matamaduranews.com-
Di sebuah sekolah dasar negeri di pelosok Sumenep, Siti—seorang guru honorer—hampir tak bisa menahan air matanya ketika mendengar kabar.
Namanya, bersama ribuan tenaga non-ASN lain, akan segera berubah status menjadi PPPK paruh waktu.
“Alhamdulillah, akhirnya ada kepastian,” ujarnya pelan. Sudah belasan tahun Siti mengajar di sekolah non jauh dari rumahnya dengan honor Rp 200 ribu per bulan.
Senasib dengan Siti juga ada. Sebut saja Ani. Dia juga belasan tahun mengabdi sebagai perawat. Honornya kurang lebih Rp 200 ribu per bulan.
Keduanya digaji seadanya. Tak cukup untuk biaya transportasi. Apalagi kebutuhan harian. Namun, kecintaannya pada dunia pendidikan dan pengabdian kepada bangsa membuatnya bertahan.
Kini, ia bukan lagi sekadar “honorer”. Namanya sudah terdaftar di sistem resmi negara, masuk database BKN dan KemenPAN-RB. Bukan hanya dirinya, tapi lebih dari 5 ribu tenaga honorer di lingkungan Pemkab Sumenep akan ikut merasakan hal yang sama.
Ada sebagian yang pesimis. Bahkan ada yang hendak menolak. Darimana sumber anggaran untuk membayar mereka?
Memang tidak sederhana. Dan tidak semua kepala daerah ikhlas memikirkan nasib ribuan non ASN.
Apakah APBD Sumenep mampu menanggungnya?
Saya tak bisa open dalam tulisan ini. Setidaknya gaji honorer itu sudah ada sebelum usulan PPPK paruh waktu.
Darimana sumbernya? Pasti dari APBD Sumenep. Dalam bentuk apa? Kan pemerintah melarang menggaji non-ASN?
Nah ini yang saya maksud tak bisa menjelaskan secara detail di sini. Intinya dana untuk PPPK paruh waktu sudah ada. Tinggal nambah anggaran dikit.
Lalu apa keuntungan status PPPK paruh waktu jika kesejahteraan hanya bertambah dikit dari saat menjadi Non ASN?
Di sinilah urgensi status PPPK. Meski namanya paruh waktu. Kejelasan status itu bisa menjadi kepastian menjadi ASN alias PPPK penuh waktu. Hanya nunggu waktu saja untuk di-upgrade menjadi PPPK penuh waktu.
Yang pasti pasti data mereka sudah terinput di KemenPAN-RB. Ada di Database Non-ASN BKN. Melalui Sistem Informasi Kepegawaian Nasional (SIMPEGNAS) dan Sistem pendukung yang terintegrasi dengan SIASN (Sistem Informasi Aparatur Sipil Negara)
Sampai di sini. Bersyukurlah Anda para honorer di bawah lingkungan Pemkab Sumenep. Anda punya Bupati baik hati.
Tak perlu disebut siapa saja yang berperan untuk menjadikan anda PPPK paruh waktu. Biar Tuhan mencatat kebaikan beliau beliau.
Yang pasti. Beliau beliau mengusulkan seluruh non ASN yang mengabdi di atas dua tahun di lingkungan Pemkab Sumenep. Agar menjadi PPPK paruh waktu. Dilakukan gratis. Tanpa mahar.
Sesuai aturan per Oktober 2025. Nama nama anda akan sudah ada jelas statusnya. Paruh waktu termasuk tambahan kesejahteraannya.
Kecuali jika ada yang keberatan atau protes untuk mengambil semua PPPK paruh waktu yang diusulkan.
Sebenarnya. PPPK paruh waktu. Berdasar Surat Keputusan MenPANRB Nomor 16 Tahun 2025. Ini skema baru untuk menjawab persoalan tenaga honorer yang menahun.
Regulasi menyebutkan, gaji mereka tidak seragam secara nasional. Menyesuaikan kemampuan anggaran daerah.
Minimal, gaji PPPK Paruh Waktu diberikan setara dengan pendapatan saat masih berstatus honorer, atau mengacu pada Upah Minimum Provinsi/Kabupaten/Kota (UMP/UMK).
Jika dihitung kasar, dengan asumsi gaji Rp 1 juta per bulan untuk 5.490 orang (misalnya), maka APBD Sumenep harus menyiapkan Rp 5,49 miliar setiap bulan, atau sekitar Rp 65,88 miliar per tahun. Angka yang tentu tidak kecil.
Tetapi perlu diingat, dana untuk membayar tenaga honorer sebenarnya sudah ada dalam struktur APBD Sumenep. Artinya, kebutuhan tambahan setelah mereka berubah status menjadi PPPK paruh waktu tidak terlalu jauh berbeda. Perkiraan penambahan anggaran hanya sekitar Rp 10 miliar.
Pertanyaan berikutnya, apa keuntungan menjadi PPPK paruh waktu jika kesejahteraan tidak jauh berbeda dengan honorer?
Jawabannya ada pada kepastian status. Meski baru paruh waktu, para tenaga honorer kini memiliki pijakan yang jelas di mata hukum dan administrasi negara. Nama mereka telah masuk dalam database KemenPAN-RB dan BKN, terhubung melalui SIMPEGNAS dan SIASN.
Kejelasan status inilah yang memberi harapan. Bahwa suatu saat, mereka berpeluang naik menjadi PPPK penuh waktu, dengan kesejahteraan yang lebih layak.
Mereka kini mendapat pengakuan. Meski baru PPPK paruh waktu, setidaknya ada kepastian status dan peluang untuk naik ke PPPK penuh waktu di masa depan.
Keputusan Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo sebelum 20 Agustus mengusulkan seluruh tenaga non-ASN yang sudah mengabdi lebih dari dua tahun adalah langkah luar biasa. Tidak semua kepala daerah berani ikhlas seperti Bupati Fauzi.
Ribuan honorer di Sumenep kini bisa bernapas lega. Mereka merasa dihargai, diakui, dan diberi harapan.
Bagi Siti dan ribuan rekannya, status PPPK ini bukan akhir perjalanan, melainkan awal yang baru. Masih banyak yang harus diperjuangkan, tetapi setidaknya mereka kini melangkah dengan kepastian.
“Terima kasih, Bupati,” ucap Siti lirih. Kalimat sederhana itu mewakili rasa syukur ribuan honorer yang akhirnya melihat secercah cahaya dalam pengabdian panjang mereka.