Berita Utama

Catatan dari Festival Desa Wisata Madura 2025 di Sumenep

×

Catatan dari Festival Desa Wisata Madura 2025 di Sumenep

Sebarkan artikel ini

matamaduranews.com-“Bangkitkan Desa, Kuatkan Madura.” Bukan sekadar jargon. Kalimat ini menjadi ruh kolektif yang terasa nyata saat menyaksikan Festival Desa Wisata Madura 2025 yang berlangsung selama tiga hari, 19–21 Juni 2025, di Taman Bunga, Kota Sumenep.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Pagelaran Festival Desa Wisata Madura 2025 di Sumenep terasa istimewa. Jika sebelumnya berskala kabupaten, kini bertransformasi menjadi ajang regional se-Madura.

Lebih dari 50 desa wisata dari Sumenep, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan ikut serta memamerkan potensi terbaik mereka—mulai dari wisata alam, kekayaan budaya, hingga produk UMKM lokal.

Selama festival berlangsung, suasana tak hanya meriah, tapi juga menggugah. Stan demi stan menampilkan pesona khasnya.

Pengunjung disuguhi ragam cita rasa lokal, aroma petis dan pokak, hingga cerita keberhasilan desa dalam membangun wisata secara swadaya.

Beberapa desa tampil mencolok—tidak hanya karena estetika, tapi karena semangat dan orisinalitasnya:

Desa Lobuk (Bluto, Sumenep), misalnya keluar sebagai Juara I, berkat inovasi wisata Spot Pancing Pantai Matahari.

Pemerintahan Desa Lobuk membangun jembatan kayu sepanjang 150 meter yang menjorok ke laut, menjadi magnet wisata baru di pesisir Madura. Ditambah lagi, produk UMKM seperti teri krispi dan teh marongghi yang menjadi produk unggulannya.

Desa Gili Labak (Talango), peraih Juara II, tampil dengan pesona eksotiknya. Pulau kecil ini juga membawa kerajinan kulit kerang dan kuliner laut,.

Desa Kaduara Timur (Pragaan), di posisi Juara III, membawa pendekatan berbeda lewat wisata sumber air belerang. Dikelola oleh BUMDes, kawasan ini dikembangkan sebagai ruang healing dengan sentuhan fasilitas modern dan natural.

Ketiga desa dari Sumenep memang menyabet posisi juara. Namun, desa-desa dari Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan juga tidak kalah memberi warna.

Mereka hadir dengan kekhasan masing-masing: dari kerajinan batik, air terjun eksotis, hingga kuliner berbumbu lokal yang membangkitkan selera dan rasa bangga.

Ini bukan soal siapa juara. Ini soal bagaimana desa-desa Madura bergerak serentak, menunjukkan bahwa potensi lokal tak bisa diremehkan jika diberi ruang tumbuh dan diberdayakan.

Festival Desa Wisata Madura 2025 resmi ditutup, namun pesannya belum selesai. Ada harapan yang tumbuh di setiap jembatan kayu, di setiap tetes air belerang, di setiap anyaman kulit kerang.

Jika benar kita ingin membangun Madura, maka desa adalah titik berangkat yang tak boleh dilupakan. Festival ini membuktikan bahwa pembangunan bukan hanya tentang infrastruktur besar, tapi juga tentang menghidupkan identitas lokal, memfasilitasi kreativitas desa, dan mengubah potensi menjadi prestasi.(ham)