matamaduranews.com-Lanjutan tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa datang ke Sumenep mengulas corak arsitektur pada Keraton dan Masjid Jamik Sumenep yang bernuansa budaya Tionghoa. Termasuk sosok Lauw Pia Ngo-sang arsitek keraton dan Masjid Jamik Sumenep.
Berikut liputan tim yang dikutip dari situs: hariandisway.id:
Langgam-langgam arsitektur pada Keraton dan Masjid Jamik Sumenep menunjukkan cita rasa tinggi pembuatnya. Ia bisa mengawinkan unsur-unsur budaya yang beragam. Seluruhnya mewujud menjadi bangunan yang keelokannya merentang zaman.
PENULISAN nama sosok itu beragam. Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menulisnya sebagai Louw Phia Ngo. Ragam penulisan nama itu kian mengemuka pada berbagai jurnal ilmiah dan situs-situs berita. Mulai Liau Pia Ngo, Lau Pia Ngo, Liauw Piango, Lauw Pia Ngo, atau Lou Piango.
Tetapi, tampaknya semua merujuk pada sosok tunggal. Yakni orang yang merancang keraton dan Masjid Jamik Sumenep pada abad ke-17.
Sejarah mencatat bahwa keraton dan masjid itu dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Somala, Adipati Sumenep ke-31. Oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, ia diangkat sebagai adipati pada 1762. Gelarnya adalah Pangeran Natakusuma I. Di masa pemerintahannya itulah berdiri bangunan-bangunan ikonik. Yakni, keraton, masjid jamik, dan kompleks makam Asta Tinggi.
Masjid Jamik dibangun pada 1779-1787. Sedangkan keraton didirikan pada 1781. Mereka sezaman. Karena itu, nuansanya sama. Banyak kemiripan di sana-sini. Karena memang perancangnya satu orang.
Tapi, siapa sejatinya Lauw Pia Ngo itu? Kakeknya bernama Lauw Khun Ting, salah satu dari enam orang Tionghoa yang mula-mula bermukim di Sumenep. Lauw Khun Ting hijrah dari Lasem, Jawa Tengah. Tujuannya bukan semata-mata mencari penghidupan baru. Tetapi mengungsi.
Ya, Anda sudah tahu, banyak simpul sejarah warga Tionghoa di Indonesia yang terhubung dengan Geger Pecinan, pembantaian puluhan ribu warga Tionghoa di Batavia, pada 1740. Yang selamat lari ke timur. Termasuk sampai Lasem.
Kami pernah menulis bahwa orang-orang Tionghoa di Lasem itu lalu bergabung dengan laskar Jawa dan kaum santri untuk melawan VOC. Setelah peperangan sengit bertahun-tahun, VOC menang. Sampai muncul aturan sangat ketat untuk melokalkan warga Tionghoa di kawasan khusus. Kawasan Pecinan.
Nah, Lauw Khun Ting adalah salah seorang yang terus mengungsi sampai ke ujung timur Pulau Madura. Di Sumenep yang ketika itu kerap disebut sebagai Songenep.
Sebagai arsitek, Lauw Pia Ngo ternyata piawai meracik berbagai unsur budaya. Ia tetap memasukkan budaya Jawa dan Madura dalam tata fungsi bangunan keraton. Ada pendapa agung yang menjadi kediaman adipati. Bangunannya besar dengan atap limas yang mirip joglo.
Di sisi timur ada Taman Sare. Ini adalah areal privat yang dulu difungsikan sebagai pemandian. Mirip dengan Taman Sari di Yogyakarta.
Sampai sekarang, Taman Sare masih berupa kolam besar dengan air jernih. Meski tembok di sekelilingnya tampak tua dan berlumut. Juga dasar kolam yang terlihat penuh lumut dan endapan. Ikan-ikan besar berkeriapan di dalamnya. Termasuk ikan lele yang besarnya sudah sepaha orang dewasa.
Ada tiga jalur untuk menuju kolam itu. Masing-masing jalur dipercaya membawa khasiat bagi orang yang membasuh diri dengan air kolam. Kalau lewat Pintu I, airnya akan membuat awet muda dan enteng jodoh. Air dari Pintu II bisa meningkatkan karier. Sedangkan air dari Pintu III akan meningkatkan iman dan ketaqwaan. Ah, bisa dibayangkan betapa itu menjadi paket komplet tatkala pengunjung membasuh diri lewat tiga pintu tersebut…
Unsur Eropa tampak pada pilar-pilar besar yang menyangga langit-langit tinggi. Khas bangunan era kolonial Belanda.
Sedangkan unsur Tionghoa tampak pada lengkung-lengkung kecil di bubungan atap yang menyerupai motif ekor walet. Desain pintu dan jendela juga punya aksen geometris yang kuat dengan hiasan berwarna keemasan.
Unsur Tionghoa itu pula yang tampak pada Masjid Jamik Sumenep. Tembok depannya besar dan kokoh. Warnanya kuning terang. Mirip Labang Mesem tetapi berkali-kali lipat lebih besar. Ornamen sulur-suluran di dalam areal masjid juga membuat bangunan tersebut makin elok. (*)
sumber: Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Annisa Salsabila, Boy Slamet.