CatatanEkonomi

Singgalang Van Subang

×

Singgalang Van Subang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Joko Intarto

Nanas simadu
Kampung Nanasku di Sarireja. (Foto: Joko Intarto)

matamaduranews.com-Ada Kurfa dan Kuwat di Cikampek, Ada Kampung Nanas di Sarireja. Meski berjauhan, ketiga program itu sejatinya sangat dekat. Kait-mengait. Itulah konsep pemberdayaan ekonomi terintegrasi dari PT Pupuk Kujang yang menjadi nominator pemenang Proper Emas 2022.
——–

Suasana ruko di sudut kota Cikampek itu tampak biasa saja. Sama dengan kebanyakan bangunan di kiri dan kanannya. Beberapa orang tampak keluar – masuk ruko berspanduk lembaga amil zakat itu.

Masuk ke lantai dasar, sepertinya sepi-sepi saja. Padahal banyak produk busana yang dipajang menggunakan manekin di sepanjang dinding. Suara obrolan disertai tawa terdengar sayup-sayup. Sumbernya dari ruangan di lantai atas.

Ternyata lebih dari 15 orang yang berkumpul di situ. Mereka sedang sibuk. Ada beberapa gadis yang baru lulus SMA dan SMK belajar menjahit tingkat dasar. Sebagian lagi – emak-emak – menggambar pola dan menjahit. Mereka melewatkan kegiatan itu sembari ngobrol dan bercanda.

Perhatian saya tertuju ke selembar kain putih bercorak batik cap warna biru dongker yang terhampar di meja. Teksturnya berbeda dengan kain lainnya: Seratnya tebal. Anyamannya kasar. Warnanya tidak benar-benar putih. Lebih tepat disebut khaki. Agak krem.

+ Ini kain apa?
– Ini kain khusus. Hasil tenun tradisional.
+ Kenapa kainnya kaku, tidak bisa jatuh?
– Ini kain tenun serat alam.
+ Serat alam? Bahan seratnya apa?
– Serat daun nanas.

Meski bertekstur kasar, saya menyukainya. Kain serat nanas itu mengingatkan saya waktu masih tinggal di Palu, Sulawesi Tengah, pada tahun 1993 – 1999.

Saya pernah mendapat kenang-kenangan seorang sahabat: Tas yang dibuat dari kain tenun tradisional. Bahan bakunya kulit pohon. Saya lupa namanya. Warnanya coklat tua. Konon buatan suku Wana yang terasing di tengah hutan sekitar antara Poso – Ampana.

Mengamati kain tenun serat nanas itu, saya jadi penasaran: Seperti apa proses pembuatannya sejak berbentuk daun hingga menjadi selembar kain.

Rasa penasaran itu terjawab dua jam kemudian, setelah tiba di sebuah rumah mungil yang cantik milik Pak Ali di pelosok Kabupaten Subang. Tepatnya di desa Sarireja. Desa yang dikeliling dua perkebunan: Kebun teh di satu sisi. Kebun nanas di sisi lainnya. Selebihnya: hutan produktif.

Pak Ali adalah tokoh lokal yang menjadi penggerak gerakan pemberdayaan ekonomi warga desa. Jabatan resminya ketua rukun warga. Ia menjadi ‘’jembatan’’ antara warga desa dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan program pemberdayaan ekonomi.

Mendengarkan gaya bicaranya yang ‘Sunda banget’, saya mengira Pak Ali asli dari desa itu. Ternyata dugaan saya meleset. Pak Ali ternyata ‘Urang Awak’. Asli. Lahirnya pun di Sumatera Barat. Di sebuah Nagari yang diapit dua gunung: Merapi dan Singgalang.

Sejak usia 12 tahun Pak Ali mengikuti kedua orang tuanya merantau ke Tanah Sunda. Setelah berkeluarga, ia menetap di desa Sari Reja yang sejuk pada ketinggian 870 meter di atas permukaan laut.

Sebagai pengingat kampung halaman, Pak Ali menggunakan nama Singgalang sebagai nama koperasi warga desa yang dipimpinnya. Singgalang satu-satunya kosa kata ‘berbau Sumatera’ di desa penghasil nanas paling kondang se-Jawa Barat itu.

Rumah Pak Ali sebenarnya tidak terlalu luas. Beberapa bangunan yang baru berdiri di pekarangan kanan dan kiri terkesan membuat rumah itu kian sempit saja. Di sebelah kiri ada bangunan dengan tiga fungsi: Rumah diesel, ruang pamer dan mushola. Di sebelah kanan ada ruang pintal serat nanas sekaligus penenunan dan pabrik pembuat keripik nanas.

Buah nanas merupakan urat nadi perekonomian warga Sarireja. Mereka hidup dari penjualan hasil panen yang dilakukan setiap tiga hari sekali. Puluhan truk mengangkut buah nanas dari kebun penduduk untuk mengisi kebutuhan pasar di berbagai kota, khususnya Bandung dan Jakarta.

Ketergantungan masyarakat desa pada tengkulak sangat tinggi. Hampir 100 persen. Seperti kondisi di sebagian besar pedesaan, para petani hanya mengerti cara budidaya. Harga pasar sepenuhnya ditentukan para tengkulak.

Banyak pihak yang ingin membuat terobosan. Tetapi selalu kandas di tengah jalan. Dominasi tengkulak sulit dipatahkan.

Titik terang mulai muncul ketika departemen riset PT Pupuk Kujang membuat demplot ujicoba pupuk khusus buah nanas di Sarireja, pada 2017 yang lalu. Sukses di demplot itu mendorong warga desa untuk menerima program CSR (corporate social responsibility) PT Pupuk Kujang dalam pengembangan budi daya buah nanas yang terintegrasi. Program Kampung Nanasku akhirnya bergulir pada 2019.

Tidak disangka-sangka, Kampung Nanasku mendapat perhatian banyak pihak. Kementerian Lingkungan Hidup menominasikan Kampung Nanasku sebagai peraih penghargaan ‘’Proper Award’’ yang diberikan setiap tahun. Sudah empat tahun Kampung Nanasku meraih predikat ‘’hijau’’. Tahun ini Kampung Nanasku naik peringkat: Menyandang gelar nominator ‘’Proper Emas’’. Kasta yang tertinggi.

Apa yang menarik dalam program Kampung Nanasku? (bersambung)

KPU Bangkalan