Opini

Social Capital Annuqayah dan Gerakan Civil Society

×

Social Capital Annuqayah dan Gerakan Civil Society

Sebarkan artikel ini
Social Capital Annuqayah dan Gerakan Civil Society

Oleh: M. Ali Al Humaidy,M.Si*

TULISAN ini berupaya untuk menyajikan sebuah analisa kritis atas eksistensi pesantren sebagai institusi strategis dalam proses penguatan civil society. Fokus objek tulisan ini adalah Pondok Pesantren An-nuqayah Guluk-Guluk Sumenep sebagai pesantren tertua dan terbesar di Madura.

Sebagai antaran, Dr. Soebardi dalam tulisannya The Place of Islam berpendapat bahwa pesantren merupakan bagian terpenting dalam mengembangkan masyarakat; kontek keilmuan, sejarah kemerdekaan bangsa bahkan mempunyai andil besar dalam penyebaran Islam.

Meski demikian, ada pula pandangan yang memandang sebelah mata terhadap pesantren. Asumsi yang kuat bahwa pesantren representasi dari pendidikan kalangan bawah – tradisional, kumuh, lembaga pendidikan klasik dan eksklusif yang (hanya) dimiliki oleh pribadi atau sekelompok kyai-ulama’ (keluarga-nepotis).

Demikian juga, tidak sedikit orang yang berasumsi bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan klasik dan mungkin paling tradisional di Indonesia. Namun justru dengan kebanggaan tradisionalitasnya, tidak bisa dipungkiri. Pesantren justru semakin survive – bahkan dianggap sebagai lembaga pendidikan alternatif ditengah glamouritas dan hegemoni modernisme yang didalam waktu bersamaan mengagendakan tradisi (budaya pesantren) sebagai masalah.

Dari asumsi di atas, muncul pertanyaan, apakah dengan “stigma” tersebut perjalanan pesantren dalam mengembangkan civil society menjadi terhambat atau lebih ekstrim lagi, apakah keberadaan pesantren menghambat ke arah civil society?

Untuk menjawab pernyataan di atas, jelas membutuhkan pemikiran yang dalam dan objektif. Namun penulis melihat secara sosiologis antara pesantren dengan gerakan civil society justru saling berkaitan. Jawaban sederhana penulis ada dua hal.

Pertama bahwa pesantren yang di dalamnya terdapat beberapa elemen-elemen khas seperti pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai merupakan bagian hubungan yang sinergis – strategis.

Sinergitas kelima elemen diatas adalah bagian penting dalam membangun masyarakat beradab, pluralis dan independen, setidaknya bagi santri yang bermukim di pesantren tersebut.

Indikator sinergitas elemen diatas adalah bertahannya (sustainable) pesantren hingga saat ini dengan cirri khas yang melekat serta trust dari masyarakat maupun pemerintah.

Ini berarti pesantren bagian yang melekat dari masyarakat (embeddedness), sehingga apapun yang terjadi dalam pesantren (dalam batas tertentu) masyarakat akan ikut andil membangun pesantren yang lebih maju.

Jaringan (network) juga mempunyai nilai strategis dalam mengembangkan pesantren. Tidak heran bila banyak pesantren yang memiliki jaringan dengan pemerintah, Non Govermen Organization (LSM), dalam bahkan luar negeri.

Realitas ini menunjukkan kemampuan dan kemandirian pesantren dalam mengembangkan tradisi keilmuan.
Realitas ini secara sederhana mementahkan asumsi sebagian kalangan bahwa pesantren yang dipimpin seorang kyai-ulama yang miskin jaringan, kolot bahkan cenderung absolut.

Dalam pandangan penulis, absolutisme kyai-ulama’ memang harus ada sebagimana hak-hak absolut yang dimiliki seorang raja bahkan presiden. Namun yang terpenting, konsep dan aplikasi absolutisme kiai muncul setelah melalui pertimbangan kajian usuhul fiqh dan masukan dari banyak kalangan.

Kedua, berdirinya pesantren secara mayoritas murni inisiatif dan swadaya masyarakat sehingga masyarakat ikut terlibat dan mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap pesantren itu.

Justru kondisi inilah yang menjadi modal besar hubungan sinergitas antara pesantren dengan masyarakat, dus program civil society semakin mantap.

