Sangat sedikit warga Sumenep atau Madura yang concern menelaah secara kritis keberadaan sosok atau figur para penghuni asta (makam) yang kini ramai dikunjungi peziarah luar Madura. Padahal, para penghuni Asta itu, menjadi legenda warga bahwa penghuninya bukan manusia biasa. Sebut saja, penghuni Asta Tinggi dan makam suci lain serta keberadaan Keraton Sumenep. Termasuk sosok Sang Mpu Karangduwak. Sang Mpu Karangduwak memang populer dikalangan pecinta keris. Tapi tahukah siapa Sang Mpu Karangduwak? Kisah seorang peziarah bisa menjadi petunjuk sekelumit sosok Sang Mpu.
matamaduranews.com–SUMENEP– Suatu ketika, sebut saja, Pak Nawa, 50, salah satu peziarah di Makam KH Zainal Arifin, Jl Pahlawan, Pandian, Sumenep, Madura, berbincang santai dengan peziarah lain.
Dalam perbincangan itu, peziarah asal Sapudi ini menyampaikan suatu keinginan untuk berziarah ke makam orang tua Adi Poday di Sumenep. Pak Nawa bercerita, keinginan berziarah ke makam sang kakek Joko Tole itu, membetahkan diri berlama-lama di lingkugan Asta KH Zainal Arifin.
Cita-cita Pak Nawa terwujud setelah ditunjukkan oleh seseorang ke makam Sang Mpu Karangduwak alias Gung Macan yang tidak jauh dari makam KH Zainal Arifin.
Suhardi membenarkan jika Gung Macan atau Sang Mpu Karangduwak memiliki banyak putra yang sengaja disebar untuk menyiarkan agama Islam. Salah satu putranya, Adi Poday dan Adi Rasa. Salah satu cucunya, Joko Toleh. Termasuk Mpu Citra Nala tercatat salah satu putra Sang Mpu. (Kisah Citranala akan diulas edisi berikutnya).
Suhardi bercerita bahwa Sang Mpu Karangduwak masih tercatat keluarga besar dengan Sunan Ampel dan orang tua Sunan Bonang, Sayyid Abdullah. Juga berhubungan darah dengan Maulana Malik Ibrahim dan Bindara Saod di Sumenep.
Bagaimana dengan orang tua Sang Mpu Karangduwak? Suhardi menyebut kedua orangtuang Sang Mpu  bernama Syech Al Badri atau populer dengan Ki Carren. Sedangkan umminya, bernama Nyai Badriyah. Makam kedua orang tua Sang Mpu, berada di sebelah utara makam Sang Mpu, berjarak sekitar 20 meter.
Sosok Ki Carren mengingatkan kisah juru kunci asta atau Buju’ Carron, yang berlokasi di Bukit Pecaron di Desa Pasir Putih, Kecamatan Bungatan, yang menjadi salah satu objek wisata religi andalan di Situbondo.
Menurut sang juru kunci, Syekh Maulana Ishaq, yang menempati Buju’ itu, masih terkait darah dengan Sumenep dan Arab.
Dan  sebagian orang meyakini makam tersebut masih terkait atau ada hubungan darah dengan makam Adi Poday. Bisa jadi pemahaman sepotong bisa menjadi jalan benang merah keterkaitan antara satu lainnya.
Memang, tidak sedikit peziarah asta Adipoday dan Asta Belingi, berasal dari Situbondo atau daerah Jawa Tapal Kuda.
Salah satu juru kunci Adi Poday sempat bercerita jika di sebelah makam Blingi, Gendang Barat ada gua yang memiliki jalan dua arah. Satu arah bisa menghubungkan jalan ke Buju’ Carron di Pasir Putih, Situbondo. Arah satunya bisa mengarah ke Sumenep.
Tidak tahu maksud penjelasan sang juru kunci itu. Bisa jadi, keyakinan yang turun temurun itu bisa menjadi tafsir pengetahuan tentang keberadaan Asta Belingi dan Buju’ Carron dan Asta para waliyullah di Sumenep.
Menurut Suhardi, orangtua Gung Macan memang berasal dari Arab. Begitupun orang tua Syech Al-Badri bernama Sayyid Al-Qusyairi makamnya ada di Mekkah.
Syech Al-Badri ditilik dari namanya berasal dari Arab (Timur Tengah, tepatnya Mekkah).
“Tapi, sewaktu hidup Sayyid Al-Qusyairi berada di Sumenep. Hanya ketika wafat, jazadnya moksa (hilang) pindah ke Mekkah,†cerita Om Ndi kepada Mata Sumenep.
Om Ndi merinci, Bindara Saod dan Kiai Usymuni masih bertalih darah dengan Sang Mpu Karangduwak. Tidak heran, keluarga Loteng, Sumenep masih terkait darah dengan Sang Mpu Karangduwak.
Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim suatu ketika bercerita kepada Mata Sumenep, jika kakek Buyutnya, Kiai Wirajuda yang asli Karangduwak juga memiliki talian darah dengan Sang Mpu Karangduwak.
Bupati sangat respek tentang menghidupkan kembali sosok sang waliyullah dalam kisah yang bisa menjadi inspirasi dan suri tauladan para generasi saat ini.
Sayang, kisah-kisah para waliyullah di Madura sulit mendapat tempat dalam kajian akademik. Berbeda dengan tradisi Persia yang banyak melahirkan para pemikir Islam. Termasuk para Sufi karena menjadi objek penelitian para akademisi. Sehingga warisan pengetahuan dan kisah hidup para Sufi selalu menjadi kajian mahasiswa di mata kuliah bidang islamic studies.
Saatnya menghadirkan kajian Sufi Madura.
sumber: mata sumenep