matamaduranews.com-Kehidupan Prof BJ Habibie mengalami metamorfosis. Beberapa bulan sebelum wafat, Presiden RI ke-3 ini, memiliki pandangan ukhrawi.
Prof BJ Habibie meninggal di RSPAD Gatot Soebroto dalam usia 83 tahun. Kabar soal meninggalnya BJ Habibie disampaikan Kepala RSPAD Dr Terawan, Rabu (11/9/2019), pukul 18.05 WIB.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Awal Jun lalu, Prof Dr BJ Habibie berpidato di Kairo, Mesir. Isi pidatonya, viral di dunia medsos. Berikut isi pidato yang bertema “Saat Kematian itu Kian Dekatâ€.
Habibie kembali ke nol. Dia mengaku tidak ada yang dapat dibanggakan. Dulu Habibie bangga dengan jabatan. Apa itu nakhoda. Apa itu KKM. Apa itu Direktur. Apa itu Bos perusahaan besar
Berikut isi pidato yang penuh pesan:
Saya diberikan kenikmatan oleh Allah ilmu technology. Sehingga saya bisa membuat pesawat terbang. Tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama itu lebih manfaat untuk umat. Kalau saya disuruh memilih antara keduanya, maka saya akan memilih ilmu Agama.
Sepi penghuni. Istri sudah meninggal.
Tangan menggigil karena lemah.
Penyakit menggerogoti sejak lama.
Duduk tak enak, berjalan pun tak nyaman… Untunglah seorang kerabat jauh mau tinggal bersama menemani beserta seorang pembantu…
Tiga anak, semuanya sukses… berpendidikan tinggi sampai ke luar negeri…
Ada yang sekarang berkarir di luar negeri…
Ada yang bekerja di perusahaan asing dengan posisi tinggi…
Dan ada pula yang jadi pengusaha …
Soal Ekonomi, saya angkat dua jempol, semuanya kaya raya…
Namun….
Saat tua seperti ini, merasa hampa. Ada pilu mendesak disudut hati.
Tidur tak nyaman.
Berjalan memandangi foto-foto masa lalu ketika masih perkasa dan enegik yang penuh kenangan
Di rumah yang besar merasa kesepian, tiada suara anak, cucu, hanya detak jam dinding yang berbunyi teratur…
Punggung terasa sakit, sesekali air liur keluar dari mulut.
Dari sudut mata ada air yang menetes. rindu dikunjungi anak-anak nya
Semua anak sibuk dan tinggal jauh di kota atau negara lain…
Ingin pergi ke tempat ibadah namun badan tak mampu berjalan….
Sudah terlanjur melemah…
Begitu lama waktu ini bergerak, tatapan hampa, jiwanya kosong, hanya gelisah yang menyeruak.
sepanjang waktu ….
Laki-laki renta itu, barangkali adalah Saya… atau barangkali adalah Anda yang membaca tulisan ini suatu saat nanti.
Hanya menunggu sesuatu yang tak pasti. Yang pasti hanyalah kematian.
Rumah besar tak mampu lagi menyenangkan hati.
Anak sukses tak mampu lagi menyejukkan rumah mewahnya yang ber AC
Cucu-cucu yang hanya seperti orang asing bila datang
Asset-asset produktif yang terus menghasilkan, entah untuk siapa?
Kira-kira jika malaikat “datang menjemputâ€, akan seperti apakah kematiannya nanti.
Siapa yang akan memandikan ?
Dimana akan dikuburkan?
Sempatkah anak kesayangan dan menjadi kebanggaan datang mengurus jenazah dan menguburkan?
Amal apa yang akan dibawa ke akhirat nanti?
Rumah akan di tinggal, asset juga akan di tinggal pula
Anak-anak entah apakah akan ingat berdoa untuk kita atau tidak?
Sedang ibadah mereka sendiri saja belum tentu dikerjakan?
Apa lagi jika anak tak sempat dididik sesuai tuntunan agama? Ilmu agama hanya sebagai sisipan saja…
Kalau lah sempat menyumbang yang cukup berarti di tempat ibadah, Rumah Yatim, Panti Asuhan atau ke tempat-tempat di jalan Allah yang lainnya…
Kalau lah sempat dahulu membeli sayur dan melebihkan uang pada nenek tua yang selalu datang.
Kalau lah sempat memberikan sandal untuk disumbangkan ke tempat ibadah agar dipakai oleh orang yang memerlukan.
Kalau lah sempat membelikan buah buat tetangga, kenalan, kerabat, dan handai taulan
Kalau lah kita tidak kikir kepada sesama, mungkin itu semua akan menjadi amal penolongnya
Kalaulah dahulu anak disiapkan menjadi ‘Orang yang shaleh’, dan ‘Ilmu Agama’ nya lebih diutamakan
Ibadah sedekahnya di bimbing/diajarkan & diperhatikan, maka mungkin senantiasa akan ‘Terbangun Malam’, ‘meneteskan air mata’ mendoakan orang tuanya.
Kalaulah sempat membagi ilmu dengan ikhlas pada orang sehingga bermanfaat bagi sesama…
Kalaulah Sempat
Mengapa kalau sempat?
Mengapa itu semua tidak jadi perhatian utama kita ? Sungguh kita tidak adil pada diri sendiri. Kenapa kita tidak lebih serius?
Menyiapkan ‘bekal’ untuk menghadap-Nya dan ‘Mempertanggung Jawabkan kepadaNya?
Jangan terbuai dengan ‘Kehidupan Dunia’ yang bisa melalaikan…..
Kita boleh saja giat berusaha di dunia. Tapi jadikan itu untuk bekal kita pada perjalanan panjan. Dan kekal di akhir hidup kita.
redaksi