di sektor pendidikan dibagi menjadi dua bagian yaitu mempertahankan sistem sorogan dan bandongan sekaligus menambahkan Madrosiyah Klasikal dan jam wajib belajar. Dalam hal ini santri Ponduk Jhubara’ ini mengikuti kegiatan wajib belajar diniyahnya di Pondok Pesantren Al-Kholiliyah An-Nuroniyah Demangan Timur.

Tidak hanya dibidang pendidikan, sistem kedisiplinan santri juga mendapat perhatian, mulai saat itu semua santri diwajibkan untuk melaksanakan sholat secara berjamaah serta dilarang untuk keluar dari wilayah pondok pesantren di waktu malam hari.

Sejak tahun 1983 sebutan Ponduk Jhubara’ berubah menjadi Ponpes Nurul Cholil Al-Muntashori atas inisiatif dari Kiai Zubair Muntashor. Nama ini diasumsikan sebagai perkembangan dari perwujudan dawuh Kiai Imron bin Syaichona Cholil jauh sebelum pondok pesantren ini berdiri. Dan sejak itu pula, Ponpes Nurul Cholil Al-Muntashori secara kuantitas mengalami peningkatan. Jumlah santri berkembang dengan pesat, bahkan pada tahun 1986 Ponpes Nurul Cholil Al-Muntashori mendirikan pondok pesantren khusus putri dengan nama Ponpes Putri Nurul Cholil. Hal ini berawal dari kesadaran dan animo masyarakat tentang pentingnya pendidikan agama untuk putra-putri mereka dan sesuai dengan kepedulian pengasuh terhadap peningkatan SDM (sumber daya manusia) lewat pendidikan agama.

Dengan semakin banyaknya santri yang mondok di Ponpes Nurul Cholil Al-Muntashori, pada tahun 1987 pondok pesantren mulai mengadakan pembenahan manajemen dengan membentuk pengurus yang terdiri dari tiga unsur yaitu dewan penyantun, dewan harian dan dewan pleno. Seiring waktu perkembangan, Pondok Pesantren ini terus berpacu untuk membenahi manajemennya. Pemilihan pengurus periode 1989-1990 menghasilkan keputusan untuk melengkapi struktur organisasi kepengurusan dan melengkapi personalia. Secara struktural kepengurusan saat itu lebih lengkap dari periode sebelumnya dengan fasilitas kantor yang sederhana. Para pengurus dengan khidmat dan penuh pengabdian menjalankan tugas kepengurusan dengan penuh semangat walaupun hasilnya masih jauh dari sempurna. Saat itu Ponpes Nurul Cholil Al-Muntashori memiliki jumlah santri sebanyak kurang lebih 500 santri putra dan 200 santri putri.

Kemudian pada tahun 1992 nama Ponpes Nurul Cholil Al-Muntashori disingkat menjadi Ponpes Nurul Cholil atas usul dari ibu nyai Hajjah Masri’ah Anwar. Usul yang sebelumnya disetujui oleh pengasuh pondok pesantren Kiai Zubair Muntashor. Sampai saat ini pondok pesantren yang didirikan pada tahun 1957 dan sudah memiliki ribuan santri itu bernama Ponpes Nurul Cholil.

Hasin, Mata Bangkalan |Editor: R. M. Farhan Muzammily

Exit mobile version