Riyadi, Tokoh Sumenep Award 2017 Kategori Petani Inspiratif

Riyadi, Tokoh Petani Inspiratif dalam Sumenep Award 2017.
Riyadi, Tokoh Petani Inspiratif dalam Sumenep Award 2017.
Riyadi, Tokoh Petani Inspiratif dalam Sumenep Award 2017.

PETANI MUDA INSPIRATIF LULUSAN SD

MataMaduraNews.comSUMENEP – Sejak kecil, Riyadi merupakan salah satu di antara sekian banyak anak yang kurang beruntung. Bukan hanya karena kurang perhatian dan kasih sayang sebab orang tuanya bercerai, juga karena hidup dalam keluarga yang miskin di desa Paberasan, Kecamatan Kota Sumenep, yang hanya diasuh oleh ibunya. Ia lahir dari seorang ibu pekerja serabutan sebagai buruh tani dan pekerja kasar lainnya, tapi tetap tegar menjalani kehidupan dalam kesehariannya.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Penderitaan Riyadi kecil semakin lengkap saat kedua orang tuanya bercerai dan pisah ranjang di saat usianya sangat membutuhkan kasih sayang. Begitu saat masuk ke bangku sekolah dasar, ia hanya diantar oleh ibunya. Karena hidup dalam kemiskinan, tidak jarang Riyadi kecil menerima sumbangan pakaian seragam bekas dari tetangganya agar bisa mengikuti sekolah seperti temannya yang lain. Hal itu berlangsung sampai ia lulus sekolah dasar. Karena kemiskinan tersebut, Riyadi tidak melanjutkan pendidikan selanjutnya dan memilih kerja serabutan membantu ibunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menginjak usia 19 tahun, Riyadi dijodohkan dan menikah dengan Aswiyatun oleh familinya di Desa Bekeong, Kecamatan Guluk-Guluk, dan tinggal bersama mertuanya. Kehidupan kesehariannya juga tidak lepas dari dunia buruh tani sambil membantu mertuanya bertani. Sejak bertani sendiri itulah muncul keinginan untuk menggeluti dunia tani demi meningkatkan kesejahteraan keluarganya, meski tidak tergabung dalam kelompok tani dan tidak mendapatkan fasilitas dari pemerintah.

Saat Tim Penilai turun ke lapangan untuk melihat langsung dan menindaklanjuti usulan publik guna melakukan survei kegiatan pertanian di sekitar rumahnya, tampak jelas perbedaan antara tanaman yang dikelola kelompok Riyadi dengan tanaman di dusun dan desa lain. Tim pun mengorek resep dan pengalaman Riyadi sebagai petani.

”Sejak saya berkeluarga dan tinggal di sini (Desa Bekeong; red), saya bekerja serabutan menjadi buruh tani dan membantu mertua mengelola sawahnya. Saat itu pula saya belajar bertani menurut arahan PPL pertanian sejak bergabung menjadi anggota kelompok tani di dusun tetangga. Semua arahannya saya praktikkan. Dan sejak tahun 2012, saya keluar dari kelompok dan menghimpun teman-teman petani di lingkungan sendiri, khususnya di dusun Roksorok, dengan dibantu keponakan yang juga punya hobi bertani sampai kelompok saya diakui oleh Dinas Pertanian Sumenep,” ujarnya medio Desember lalu.

Riyadi memang sosok petani pekerja keras yang tidak banyak bicara. Kerja kerasnya selalu ditiru dan dipraktikkan oleh anggota Kelompok Tani Campalok, baik saat menanam jagung, cabai, kedelai maupun tembakau.

Menurut pengamatan tim, indikasi menonjol yang dilakukan Riyadi dalam bertani di antaranya meski struktur tanah di Sumenep mayoritas hampir sama, berpasir, berkerikil dan berbatu, ia berhasil mengolah tanah tersebut lebih baik dari lahan sawah teknis petani lainnya yang memiliki sistem irigasi permanen. Di samping itu, saat menanan jenis tanaman horti seperti jagung, kedelai, cabai, dan lain sebagainya, dipastikan pertumbuhan tanamannya lebih baik dari tanaman petani yang ada di desa lain.

Riyadi juga selalu inovatif dalam menggunakan pupuk organik dan tidak bergantung pada pupuk kimia. Inovasi di bidang budidaya tanaman jagung dengan penerapan TOT (Tanpa Olah Tanah)  dan penerapan ECM (Excellent Crop Management)  yaitu penerapan tanam sistem bedeng sehingga populasi tanaman penuh, penggunaan pupuk lengkap dan dosis tinggi, dan penggunaan seed treatment. Riyadi juga bisa merubah mindset petani beralih ke bisnis budidaya jagung.

”Jadi intinya tanam jagung itu bukan hanya tujuan konsumtif saja sebagaimana pola pikir petani menanam jagung lokal dulu. Bisa menghitung sendiri berapa modal di keluarkan dan berapa hasil yang didapat. Tentu dengan selalu berinovasi,” katanya.

Hasilnya, seperti diungkapkan Riyadi, dalam 1 hektar bisa mencapai 12 ton/hektar. Itu jika dibandingkan dengan pola tanam lama yang hanya menghasilkan 7 ton/hektar.

Riyadi menjelaskan, pola Tanpa Olah Tanah adalah melakukan penanaman tanpa membajak lahan. Namun setelah lahan ditanami diaplikasikan Herbisida sebagai pencegahan agar rumput tidak tumbuh. Pola ini disebutnya sangat efisien dan efektif, karena tanah yang tanpa diolah untuk penanaman kedalaman benihnya lebih rata ketimbang tanah yang diolah.

”Juga dari segi permodalan jauh lebih murah. Contohnya saja lahan yang saya punya kemarin sekitar 0.5 ha kalau pakai olah tanah masih membutuhkan kurang lebih 300 ribu. Sedangkan jika tidak diolah, maka hanya butuh 55 ribu untuk membeli herbisidanya. Keuntungan lainnya yaitu tanaman bisa aman dari rumput sampai umur 20-25 hari,” imbuhnya.

Riyadi juga dinilai mampu menangkap peluang pasar hasil tani tanpa harus berurusan dengan para tengkulak. Termasuk juga, tidak menggantungkan bantuan dari pemerintah dan lebih memilih mandiri dalam bertani.

Alhasil, meski hanya mengelola tanah ladang seluas 0,5 h, petani muda lulusan SD itu berhasil meraih Juara I Lomba Jagung Tingkat Kabupaten pada tahun 2015 dan 2017.

Berkat ketekunannya itu, Riyadi bisa menguliahkan anak pertamanya di Universitas Islam Negri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Bahkan, ia bertekad menyekolahkan anaknya semua dari hasil bertani agar anak-anaknya bernasib lebih baik dari pada dirinya.

| Tim Penilai Sumenep Award 2017 Kategori Tokoh Petani Inspiratif

Exit mobile version