Catatan: Firman Syah Ali
matamaduranews.com-Waktu masih sekolah, saya secara aklamasi dipilih sebagai ketua kelas. Karena saya menolak, maka diteriaki ramai-ramai oleh teman sekelas untuk bersedia jadi ketua kelas.
Saya jadi ketua kelas sama sekali nggak pake biaya, dan untuk kegiatan-kegiatan kelas juga pake uang hasil sumbangan teman-teman sekelas.
Di luar sekolah, saya menjadi ketua FP3I IPNU Cabang Pamekasan juga tanpa money politics, peserta rapat dan ketua IPNU tidak saya suap untuk menyebut nama saya dalam proses pemilihan.
Setelah kuliah saya juga terpilih jadi Ketua PMII Rayon Fakultas Hukum dan pimpinan Senat Mahasiswa tanpa pakai uang.
Saya didukung dan dipilih begitu saja oleh orang-orang yang menyukai pemikiran, ucapan dan sikap saya.
Mereka memilih saya hanya berdasarkan perasaan suka dan sepakat dengan semua atau beberapa ucapan, pemikiran dan sikap saya, tidak lebih dan tidak kurang.
Ya mungkin saja sebagian memilih saya karena konon saya tinggi, putih dan tampan. Tapi yang jelas bukan karena uang.
Lantas darimana saya dapat uang untuk operasional sehari-hari sebagai pimpinan organisasi? Tentu saja uang kiriman orang tua. Orang tua saya ngerti bahwa saya pemimpin organisasi.Maka saya sering diberi lebih. Untuk Almarhum orang tua saya mohon hadiah al-fatihah.
Proses yang saya ceritakan di atas adalah proses waras dalam memilih pemimpin. Tidak ada politik “sangu” di dalamnya.
Salahkah jika saya menginginkan proses politik para calon pimpinan negara RI dan pimpinan daerah serta para caleg juga seperti itu?
Apakah salah jika saya menginginkan proses politik menuju tampuk kepemimpinan negara dan daerah itu sama persis dengan proses terpilihnya Bung Karno sebagai Presiden RI?
Atau sama dengan proses pemilihan Rois Aam PBNU pengganti KH Hasyim Asy’ari, di mana semua kandidat pada menolak nggak mau dipilih?
Bukankah kepemimpinan itu sebuah penderitaan? bukankah para sahabat Nabi berduka jika dipilih jadi pemimpin?
Kenapa sekarang pada nabur-nabur uang selama proses sosialisasi kemudian selamatan jika terpilih?
Atau saya yang tidak waras?
Surabaya, 29 September 2019