Budaya

Tellasan Topa’; Makna dan Sejarah-nya (2)

×

Tellasan Topa’; Makna dan Sejarah-nya (2)

Sebarkan artikel ini
Tellasan Topa’; Makna dan Sejarah-nya (2)
Tellasan Topa'. (Ilustrasi/suaraislam)

matamaduranews.com-Kala kita melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, kita pasti mengingat atau tertarik pada apa yang pernah disampaikan oleh Sunang Bonang tentang puasa dan hari raya melalui simbul-silbul budaya Jawa.

Kata Sunan Bonang, kita harus berpuasa sungguh-sungguh (kaffah = menyeluruh)  agar setelah berpuasa nanti bisa menikmati kupat asal kata kaffah (bahasa Arab). Kupat adalah makanan khas hari raya yang sering disebut menjadi menu disaat Lebaran. Bentuknya dari nasi putih yang dimasak di dalam janur, daun kelapa yang masih muda yang masih muda nan putih indah. Kupat yang dibungkus dengan janur ini melambangkan jatining nur, yakni hati yang putih bersih karena telah beribadah puasa dengan keikhlasan dan kesungguhan selama bulan Ramadhan.

Kupat juga bisa diartikan sebagai laku sing papat atau empat keadaan yang dianugerahkan kepada mereka yang berpuasa dengan benar, yakni lebar, lebur, luber dan labur. Kata Sunan Bonang, orang yang berpuasa dengan dengan ikhlas, iman dan ikhtisaab ketika hari raya, yang kemudian melakukan laku sing papat (pekerjaan yang empat) yang kedua yakni :

  1. membayar Zakat Fitrah (sebelum sholat ‘Iedul Fitri),
  2. membaca Takbir (dimalam ‘Iedul Fitri),
  3. bersolat ’Ied (kala hari ‘Iedul Fitri) dan
  4. bersilaturrahmi (setelah sholat ‘Iedul Fitri),

dan nanti akan mendapat empat anugerah laku tersebut :

Lebar berarti selesai melaksanakan kewajiban puasa dengan lega,

Lebur berarti terhapus semua dosa yang dilakukannya di masa lalu,

Luber berarti melimpah ruwah pahala amalamalnya,

Labur berarti bersih dirinya dan cerah bercahaya wajahnya.

Kita sangat kagum kepada Sunan Bonang, juga kepada para Wali yang lain sebagi penyebar agama islam di tanah Jawa. Mereka telah meterjemahkan pesan penting tentang ajaran-ajaran Islam termasuk puasa dengan bahasa dan budaya Jawa setelah menggali dari pesan aslinya yang semula disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam bahasa Arab.

Ajakan Sunan Bonang agar kita berpuasa untuk ”Menuju Jatining Nur dan meraih Laku sing Papat”   itu tidak lain digali dari Hadits Nabi ketika mengatakan ”Barang siapa berpuasa di bulan ramadhan dengan iman dan penuh kesungguhan (maka) akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.

Hadits tersebut oleh Sunan Bonang dengan cara Jawa, bahwa kalau kita dapat berpuasa dengan penuh keyakinan dan keteguhan sikap (iman) dan dengan penuh perhitungan serta (ikhtisaab), pada bulan bulan Syawal kita akan mendapat jatining nur, yakni hati yang putih indah seperti janur yang menyehatkan. Ingatlah bahwa kebersihan hati akan menjadi pemelihara yang sangat ampuh bagi kesehatan rohani dan jasmani.

Jatining Nur itulah yang sejatinya disebut fitrah. Karena itu, barang siapa yang memperoleh jatining nur berarti telah kembali ke fitrah (’Iedul Fitri). Jatining nur atau hati yang putih bersih tersebut diperoleh karena semua dosa kita dimasa lalu telah dibersihkan dan di ampuni oleh Allah SWT.

Nah, orang yang mendapat ampunan dari segala dosa itu serta melakukan pekerjaan yang empat (Kupat, laku sing papat) yakni Zakat fitrah, baca Takbir, sholat ’Ied dan Silaturrahmi nanti akan berhak menikmati empat keadaan (kupat, laku sing papat). Orang yang berpuasa dengan iman dan ihtisaab akan memasuki lebar (lebaran) atau menyelesaikan tugas dengan baik. Orang yang menyelesaikan tugas puasa dengan baik akan lebur (habis) semua dosanya, bahkan orang tersebut juga menikmati luber (melimpah ruah) pahala amal-amalnya sehingga menjadi labur atau indah berseri wajahnya.

Petuah Sunan Bonang tentang jatining nur dan laku sing papat dapat kita jadikan bahan refleksi dalam beribadah puasa. Dalam Ramadhan ini, kita harus berusaha untuk melaksanakan ibadah puasa secara sungguh-sungguh agar meraih fitrah dengan jatining nur dan laku sing papat itu. Hasilnya tentu dapat dinilai dan dirasakan oleh diri sendiri nanti setelah tugas berpuasa dan bulan Ramadhan selesai.

Orang yang berpuasa berhasil pertama-tama akan ditandai oleh peruabahan perilaku dari yang semula tidak baik menjadi baik dan dari yang semula baik menjadi lebih baik. Mereka yang kembali ke fitrah dengan jatining nur dan laku sing papat adalah mereka yang tawadhu’, jauh dari kesombongan, dan tidak mau bersikap sewenang-wenang atau melanggar hak-hak orang lain serta berbuat dosa lainnya.

Dengan kata lain, dalam hubungan-hubungan horizontal, mereka yang puasanya maqbul tentu akan bersikap disiplin untuk menghargai hak-hak orang lain, hak-hak masyarakat, dan hak-hak negara sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku. Mereka tidak akan mau merampas hak-hak orang lain dengan selalu bermanuver dan berusaha membuat tafsir manipulatif atas ketentuan konstitusi dan hukum.

Secara progresif, orang yang mencapai jatining nur dan laku sing papat adalah mereka yang mempunyai integritas, teguh pendirian, dan berani menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Mereka pun berani membela hak dirinya dan hak orang lain dari ancaman yang akan merampasnya secara batil.

Jadi, jatining nur dan laku sing papat itu dapat meninmbulkan kelembutan dan kesejukan dalam menghargai orang lain dan segala haknya, tetapi sekaligus dapat menampilkan ketegasan dan keberanian dalam menghadapi kesewenang-wenangan atau ancaman atas hak diri maupun hak orang lain. Orang yang mendapat jatining nur dan laku sing papat adalah orang lembut dan santun terhadap manusia-manusia lain, tetapi sekaligus tegas dan berani melawan ketidakadilan.

Masing-masing diri kitalah yang dapat menentukan apakah akan menjadikan Ramadhan dan ibadah puasa sebagai kendaraan untuk meraih jatining nur dan laku sing papat ataukah hanya menjadikannya sebagai keisengan dan basa-basi agar tercitrakan sebagai orang yang saleh meskipun sejatinya hanya ”seolah-olah” atau ”berpura-pura” saleh.

habis ((Tadjul Arifien R/Sejarawan Sumenep)

KPU Bangkalan