CatatanReligi

BSPS, Moralitas, dan Jasad yang Tak Bisa Dipindah

Oleh: Abdul Wadud

BSPS
Ilustrasi

matamaduranews.com-Dalam konteks BSPS, kita tak perlu mengaku suci dari debu. Publik sekarang sudah cerdas—mereka tahu bahwa moralitas seseorang tak bisa diukur dari sorotan kamera, jabatan, atau seberapa lantang ia bicara di forum.

Moral dan spiritual itu wilayah privat. Penilaiannya tidak ada di mimbar media sosial, apalagi di sidang paripurna. Penilaian puncaknya justru datang ketika nafas terakhir diambil. Begitulah pesan Nabi SAW dalam banyak hadis.

Itu sebabnya, saat ada orang meninggal, kita tak buru-buru menilai. Yang kita ucapkan justru:

“Semoga husnul khotimah.”

Kenapa? Karena tak ada yang bisa menjamin akhir hidupnya. Kita seperti terlihat orang baik—ternyata menyimpan luka dan dosa.

Ada pula yang dicibir dunia—tapi rahasianya mulia di mata Tuhan.

Seperti kisah nyata baru-baru ini di Jawa. Satu jasad wanita, dikenal masyarakat sebagai pelacur, tak bisa dipindahkan meski dengan alat berat.

Ekskavator berkali-kali gagal membongkar makamnya, tak seperti makam-makam lain di sekitarnya.

Warga pun heran. Petugas jalan tol dan Pak RT mendatangi rumahnya, mencoba mencari tahu:

Apa keistimewaan dari wanita yang semasa hidupnya dianggap rendah itu?

Mereka menemukan buku kecil. Isinya adalah catatan hidup penuh luka. Ia menulis bahwa ia telah berhenti total, bertobat kepada Tuhan, dan menyesali semua perbuatannya. Ia menangis dalam gelap. Menyendiri dalam sesal. Dan hanya Tuhan yang tahu air matanya.

Tak satu pun tetangga tahu ia telah bertobat. Tak ada yang paham ia telah memilih kembali ke jalan-Nya.

Begitulah, kawan. Urusan hati itu urusan antara kita dan Tuhan.

Bukan konsumsi media. Bukan panggung politik. Jadi kalau hari ini ada yang berdiri di atas panggung seolah paling bersih, paling membela rakyat, paling moralis, tapi ternyata hanya membela yang bayar dan menyerang yang tak bisa membalas, maka ingatlah kisah jasad yang tak bisa digali tadi.

Mungkin dunia bisa kau kelabui, tapi Tuhan tidak. Tak perlu petenteng-petenteng. Tak perlu bergaya sok pembela kebenaran kalau lidahnya masih dijerat transaksional. Karena akhir dari semua ini bukan suara terbanyak, tapi hisab yang paling berat.

Exit mobile version