Politik

Bid’ah ala Yaqut

matamaduranews.com-Secara etimologi bid’ah berarti semua hal yang berhubungan dengan ritual Islam yang tidak ada ajarannya dari Nabi Muhammad SAW. Secara sederhana bid’ah diartikan sebagai melakukan atau melaksanakan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Nabi.

Definisi ini terlalu sederhana dan bisa mempunyai potensi misleading, karena bid’ah tidak sekadar sebuah istilah etimologis, tetapi sudah menjadi konsep yang ‘’complicated’’ sekaligus ‘’sophisticated’’. Konsep ini menjadi perdebatan yang sangat panjang di antara mazhab-mazhab Islam, dan bahkan menjadi sumber perselisihan yang mendasar dalam Islam.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas seharusnya sudah paham betul mengenai konsep bid’ah, karena sebagai menteri dari kalangan NU (Nahdlatul Ulama), ia berada di pusat pusaran perdebatan itu. Karena itu, ketika memakai istilah bid’ah untuk menggambarkan prevelansinya terhadap pasangan capres-cawapres dalam kontestasi 2024 Yaqut harusnya paham bahwa pernyataannya akan menimbulkan kontroversi.

Dalam sebuah acara di Surabaya, Yaqut bermaksud melucu ketika menyebut bahwa dia tidak akan memilih pasangan ‘’Amin’’ karena bid’ah. Pernyataan itu ternyata dianggap serius, karena dianggap tidak pantas diungkapkan oleh seorang menteri. Di tahun politik seperti sekarang, pernyataan sekecil atau sebesar apapun bisa menjadi bahan untuk digoreng atau dirujak.

Maka joke kecil Yaqut itupun digoreng menjadi isu serius. Yaqut pun dirujak oleh netizen. Timing pernyataan Yaqut memang tidak pas. Beberapa hari sebelumnya Yaqut disorot karena pernyataannya yang melarang publik memilih pasangan capres-cawapres yang memecah belah umat.

Yaqut tidak menyebut nama, tetapi pernyataan itu kelihatannya ditujukan kepada pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Sebelumnya, sudah muncul pernyataan dari Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf bahwa tidak ada capres maupun cawapres yang boleh mengatasnamakan NU. Pernyataan ini tidak menyebut nama, tapi targetnya mengarah kepada Muhaimin Iskandar.

Kakak beradik Staquf dan Yaqut ini seperti melakukan crusade atau perang melawan Anies-Muhaimin. Hal ini memunculkan berbagai respons dari beberapa kalangan. Ketua PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar menegaskan bahwa di antara deretan capres dan cawapres yang ada, Muhaimin Iskandar satu-satunya yang menjadi represntasi NU. Nasab Muhaimin juga jelas sebagai cicit pendiri NU, KH Syansuri Badawi.

Pernyataan Kiai Marzuki ini seperti sebuah rebel atau pemberontakan terhadap Ketua PBNU Yahya Staquf. Jawa Timur adalah benteng terkuat NU yang sekaligus menjadi lumbung suara PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) pimpinan Muhaimin. Pernyataan dukungan KH Marzuki terhadap Muhaimin akan semakin mengokohkan penetrasi Muhaimin terhadap pemilih nahdliyyin di Jawa Timur.

Duet Tsaquf-Yaqut terlihat kompak berusaha membendung arus gelombang pengaruh Muhaimin di Jawa Timur. Tindakan Yaqut ini dianggap sebagai offside, karena sebagai menteri agama tidak sepatutnya Yaqut membuat pernyataan politik. Sorotan terhadap Yaqut makin tajam karena dia masih tercatat sebagai kader PKB.

Pemakaian istilah bid’ah politik oleh Yaqut membawa ramifikasi yang dalam. Sebutan ‘’ahli bid’ah’’ biasanya ditujukan secara pejoratif terhadap warga NU. Amalan-amalan khas nahdliyyin seperti pembacaan Yasin, tahlil, ziarah kubur, baca qunut, haul, manakiban, dan maulidan, sering disebut sebagai bid’ah karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW.