Kemudian dari sisi kepemimpinan pesantren, yang juga bercorak tradisionalis, yang dalam banyak hal kerap menggunakan keunggulan kharisma kiai/ulama’ sehingga orang sering menyebut feodalistik. Namun melalui basis penguasaan kitab klasik (baca: kitab kuning), sejarah telah mencatat dan menyaksikan betapa tinggi tingkat kemandirian pesantren dalam relasi sosial yang lebih luas diluar dirinya, melebihi lembaga yang menyebut dirinya independen sekalipun.

Dus, etos kerja populisme dan kedekatannya dengan masyarakat bawah (grassroot society), yang menurut penulis belum dapat diungguli oleh lembaga yang berlabelkan ‘rakyat’ atau ‘masyarakat’ sekalipun.

Membaca kemandirian pesantren sebagaimana diatas dan didukung basis massa yang kuat, maka penulis meyakini bahwa dalam tubuh pesantren terkandung potensi terwujudnya masyarakat sipil (corpus civil society) sebagai pilar demokrarisasi.

Contoh tradisi keilmuan di pesantren, perbedaan pendapat (ikhtilaf al-fuqaha) sudah menjadi lebih dari sekedar tradisi. Tentang perbedaan pendapat dikalangan pesantren tampaknya sangat toleran (tawasuth, tawazun, ta’adul). Bahkan ajaran/modal ajaran tawasuth, tawazun, ta’adul merupakan modal besar dalam proses demokratisasi.

Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep sebagai salah satu contoh pesantren yang berbasis civil society, pertama, melihat peran kyai sebagai pimpinan pesantren yang selalu memberikan wejangan, penyadaran dan advokasi kepada kalangan bawah (grassroot), wali santri dan kelompok lain.

Kiai pondok tidak segan-segan membantu masyarakat bagi mereka yang membutuhkan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kiai tidak hanya duduk mengajar santri tapi jauh lebih itu telah berkiprah langsung dengan kebutuhan masyarakat.

Alhasil, potret ini mementahkan stigma bahwa kiai itu feodalistik absolut dan elitis.

Ketiga, terbentuknya lembaga Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) sebuah ‘lembaga swadaya masyarakat’ yang bergerak dibidang sosial.

Banyak kiprah yang dilakukan oleh BPM, seperti membantu proses pengembangan pendidikan di desa-desa pedalaman dengan membantu secara materi dan immateri, membantu pengairan air bersih pada daerah-daerah yang rawan kemarau dan sektor ekonomi kerakyatan berupa pendampingan ternak sapi dan kambing kepada masyarakat yang membutuhkan serta program civic education.

Keempat, pesatnya lembaga pendidikan mulai dari PAUD, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah hingga perguruan Tinggi (INSTIKA) dan dukungan perpustakaan pada masing-masing unit institusi pendidikan.

Oleh sebab itu, keberadaan institusi pendidikan diatas memperkuat keyakinan banyak kalangan bahwa lembaga pendidikan sebagai media strategis dalam pengembangan (nilai-nilai) civil society.

Kelima, warna warni politik praktis, dimana di era sebelum reformasi (orde baru), pesantren Annuqayah cenderung monopolitik kesalah satu partai politik (PPP).

Namun memasuki era reformasi pada pemilu 1999 ada fenomena menarik telah terjadi polarisasi partai, seperti almarhum KH. A. Warits Ilyas (PPP), KH. Basyir AS. (PKB), almarhum KH. Mahfud Husnaini (PBB).

Meski para kiai Annuqayah berbeda saluran politik, namun tidak menimbulkan gesekan politik yang berdampak pada disharmoni antar kiai, tidak terjadi konflik antar alumni dan antar.

Harus diketahui bahwa fenomena diatas tentu tidak lepas dari peran pesantren yang terus memberikan penyadaran pentingnya kebebasan berpendapat, berorganisasi termasuk berpolitik. Pesantren tidak lagi dijadikan alat legitimasi atas partai tertentu, tapi justru dijadikan contoh dalam politik.

Dari banyak catatan peristiwa yang melibatkan peran sosial pesantren, penulis ingin mengatakan bahwa pondok pesantren hingga saat ini sesunguhnya memiliki interaksi yang dinamis dengan masyarakat dan stakeholders.

