Budaya

Seni Gerak dan Tari di Sumenep: Memungut Kearifan Lokal

(Foto/Warits design)

matamaduranews.com-SUMENEP-Seni tari di Sumenep bisa dikata lumayan banyak. Dari segi istilah memang menjadi hak paten Sumenep dan penciptanya. Namun tetap memiliki pengaruh dari luar Madura.

“Salah satu seni tari yang original ialah Tari Gambu. Menurut sejarahnya itu memang diciptakan oleh Aria Wiraraja. Yaitu tarian perang. Tari ini dimodifikasi oleh Pangeran Anggadipa. Nah, kedua orang ini, memang sama-sama adipati Sumenep, namun kesamaan yang paling penting ialah keduanya sama-sama kiriman dari Jawa,” kata Muhlis, narasumber di atas.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Seni tari lain yang khas Sumenep, menurut Muhlis sudah mulai terkikis. Saat ini yang populer ialah Muang Sangkal. Karena sering tampil di setiap even resmi.

“Nah, yang mulai dihidupkan lagi ialah Sintong, seni tari Islami dari Ambunten. Sebagian mengatakan dari Prongpong,” katanya.

masih mengundang kontroversi banyak orang mengenai akar sejarahnya. Dari mana asal kesenian yang kini hidup di Kecamatan Ambunten itu masih belum pasti. Penyebabnya tidak ada literatur tertulis yang sifatnya kuna dan otentik. Yang ada hanya riwayat lisan, yang turun tidak hanya dari satu kepala, ke banyak kepala lainnya.

“Riwayat lisan bisa jadi lemah. Karena tergantung pada ingatan yang meriwayatkannya. Apalagi jika yang bersangkutan bertambah usia. Penerima riwayat dari perawi kala usianya masih muda, bisa jadi tidak sama isinya dengan penerima riwayat lain saat perawi di usia tua,” kata Muhlis

Terpisah, pemerhati sejarah Sintung, Faiqul Khair mengatakan, setidaknya ada lebih dari dua versi tentang asal-usul Sintung. Salah satu versi menyatakan kesenian Sintong dibawa oleh sunan Muria, namun ini belum pasti juga, karena di kalangan Wali Sanga, Sunan Muria konon dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap musik.

Tokoh Wali Sanga yang menggunakan dan mengkombinasikan musik dalam dakwahnya adalah Sunan Kudus. “Ini lebih mungkin, karena keturunan Sunan Kudus justru paling banyak di Madura khususnya Sumenep,” katanya.

Cerita lain, tambah Faiq, panggilan pria lajang ini, kesenian Sintong diambil dan dibawa ke Sumenep oleh dua orang tokoh.

Tokoh pertama ialah Kiai Singoleksono dari kecamatan Ambunten, dan seorang kiai dari kampung Prongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk antara abad ke 17-18 yang menjelajah Aceh, Minang hingga Riau dalam sebuah ekspedisi perang. “Kemudian setelah beliau berdua pulang, mengajarkan hal itu hingga menjadi tembang rutin yang terus berkembang seperti halnya Saman dan Sandur,” tambahnya.

Sementara Budayawan Madura, Syaf Anton, menganggap kehidupan seni tradisi bisa hidup dan berkembang di mana saja dan selalu terkait dengan seni tradisi di luarnya. Seni tradisi tidak bisa hidup tanpa pengaruh kekuatan tradisi lain.

Bahkan dalam folklore Madura pun, katanya, kebanyakan pengaruh dari tradisi di luarnya. Jadi pendapat apa dan bagaimana kehidupan seni tradisi menurutnya bisa saja diklaim oleh siapapun. Karena wilayah terdekatnya saling mempengaruhi.

“Jadi tentang Sintung bisa saja muncul di mana saja, meski beda nama. Yang kami perhatikan langsung dulu, gerak tari/rudat Sintung mirip dengan tari Saman Aceh. Ada perbedaan mencolok penampilan para sesepuh Sintung dengan salah satu video latihan sintung yang diupload di medsos baru-baru ini, khususnya dalam gerak tangan. Dan yang kami perhatikan saat itu tampilan Sintung sangat indah, dinamis, ritmis dan harmonis.Yang bermain pun rata-rata dalam usia tua,” urainya.

Nah, selain itu, ada lagi beberapa seni tari yang mulai punah. Seperti tari Marning dari Lenteng, tari Duplang.

Tari Duplang memang unik. Sehingga keunikan tersebut justru membunuh seni gerak ini.

“Ini merupakan tarian yang cukup rumit dan membutuhkan stamina tinggi. Karena banyak sekali perpindahan gerakan dari posisi jongkok ke posisi berdiri, kemudian ditambah lagi dengan gerakan hilir mudik dari dan ke beberapa tempat,” kata Muhlis.

Gerakan itu digambarkan penari yang hilir mudik dari rumah ke ladang, kembali ke rumah, pergi ke laut, kembali ke rumah, proses memasak, menghantarkan ke rumah mertua dan yang paling akhir adalah ketika penari  dalam keadaan mabuk setelah makan gaddung.

“Tingkat kesulitannya memang sangat tinggi. Sehingga, banyak penari yang segan untuk mempelajarinya,” tutup Muhlis.

RM Farhan

Exit mobile version