MataMaduraNews.com-Dalam kehidupan sufi, konsep mahabbatullah (cinta kepada Allah) menjadi titik tekan ajaran bagi salik (pejalan) untuk menempuh makrifatullah (mengenal Allah). Sang mursyid menanamkan kepada murid (salik) agar dalam melaksanakan ibadah hanya berharap rahmat-Nya (kasih sayang-Nya atau cinta-Nya). Bukan berharap balasan ibadah.
Konsep mahabbah tentu memiliki tingkatan. Dalam konsep dasar mahabbah, seorang hamba dalam beribadah kepada Allah Swt semata dilandasi cinta kepada Allah Swt.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Tingkatan berikutnya, mahabbatullah merupakan maqam (stasiun atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah). Imam al-Ghazali menyebut tiga hal yang mendasari seorang hamba untuk memiliki cinta Ilahi.
Menurut al-Ghazali, cinta seorang hamba tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak) terhadap Allah. Al-Ghazali juga mengatakan setelah mahabbatullah, tidak ada lagi maqam. Kecuali merupakan buah dari rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla).
Ajaran mahabbah juga memiliki dasar dan landasan, baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi SAW. Seperti, al-Baqarah ayat 165, Al-Maidah ayat 54, Ali Imran ayat 3.
Pencetus mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah, sufi perempuan kelahiran Basrah, Irak, sekitar abad kedelapan, tahun 713-717 Masehi. Rabi’ah lahir dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabiah yang berarti anak keempat.
Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep mahabbah melalui sya’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
Sepanjang sejarah, konsep Cinta Ilahi (mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Meski konsep dan ajaran cinta Rabi’ah sebatas untaian kata penuh makna dan hakikat dari sekadar kata cinta.
Selain itu, Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahi yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’i asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).
Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin.
Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasa.
Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
bersambung…
*) diolah dari berbagai sumber