Warga nahdliyyin membela diri dengan mengatakan bahwa tidak semua bid’ah jelek atau dholalah alias sesat, karena banyak bid’ah yang positif alias bid’ah hasanah. Tetapi, ada juga kalangan yang menuding bid’ah tetaplah bid’ah. Bahkan, ditambahi lagi bahwa semua ahli bid’ah masuk neraka. Lebih jauh lagi ada kalangan yang menganut ajaran takfiri yang mengkafirkan mereka yang disebut sebagai ahli bid’ah.

Dikotomi ahli bid’ah dan non-ahli bid’ah ini menjadi sumber polarisasi yang serius. Kalangan modernis, teramasuk Muhammadiyah gencar melakukan kampanye memberantas tahayyul, bid’ah, dan churafat yang disingkat secara pejoratif sebagai TBC.

Bid’ah merupakan amalan baru yang diadakan dalam urusan agama Islam yang belum pernah ada contoh sebelumnya dari Rasulullah. Kalangan Muhammadiyyin sering mengutip hadist Rasulullah SAW, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dalam agama maka perbuatan itu tertolak”.

Sedangkan churafat (harusnya tertulis khurafat) adalah meyakini dan mempercayai cerita bohong, kisah atau dongeng yang tidak sesuai dengan daya pikir dan nalar yang benar, sehingga dapat menyesatkan akidah seseorang.

Contoh yang sering dikemukakan adalah percaya dengan syafaat roh para wali atau ulama yang meninggal dunia, bahwa dengan meminta doa kepada mereka yang telah meninggal akan diijabahi oleh Allah karena para wali dan ulama adalah kekasih Allah. Banyak orang yang berziarah ke makam para wali untuk meminta doa. Ada yang minta kaya, jodoh, diberikan keturunan, naik jabatan, keselamatan dunia dan akhirat, serta lainnya.

Tiga praktik ritual ini berada pada sentral ubudiyah kalangan Nahdliyyin. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya polarisasi di antara Muhammadiyyin dan Nahdliyyin. Pada beberapa kesempatan di masa lalu, polarisasi itu bisa mengarah pada konflik.

Pada masa sekarang polarisasi itu tidak sedalam pada masa lalu. Ritual TBC itu sudah bisa diterima kalangan Muhammadiyyin dan banyak yang mengikuti ritual-ritual itu, meskipun hanya sebatas seremonial. Muncul pula praktik eklektik yang menggabungkan amaliyah Muhammadiyyin dengan Nahdliyyin. Lahirlah akronim ‘’Muhammadinu’’ gabungan dari Muhammadiyah dan NU.

Perjodohan Anies Baswedan dengan Muhaimin bisa diibaratkan sebagai representasi Muhammadinu, karena Anies datang dari kalangan modernis, dan Muhaimin dari kalangan tradisionalis. Dua kelompok ini laksana air dan minyak yang suit dipertemukan.

Di masa lalu NU bergabung dengan Masyumi tetapi kemudian putus. Di awal reformasi KH Abdurrahman Wahid sebagai representasi NU menjadi presiden atas dukungan kelompok modernis yang dipimpin oleh Amien Rais sebagai representasi Muhammdiyah. Koalisi Gus Dur-Amien hanya berumur setahun kemudian pecah kongsi.

Persekutuan Anies-Muhaimin seperti de javu yang mengulang sejarah lama. Persekutuan ini memunculkan harapan optimistis bahwa dua kalangan yang berseberangan itu bisa bersekutu saling bahu-membahu. Tapi, ada juga kekhawatiran persekutuan ini tidak akan bisa bertahan lama. Bahkan, ada juga yang memprediksi tidak akan bisa bertahan sampai pendaftaran ke KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Prediksi politik boleh-boleh saja, karena rumus prediksi hanya dua, yaitu ‘’almost right’’ dan ‘’almost wrong’’, hampir benar atau hampir salah.

Yang jelas, persekutuan Amin ini ‘’against all odds’’ berlawanan dengan segala kemapanan dan rintangan. Dan karena itu wajar kalau persekutuan ini membuat gemetar kekuatan status quo. (kempalan)

Exit mobile version