Opini

PSU Sampang dan Ongkos Jalan Kaki

Istighatsah dan Ikrar KPU Sampang. (Foto/stimewa)

Oleh: Khoirul Kirom*

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Sampang, nampaknya persoalan akan muncul kembali. Persoalan di mana nominal menjadi berharga, harga diri telah terbuang jauh dari sekadar kewajiban memilih, ongkos jalan kaki ke TPS jauh lebih penting dari perjalanan seorang pemimpin yang akan menjabat 5 tahun ke depan. Tanggal 27 Oktober nanti akan menjadi saksi di mana sebagian besar masyarakat Sampang dua kali melakukan tindakan amoral.

Sungguh perihal money politic tidak akan pernah selesai dibahas di negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilu butuh political cost yang sangat luar biasa. Inilah problem penyakit liberalisasi politik sekarang. Sehebat apapun orangnya jika tidak mempunyai modal akan tersingkirkan. Banyak kalimat yang hidup di masyarakat bahwa yang kaya akan berkuasa yang miskin teraniaya, yang kaya membeli kursi yang miskin gigit jari, dan itu semua bergantung kepada nominal yang dimiliki.

Budaya praktik money politic ini sudah pasti mencederai proses demokrasi bangsa dan merusak perkembangan kemajuan negara. Setidaknya, analisis berikut ini bisa menjadi bukti bagaimana praktik culas tersebut memberi efek buruk.

Pertama, Money Politic Indikasi Korupsi
Korupsi yang marak terjadi selama ini adalah penyelewengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di mana terjadi kerja sama antara ekskutif dan legislatif. Sang legislator yang seharusnya menjadi pengontrol dan pengawas tidak lagi berfungsi, malah justru menjadi tumpul. Sebab motif korupsi dalam konteks ini yaitu untuk menutupi kerugian yang terjadi saat kampanye, di mana sang calon telah melakukan politik uang dalam rangka membodohi rakyat untuk kepentingan meraup suara terbanyak dan akhirnya pulang sebagai pemenang. Bisa disimpulkan semakin banyak dana yang keluar untuk membeli suara saat kampanye, semakin besar pula peluang korupsinya.

Kedua, Money Politic Jebakan untuk Rakyat
Berbagai macam cara akan digunakan oleh para calon dan timses-nya untuk menjadi pemenang. Bahkan ada ungkapana ‘rela mundur selangkah untuk melompat’. Maksudnya, para calon berani rugi sementara mengeluarkan banyak uang untuk membeli suara, toh pada akhinya ketika berkuasa mereka akan mengambil uang rakyat. Di sisi inilah rakyat dibodohi, rakyat tidak sadar bahwa pejabat pemerintah yang digaji dari uang rakyat akan mengambil lagi di luar hak pejabat.

Ketiga, Pemerintahan malah Sibuk Melayani Donatur
Sudah bisa dipastikan, ketika pemimpin baru lahir di tengah rakyat, mereka justru tidak hidup bersama rakyat, tetapi sibuk melayani donatur-donatur yang dahulu telah membangun kontrak politik dengannya. Dan hebatnya, pelayanan ini justru berlangsung selama 5 tahun atau sampai batas di mana pemimpin selesai menjabat. Akan terjadi sebuah pelayanan terhadap sang donatur dalam bentuk kolaborasi kepentingan dalam badan anggaran, sehingga muncul ‘mafia’ anggaran yang mengelola proyek fiktif, proyek rendah mutu, dan proyek dengan pengelembungan harga atau mark-up. Semua ini dilakukan dalam rangka membahagiakan sang donatur.

Maka dari itu, Panwaslu harus tegas. Sebab undang-undang sudah jelas pada Pasal 187A Ayat (1) Undang-Undang tentang Pilkada diatur: setiap orang yang sengaja memberi uang atau memberi sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih maka orang tersebut dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, plus denda paling sedikit Rp 200 juta hingga maksimal 1 miliar. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pilkada mengatur bahwa baik pemberi dan penerima uang politik sama-sama bisa kena jerat pidana sebagaimana di atas.

* Ketua Forum Mahasiswa Sampang (Formasa), wartawan Mata Madura Biro Sampang.

Exit mobile version