Lanjutnya, “Mengapa suatu negeri kecil yang terletak di sebelah sana dari dunia ini menguasi suatu bangsa yang dulu pernah begitu perkasa, sehingga dapat mengalahkan Kubilai Khan yang kuat itu?â€
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Sukarno terus dan terus berkata-kata, dan mengakhirinya dengan, “Saya berpendapat, bahwa yang pertama-tama harus kita kuasai adalah bahasa kita sendiri. Marilah kita bersatu sekarang untuk mengembangkan bahasa Melayu. Kemudian baru menguasai bahasa asing. Dan sebaiknya kita mengambil bahasa Inggris, oleh karena bahasa itu sekarang menjadi bahasa diplomatik.â€
Tidak berhenti sampai di situ, ia menyeru, “Belanda berkulit putih. Kita sawomatang. Rambut mereka pirang dan keriting. Kita punya lurus dan hitam. Mereka tinggal ribuan kilometer dari sini. Mengapa kita harus berbicara bahasa Belanda?!â€
Suasana Studieclub heboh, gaduh karena belum pernah mendengar orasi seperti itu sebelumnya. Di sebuah pojok ruang, Direktur HBS, Tuan Bot, berdiri tak berbuat apa pun, melainkan memandang ke arah Sukarno dengan tatapan tajam… seolah menyuarakan kata, “Oooh… Sukarno mau bikin susah!â€
Pidato yang Ajaib
Berkisah tentang kehebatan Bung Karno berpidato, seperti menguras sebuah samudera. Bombastis? Baiklah, seperti menguras sumur tua. Sumber airnya terus mengucur, sekalipun sudah dikuras. Semua kisah itulah kiranya, yang lantas menasbihkannya menjadi Singa Podium. Semua kisah itu yang menobatkannya menjadi orator ulung.
Terlebih sekeluarnya dari penjara Sukamiskin tahun 30-an, Sukarno menjadi lebih matang. Bung Karno menjadi rajin keliling berbagai daerah untuk membakar semangat rakyat. Dari sanalah lahir cerita-cerita menarik yang berhubungan dengan pidato-pidatonya.
Yang merepotkan adalah di saat musim hujan. Karena sulitnya medan, tidak jarang Bung Karno baru tiba di tempat rapat umum pukul 15.00, meski rapat itu dijadwalkan berlangsung pukul 09.00, dan akibatnya massa sudah bercerai-berai. Akan tetapi, ketika melihat Sukarno datang, dalam sekejap massa sudah menyemut di depan podium.
Meski hujan terus mengguyur, Bung Karno tetap berpidato. Massa berpayung daun pisang, juga tak beranjak dari tempatnya berdiri. Tidak lama kemudian, air pun menembus jas hujan Bung Karno, sehingga ia basah kuyup. Daun-daun pisang pun koyak, sehingga massa pun kebasahan. Derasnya hujan, membuat mereka sesekali menyeka air dari wajah-wajah yang tetap menengadah menyimak pidato Bung Karno.
 Next: Bung Karno akan berujar,