Budaya

Seni Gerak dan Tari di Sumenep; Pernak-pernik dan Dinamika

Kolase seni tari dan gerak di Sumenep. (Foto/Istimewa)

matamaduranews.com-SUMENEP-Ketika bicara budaya secara umum, maka acuannya adalah sejarah. Namun dalam perkembangannya sejarah selalu update, dan setiap masa memiliki sejarah tersendiri. Meski begitu, orisinilitas literasi tentang budaya tidak pernah bergeser, kendati dalam situasi kekinian mengalami perkembangan akibat situasi dan zaman serba keterbukaan.

Di Sumenep, sebagai sebuah daerah yang kaya akan warisan budaya lokal, memiliki ragam seni yang hingga kini masih eksis. Kendati di suatu masa sempat tenggelam. Ketika diangkat kembali ke permukaan banyak yang berceceran dan berserakan, sudah tidak utuh. Perubahan zaman ikut andil dalam beberapa penampakan barunya.

Tari misalnya, banyak dari seni gerak ini yang kini sudah keluar dari pakemnya. Meski ketika bicara budaya, Sumenep dan Madura pada umumnya tidak bisa lepas dari pengaruh Jawa. Karena secara historis, pengaruh ini sudah masuk setidaknya sejak awal hari jadi kabupaten paling timur di nusa garam ini.

Salah satu seni tari yang terkenal di Sumenep ialah tayub. Dari informasi kalangan elit Keraton Sumenep, bahwa di awal tahun 1900-an hingga beberapa dasawarsa setelahnya, tayub dan personelnya juga merupakan konsumsi kalangan priyayi.

Menurut Van Zijp, salah satu pemerhati budaya tari tayub di masa kolonial, seni tari tayub di keraton Sumenep dipengaruhi kesenian tari dari Jawa Tengah.

“Di Madura, khususnya Sumenep, tayub merupakan tari panggung yang dipertontonkan dalam rangka menghibur tamu dalam pesta perkawinan,”kata salah satu tokoh budaya Sumenep, RB Moh Muhlis.

Tapi, seiring dengan perubahan zaman, tayub juga mengalami banyak perubahan, tak hanya seperti yang diungkapkan oleh salah satu pemerhati budaya senior di Sumenep, sekaligus pelatih tari di masanya, Ahmad Baisuni.

Menurut Baisuni banyak unsur yang hilang dalam seni tari rakyat ini. Yang ironi, banyak terjadi pergeseran nilai.

“Seperti yang disebutkan almarhum Pak RP Abd Sukur. Semuanya itu akar masalahnya adalah penyusupan budaya luar yang banyak bertentangan dengan agama yang dianut masyarakat Madura,” katanya.

Padahal, seperti yang dikatakan Ja’far Shadiq, salah satu pemerhati sejarah muda di Sumenep, Madura adalah masyarakat yang agamis. Akan sangat mudah menyensus status keagamaan masyarakat Madura. “Karena bisa dikata hampir semuanya beragama Islam kok,” tegasnya.

Perubahan Yang Dinamis

Dalam sebuah wawancara dengan RB Nurul Hamzah, putra RP Abd Sukur Notoasmoro, dulu-dulunya para penayub di Madura, khususnya Sumenep, hanya mempertontonkan gerakan tangan yang gemulai dengan gerakan pinggul yang terbatas, dan tanpa dengan cara melihat lawan mainnya.

Sedangkan kejung (kidung), disenandungkan oleh tanda (sinden) bukan oleh penayub wanita sebagaimana yang terlihat sekarang, dengan diiringi pengrawit yang menabuh gamelan.

“Saat ini perubahannya drastis. Melantunkan kejung sambil menari dengan penayub laki-laki. Dan di tengah asyiknya menari meliuk-liuk, si penayub laki-laki dengan beraninya menyelipkan sejumlah uang ke balik kutang penayub perempuan, dengan tangannya sendiri. Bahkan ada yang berani menyelipkannya dengan menggunakan mulut. Itu bisa kita lihat di VCD-VCD yang beredar saat ini,” kata Haji Nono, menirukan kata ayanya.

Menurut salah tokoh Tim Nabhara (Pembina Bahasa Madura) ini, di masa-masa awalnya tayub sangat menjaga etika dan tetap berpijak norma agama.

Sehingga, penayub sejatinya tidak perlu uang. Sebab, ia diundang oleh penanggap untuk menghibur tamu. Jadi, semua biaya sepenuhnya ditanggung penanggap. “Lha sekarang malah melenceng jauh. Seni tayub saat ini malah menjadi tanggapan umum. Yang penting harus mau menyelipkan uang meski ke balik kutang,” tukasnya.

Warisan Yang Mencari Tuannya

Sejatinya, seni dan budaya adalah warisan penting dari sejarah. Namun anehnya, “sang tuan” justru bukannya mencari, tapi dicari. Dalam konteks ini, bisa dilihat dari seruan-seruan moral yang selalu mengingatkan agar peduli pada peninggalan leluhur.

“Padahal ini kekayaan kita yang harus dijaga. Sebagai situs tak benda. Yang mana nantinya kalau tidak menjemput, justru akan kehilangan warisan itu. Sudah berapa banyak budaya kita yang kemudian dipatenkan sebagai budaya wilayah lain,” kata Carto, mantan Kepala Disbudparpora Sumenep beberapa lalu.

Saat ini, Sumenep, berdasar data Disbudparpora, Sumenep baru bisa “menyelamatkan” tidak warisan tak benda itu. Syi’ir (2014), Nyadar (2017) dan Saronen (2019).

Terpisah, Ja’far Shadiq, narasumber di atas mengatakan bahwa perlu kepedulian lebih terkait hal itu. “Jangan lupa, Madura itu tak hanya empat kabupaten. Tak hanya Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Madura itu juga ada di Jawa. Bahasanya saja dipakai oleh sekitar 10 kabupaten. Sehingga bisa saja nanti banyak yang dipatenkan kabupaten lain,” kata salah satu anggota komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser) ini.

RM Farhan

Exit mobile version