matamaduranews.com-Masih ingat kasus Mohamad Irfan Bahri yang membunuh begal di Bekasi?
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Irfan, pemuda asal Pamekasan itu, diserang dua begal bersenjata di Jembatan Summarecon, Kota Bekasi, pada tahun 2018.
Dalam kondisi terancam, Irfan melawan. Akibatnya, satu begal tewas, satu lainnya luka.
Irfan ditetapkan sebagai tersangka.
Beruntung Mahfud MD, saat itu Menko Polhukam merespon dan menyebut tindakan Irfan memenuhi unsur pembelaan terpaksa (noodweer) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Sehari kemudian, status Irfan diubah dari tersangka menjadi saksi. Irfan dibebaskan.
Kejadian Irfan memberi pesan hukum:
warga yang mempertahankan diri dari ancaman nyata tidak boleh dikriminalisasi.
Tapi tujuh tahun berlalu, logika hukum itu seperti menguap di tempat lain. Penolong Justru Jadi Terdakwa.
Itu terjadi di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Kabupaten Sumenep. Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) bernama Sahwito mengamuk di tengah hajatan warga. Sejumlah orang terluka. Kepanikan tak terhindarkan.
Dalam situasi darurat, Asip Kusuma-salah satu warga berupaya melerai dan mengamankan keadaan agar tidak jatuh korban lebih banyak.
Ironinya, Asip, Musahwan, Suud, dan Tolak Edi yang melerai- justru ditetapkan sebagai tersangka dan kini duduk di kursi terdakwa di PN Sumenep.
Asip sebagai korban atas tindakan Sahwito sempat melapor resmi ke Polsek Nonggunong pada 11 April 2025. Alih-alih diproses ke pengadilan, kasus dugaan penganiayaan itu dihentikan oleh polisi.
Pada 23 Juli 2025, Polres Sumenep menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan alasan: terlapor berstatus ODGJ.
Di titik ini, masalah hukum mulai terang.
ODGJ Bukan Alasan SP3 Sepihak. Dalam hukum pidana Indonesia, ODGJ tidak otomatis kebal hukum.
Pasal 44 KUHP memang mengatur bahwa seseorang dengan gangguan jiwa tidak dapat dipidana. Namun itu berlaku jika ketidakmampuan bertanggung jawabnya dibuktikan di pengadilan.
Bukan di meja penyidik.
Yang berwenang menentukan mampu atau tidaknya seseorang bertanggung jawab secara pidana adalah hakim, melalui proses persidangan dan pemeriksaan ahli kejiwaan di bawah sumpah.
SP3 hanya karena status ODGJ, tanpa uji pengadilan, adalah langkah prematur dan cacat prosedur. Polisi tidak boleh bertindak sebagai hakim.
Standar Ganda Penegakan Hukum
Perbandingan dua kasus ini menyingkap ketimpangan yang sulit dibantah.
Di Bekasi, 2018:
warga melawan begal → dilindungi negara.
Di Sumenep, 2025:
warga melerai amukan demi keselamatan umum → dikriminalisasi.
Pasal 49 KUHP diterapkan dalam kasus Irfan Bahri.
Pasal yang sama diabaikan kepada Asip cs dalam kasus Desa Rosong.
Yang satu dibebaskan.
Yang lain dipaksa duduk di kursi terdakwa.
Pertanyaan yang Belum Dijawab.
Mengapa warga yang melindungi keselamatan umum tidak diperlakukan sebagai pembelaan diri terpaksa?
Mengapa Pasal 49 KUHP diterapkan selektif?
Mengapa SP3 diterbitkan tanpa uji pengadilan, padahal ada korban dan laporan resmi?
Apakah hukum hanya tegas ke warga kecil, tapi longgar saat aparat ingin “menyederhanakan” perkara?
Kasus Irfan Bahri menunjukkan hukum bisa adil ketika negara mau hadir.
Kasus ODGJ di Desa Rosong menunjukkan sebaliknya: hukum menjadi timpang ketika prosedur dipotong dan empati ditinggalkan.
Jika logika hukum Irfan Bahri diterapkan konsisten, warga yang melerai amukan ODGJ seharusnya dilindungi, bukan dikriminalisasi.
Negara tidak boleh menghukum warganya yang berdiri di antara kekacauan dan keselamatan.
Jika itu terjadi, yang sakit bukan hanya seorang ODGJ—
melainkan nurani penegakan hukum itu sendiri.**