Sehingga pondok pesantren adalah kekuatan masyarakat. Pesantren masih berwibawa dan dipercaya masyarakat. Bahkan pesantren sangat diperhitungkan oleh negara walaupun bukan ujung tombak satu-satunya.

Secara paradigmatik, dalam kondisi sosial-politik yang serba menegara (statism) dan dihegemoni oleh wacana kemodernan. Pondok pesantren yang konsisten dengan ciri tradisionalisme mempunyai public spheare yang luas untuk melakukan pemberdayaan civil society. Terutama kepada kaum yang tertindas, terpinggirkan dan kaum yang selalu tidak diuntungkan dalam konstalasi sistem ini.

Oleh sebab, menghadapai tantangan zaman yang semakin modern, pondok pesantren dituntut mampu melakukan pemberdayaan (empowering) di internal elemen pondok pesantren maupun eksternal.

Penguatan jatidiri pondok pesantren sebuah keniscayaan ditengah gelombang hantaman modernisme dan menghadapi kekuatan negara yang sangat hegemonik.

Pondok pesantren secara sosiologis, mempunyai keunggulan (advantiges) serta kedekatan strategis untuk memberdayakan masyarakat.

Adanya ikatan (emosional, rasional dan nilai) keagamaan yang ditunjang dengan kharisma sosial seorang kiai/ulama dapat dijadikan modal signifikan mengawal pemberdayaan kerja-kerja pemberdayaan dan transformasi masyarakat menuju bangunan civil society yang kuat.

Tantangan pondok pesantren di masa mendatang adalah perjuangan untuk merebut kembali hak-hak civil society melalui proses tranformasi sosial. Yakni sebuah proses perubahan fundamental membangun struktur budaya yang hegemonik menuju kebudayaan yang pluralistis, egaliter, serta politik eksploitatif menuju menuju politik yang demokratis.

Sisi lain, dalam rangka mengimplementasi gagasan di atas, tidak kalah pentingnya peningkatan peran serta masyarakat dalam bersinergi membangun pesantren.

Secara garis besar, peningkatan peran serta masyarakat itu, dapat dikerangkakan dalam tiga bagian : pertama, peningkatan peran serta masyarakat dalam pemberdayaan manajemen pendidikan, yakni pengembangan menajemen yang lebih accountable.

Kedua, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengembangan lembaga pendidikan yang quality oriented, yakni pendidikan yang berkualitas dan berkeunggulan.

Ketiga, peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber-sumber belajar lain yang terdapat dalam masyarakat sehingga sistem pendidikan Islam tidak terpisah atau tetap menjadi bagian integral dari masyarakat muslim secara keseluruhan.

Atas tuntutan ini, pondok pesantren perlu membuka diri dengan berbagai pagelaran wacana baru di luar wacana resmi keagamaan.

Ini penting, karena realitas yang dihadapi menuntut untuk itu. Disinilah memang, diakui atau tidak, kelemahan pondok pesantren sejak awal.

Pesantren selama ini, selalu enjoy dengan wacana fiqhnya, yang terkadang dipahami secara kaku (tekstual). Oleh sebab itu, kiranya sudah saatnya, pesantren membangun sejarahnya yang baru dengan polesan pemberdayaan masyarakat.

Sebagai penutup tulisan ini, penulis secara pribadi respek terhadap kiprah pesantren yang sampai saat ini berjuang dengan tulus dan tidak ada muatan politis.

Semua itu dilakukan semata-mata perjuangan yang menjadi kewajiban setiap insan atau lembaga. Dari modal kewibawaan dan ketulusan pesantren itulah, penulis meyakini kedepan pesantren akan menjadi salah satu agen proyek civil society yang strategis.

Kenapa demikian, sebab pesantren dalam tataran mikro sudah jelas mempunyai basis interaksi dengan grassroot dan lebih tahu kebutuhan grassroot.

Apalagi ditopang dengan kekuatan luar seperti nilai kharismatik kaai/ulama’, maka pembangunan civil society akan lebih cerah.

Wallahu a’lam

*M. Ali Al Humaidy,M.Si adalah Alumni Annuqayah dan Dosen STAIN Pamekasan: twitter@masmalhum

KPU Bangkalan