Gaya Hidup

M. Musthafa: Kiai Produktif dari Annuqayah

×

M. Musthafa: Kiai Produktif dari Annuqayah

Sebarkan artikel ini
Kiai M. Mustafa

Mohammad Musthafa adalah sarjana lulusan Univesitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta dan Magister Utrecht University, Belanda dan NTNU, Norwegia.  Kiai Muda ini menjabat Kepala Sekolah SMA 3 Annuqayah. Baginya, tulis menulis sudah menjadi bagian dari kehidupan yang tak bisa dihindari. “Menulis, bagi saya ibarat seperti kebutuhan makan. Semua orang kan butuh makan,” tuturnya kepada Mata Sumenep yang saban hari tidak pernah lepas dari kegiatan ilmiah, baik membaca ataupun menulis. Semua ia tekuni dengan penuh kesenangan.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

matamaduranews.com-SUMENEP-Putra pertama (almarhum) Kiai Abdul Basith Bahar, salah satu Pengasuh Ponpes Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, Jatim, ini menjadi pelopor bagi santri dan mahasiwa yang aktiv di LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Instika untuk merekam jejak semua kejadian yang terjadi Annuqayah.

Ajakan Kiai Muda ini didukung oleh sebagian mahasiswa dan santri dengan harapan dapat mendorong efektivitas pemberitaan tentang Annuqayah.

Sehingga, hampir semua kejadian di Annuqayah terekam dalam bentuk tulisan.

Pengalaman serupa ia lakukan saat menempuh pendidikan magister di Belanda dan Norwegia yang terangkum dalam bentuk buku berjudul; 10 Bulan Pengalaman Eropa, Utrecht University, Belanda-NTNU, Norwegia (2009-2010).

Semasa menempuh kuliahd UGM, beliau memang dikenal sebagai penulis. Tulisannya dimuat hampir semua media, baik media lokal, nasional, dan bahkan samapai internasional, termasuk di beberapa jurnal.

Selain itu, Kiai Musthafa juga gemar meresensi buku. Dari saking bagus hasil resensi bukunya sehingga penerbit Mizan menobatkan dirinya sebagai peresensi terbaik waktu itu.

“Kiai Musthafa itu memang penulis, dan banyak sekali karya-karyanya yang dimuat diberbagai media,” kata Bakir, salah satu santri Annuqayah kepada Mata Sumenep.

Salah satu kutipan dalam bukunya yang mengisahkan tentang perjalanan hidupnya semasa di Eropa, …Sang Waktu telah merontokkan kekuatan mereka dan membawanya ke musim ini. Sang Musim telah mengantarkan daun-daun itu pada takdir purba yang telah tercatat bersama semesta. Di hamparan tanah yang mulai sering basah karena embun dan rintik hujan, mereka sama sekali tampak tak resah. Sesekali ditiup angin yang agak kencang, di sana mereka menunggu lebur untuk pulang kerumah asal [M. Mushthafa, Daun-Daun yang Berpulang dalam 10 Bulan Pengalaman Eropa, hal. 41]

Rasa syukur tiada henti setiap kali Kiai Musthafa mengingat pengalamannya di Eropa selama sepuluh (10) bulan dalam rentang 2009-2010.

Ketika menjalani studi di Utrecht, Belanda, dan Trondheim, Norwegia, dengan dukungan beasiswa dari Uni Eropa.  Ada banyak pengalaman yang didapat disana. Tidak hanya bekal materi, namun ada sisi lain yang juga mengsankan.

“Selama di Eropa saya tak hanya memperoleh pengalaman akademik yang menarik, tetapi juga pengalaman hidup yang lebih berwarna. Perjumpaan dengan aneka manusia dengan latar yang sangat beragam, kehidupan di negeri dengan musim yang bahkan cukup ekstrem, hidup dalam tatanan sosial yang berbeda, nilai dan ideologi atau keyakinan yang berlainan, semua merupakan pengalaman berharga yang saya temukan dalam wajah Eropa,” cerita Kiai Mustafa.

