Nama kawasan Raba, di Desa Sumedangan Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan hingga kini masih melegenda. Situs Raba yang bertarikh abad ke-11 Hijriah atau sekitar kurun 1700-an Masehi merupakan magnet alam yang membuat bekas kawasan belantara itu cukup disegani oleh setidaknya dua kutub di Madura (baca: Sumenep-Pamekasan).
MataMaduraNews.com, PAMEKASAN – Raba cukup lama menjadi sebuah pusat jujukan ilmu agama Islam. Sebelum istilah pesantren populer, Langgar Raba sudah menyedot banyak orang untuk nyantri pada sosok yang berjuluk Kiai Agung Raba. Secara estafet, langgar Raba dikendalikan oleh anak cucu Kiai Abdul Qidam (saudara ipar Kiai Agung Raba). Dan yang pertama kali menggantikan Kiai Agung Raba ialah Kiai Adil bin Abdul Qidam.
Di masa Kiai Adil hingga keturunannya yang bernama Kiai Adra’ie alias Kiai Haji Abdul Wahhab, langgar Raba hanya mengalami perubahan penyebutan menjadi pesantren Raba.
“Sistem pendidikan pesantren salaf murni. Hingga saat itu juga tidak mengenal sistem klasikal,†kata Bindara Abdul Hamid, salah satu cucu Kiai Abdul Wahhab kepada Mata Madura.
Di jaman kolonial Belanda, tutur Hamid, pesantren Raba memiliki dwi fungsi. Salah satu fungsi lainnya ialah sebagai tempat persembunyian para laskar pejuang. Konon, Belanda tidak pernah bisa menembus kawasan Raba. “Karomah Kiai Agung. Kawasan ini seakan ada pagar gaib. Para pejuang juga mengambil bambu sojjin Raba sebagai senjata,†imbuhnya.
Asal-Usul
Langgar atau Pondok Pesantren Raba, secara geografis terletak di sebelah selatan kota Pamekasan. Langgar ini didirikan pertama kali oleh Kiai Abdurrahman yang kemudian dikenal dengan julukan Kiai Agung Raba. Beliau membabat dan mendiami alas Raba atas perintah gurunya, Kiai Aji Gunung Sampang.
Kiai Agung Raba dikenal dengan kealiman dan karomahnya. Selain fiqih, beliau juga dikenal sebagai ahli di bidang ilmu Ushul (Tauhid). Beliau juga diayakini sebagai wali agung di masanya, sekaligus juga diyakini sebagai pakunya pulau Madura.
Santri-santri awal berasal dari kalangan keluarga beliau sendiri. Seperti diantaranya Kiai Abdullah (Kiai Batuampar Sumenep, ayah Bindara Saut) dan Kiai Adil, dua putra Kiai Abdul Qidam dan Nyai Asri (adik Kiai Agung Raba). Juga ada nama Kiai Faqih (Lembung, Lenteng, Sumenep), Kiai Agung Waru, dan lainnya.
“Bahkan penguasa Pamekasan Panembahan Ronggosukowati dalam beberapa riwayat juga disebut berguru pada beliau. Ini menegaskan bahwa pesantren Raba sudah ada sejak kurun 1500-an Masehi,†kata Hamid.
Setelah Kiai Adil wafat, secara berturut-turut pesantren Raba diasuh oleh Kiai Arham, Kiai Isnad, Kiai Husen, Kiai Sama’on dan Kiai Abdul Wahab alias Kiai Adra’ie.
Sempat Menjadi Ponpes Darun Na’im
Di masa Kiai Adra’ie, pesantren Raba mengalami perubahan. Pesantren ini diberi nama Pondok Pesantren Darun Na’im. Sistem pendidikan menggunakan metode klasikal salaf. Saat itu juga merupakan era kemajuan pesantren Raba. Santri bertambah banyak. Mereka berasal dari luar maupun Pamekasan sendiri.
“Setelah beliau wafat kepemimpinan ponpes Darun Na’im diasuh oleh Kiai Ahmad Madani bin Adra’ie. Pada masa ini tetap dengan sistem klasikal salaf, tapi sudah ada lembaga setingkat Madrasah Diniyah, dan Lembaga Pendidikan Tilawatil Qur’an,†jelas Hamid.
Kiai Ahmad Madani terus memimpin pesantren Darun Na’im hingga wafatnya pada tahun 2014. Sejak saat itu pesantren ini sempat vakum. Namun atas musyawarah keluarga, kepemimpinan Ponpes Darun Na’im diserahkan pada tiga orang, yaitu Bindara Fathorrahman, Bindara Abdul Hamid dan Bindara Imam Raziqi Madani.
“Setelah itu kita dirikan Yayasan Syaikh Abdurrahman Buju’ Agung Raba (YASYRAH), dan sepakat merubah nama Ponpes Darun Na’im menjadi Ponpes Syaikh Abdurrahman Rabah,†tambah Hamid.
Menurut Hamid, YASYRAH menangani beberapa unit; meliputi Ponpes, Madrasah Diniyah Bahrul Ulum, SMP Syaikh Abdurrahman Raba, LPTQ Syaikh Abdurrahman Raba, Lembaga Kajian Pengembangan dan Pemberdayaan Situs Raba.
“Untuk SMP dan SMK tengah kita rintis. Jumlah total santri sedikit, sekitar 115. Itu pun dari berbagai jenjang. Baik yang menetap maupun yang kalong,†tutup Hamid, yang juga selaku Ketua Yayasan. (R B M Farhan Muzammily)