Kiai Musthafa termasuk orang yang selalu bersyukur atas beberapa kejadian yang membuatnya lebih bermakna dan penuh warna.

Kiai Musthafa mengaku menulis sekitar 30 catatan bertajuk pengalaman Eropa. Catatan-catatan itu mengangkat tema yang beragam.

Mulai dari pengalaman dari ribetnya mengurus dokumen sebelum berangkat, pengalaman bersepeda di Belanda, pengalaman “menggelandang” semalam di Frankfurt, pengalaman mengunjungi museum Anne Frank di Amsterdam, kesan lalu-lalang di kereta bawah tanah kota Paris, keterpukauan menyaksikan daun-daun yang berjatuhan di musim gugur, kesunyian musim dingin, keterpencilan kota Trondheim, Norwegia, di dekat lingkar kutub utara, dan sebagainya.

Ada juga catatan yang ditulis Kiai Mustafa lebih setahun setelah kepulangannya dari Eropa.

Tulisan itu mengenang sebuah tempat di dekat kampus di Trondheim yang menjadi eksotis saat musim semi datang dan bunga-bunga liar bertebaran di pinggiran hutan.

Selainp piawai dunia menulis Kiai Musthafa juga handal dalam memainkan Mata Lensa (Fotografer).

Bakat terpendamnya dapat dilihat dari hasil jepretannya ketika di Eropa yang sekarang di jadikan pelengkap tulisan-tulisannya.

Kiai Musthafa tak bisa mengabaikan foto-foto itu, karena sebenarnya beberapa tulisan justru lahir dari gambar yang ia rekam dengan kamera sakunya saat di Eropa.

“Ini salah satu karangan hasil imajinasi serta olahan hati yang mendalam sewaktu 10 Bulan Pengalaman Eropa, Utrecht University, Belanda-NTNU, Norwegia (2009-2010) yang diberi judul: A Lonely Biker.Ceritakanlah padaku tentang warna putih,” katanya.

Kemudian, Kiai Mustafa bercerita tentang salju di suatu senja. “Sore itu, dari balkon apartemen yang masih dipenuhi salju, aku melihat seorang penyepeda keluar dari komplek Warande, Zeist, yang menampung sekitar seribu penghuni itu. Duduk di atas sadel, mengayuh pedal di jalanan yang licin dikelilingi pemandangan putih yang menghampar, di antara pohon-pohon menjulang yang juga memutih, aku seperti menangkap nuansa kesunyian yang hadir diam-diam. Ia tampak bersembunyi dalam tas kotak di belakang sadel sepedanya.

Ia datang bersama butir-butir lembut yang telah mengurung benua ini di bawah titik nol. Dengan kepolosannya, ia telah menjungkalkan si penyepeda ke ngarai sunyi yang seperti tak bertepi. Kepada yang lain, ia telah memaksa mereka untuk memarkir sepedanya dalam gudang-gudang bawah tanah lebih lama.

Sore itu tak ada sinar matahari. Butir-butir salju yang menghampar itu tak sedang berkilauan diterpa cahaya keperakan. Si penyepeda bergerak perlahan di jalanan kecil yang saljunya sama sekali tak disingkirkan. Ia tampak bersabar. Bunyi roda sepedanya yang berputar melewati butir-butir salju yang lembut itu sesekali diiringi oleh kicau burung di kejauhan. Tiupan angin yang tak sedang amat kencang kadang menjatuhkan salju di pepohonan. Beberapa tampak menerpa jaketnya yang berwarna hitam. Wahai penyepeda, apa yang tengah kau jemput di luar sana?

Dari atas balkon, aku menyaksikan titik hitam itu bergerak perlahan di antara pemandangan putih yang tampak polos dan seperti berasal dari negeri kayangan.

Putih salju, apa pun makna keberadaanmu, apa pun atribut yang kau antarkan kepadaku, aku tahu, bahwa suatu saat kau akan luluh, mencair, lalu menghilang, entah ke mana, untuk kemudian kembali di suatu masa,”.

Imam Rasyidi disadur dari Tabloid Mata Sumenep