OpiniBerita Utama

Meneguhkan Indonesia Raya; Refleksi HUT ke – IX Partai Gerindra

×

Meneguhkan Indonesia Raya; Refleksi HUT ke – IX Partai Gerindra

Sebarkan artikel ini
Nizar Zahro
Moh. Nizar Zahro; Politisi Senayan
Moh. Nizar Zahro
Moh. Nizar Zahro

Oleh :Moh. NizarZahro*

Tanggal 6 Februari 2017 sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang  kesembilan tahun. Tanpa terasa partai berlambang kepala garuda ini, ikut mewarnai gerak perjalanan bangsa dan negara. Proses mewarnai tentu penuh duri, baik dalam upaya menjadi kawah candradimuka untuk melahirkan para pemimpin nasional- lokal, maupun saat ini dalam upaya menjadi partai oposisi agar terjadi chekc and balance dalam roda pemerintahan. Warna yang telah digoreskan sepanjang sembilan tahun tersebut oleh Partai Gerindra, tentu sudah memberikan kontribusi kebangsaan yang konstruktif untuk Indonesia. Demi kedaulatan dan keadilan yang berkemakmuran.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!
Selamat
Ucapan Selamat Bupati
Sukses

Dan sepanjang perjalanan sembilan tahun itu, AnggaranDasar (AD) Pasal9 ayat 2 dan 3 menjadi patokan bergerak bagi Partai Gerindra. Pasal yang didalamnya memuat misi mengurangi ketergantungan negara kepada pihak asing serta membentuk tatanan sosial dan politik masyarakat yang kondusif untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

Dua poin berupa mengurangi ketergantuan negara kepada pihak asing dan kondusifitastatanan sosial politik, kiranya kontekstual dengankondisi saat ini. Sebab, ketergantungan bangsa Indonesia kepada asing, saat ini masih sangat dominan dengan tingginya hutang luarnegeri yang mencapai Rp 4. 219 Triliun per November 2016. Tak hanya hutang yang masuk ke Indonesia, tenaga asing pun turut serta dengan memanfaatkan bebas visa.Tentu maraknya tenaga asing dan pembangunan yang berbasis utang luarnegeri ini, tidaklah sehat bagi kepentingan nasional. Sebab, akan membuat kemandirian dan kedaulatan bangsa semakin terkikis.

Sementara itu, kondusifitas tatanan sosial politik, di akhir tahun 2016 dan di awal tahun 2017, terganggu. Riak–riak perbedaan etnis dan agama membuat riuh. Kegaduhannya takhanya terjadi di kelas elite, melainkan juga dilapisan kelas menengah hingga kelas bawah. Bukan hanya di dunia maya (media sosial), tetapi juga di dunia nyata. Semua itu semakin menjurus pada robeknya persatuan Indonesia.Semakin jauh dari cita – cita founding father bangsa.

Semuaini, kiranya disebabkan gagalnya mewujudkan Indonesia raya yang bertumpu pada pembangunan jiwa dan badannya. Karenanya, keniscayaan yang harus dilakukan adalah kembali meneguhkan Indonesia Raya yang berkebudayaan dan berperadaban pancasilais :Berketuhanan, Berkemanusian, Berpersatuan, Bermusyarah – Bermufakat dan Berkeadilan. Caranya?tentu sebagaimana dalamlagu Indonesia Raya karya WR.Supratman.Yakni : “Bangunlah Jiwanya dan Bangunlah Badannya”.

Membangun jiwa sama dengan membangun mental, emosional dankeilmuan. Ia lebih banyak pada Caracter Building. Ia bertumpu pada pembangunan manusia yang nantinya terapilkasi pada sikapnya (behaviourisme). Dimulainya dengan kebiasaan (habit) individu maupun sosial dalam berprilaku pancasilais, baik dalam kehidupan keluarga, akademis dan negara.

Dimasa Perjuangan Kemerdekaan, Pembangunan

Jiwa ini telah memunculkan semangat nasionalistik dan kesadaran identitas.Ujungnya melahirkan pergerakan nasional baik secara fisik maupun diplomasi melawan penjajah kolonial. Untuk Indonesia yang merupakan Negara postcolonial tentu pembagunan jiwa ini sangatlah vital.Sebab, para penjajah telah meninggalkan warisan mental yang destruktif.Seperti misalnya, mental manusia kolonial yang melahirkan superioritas dan subordinasi.

Hanya saja tak cukup dengan membangun jiwa.Melainkan harus juga membangun badan.Membangun badan adalah membangun system ekonomi, sistem politik, dan infrastruktur kelembagaan lainnya.Pendekatan ini biasa disebut dengan institusionalisme.Terlebih lagi, praktek kolonial seperti cultural state berupa tanam paksa berbasis eksploitasi dan politik devide etimpera memanfaatkan keberagaman bangsa Indonesia, langgeng sampai sekarang dengan manifestasi yang berbeda.

Di era orde baru, pembangunan politik terefleksi dengan cara yang represif dengan memanipulasi ideologi dan kekerasan fisik sehingga tidak manusiawi. Sementara itu, pembangunan ekonomi mengejar pertumbuhan dan mengesampingkan pemerataan yang berkeadilan.Sedangkan, di era reformasi sebagai upaya untuk mewujudkan good governance yang jauh daripraktik KKN, dipraktekkan system politik dan ekonomi yang demokratis dan kapitalistik.Padahal keduanya bertumpu pada liberalisme individu dan marginalisasi Negara.Sebab, pasar dan swasta yang berkuasa.

Karenanya untuk mewujudkan itu membutuhkan pemimpin berkarakter dan berkomitmen. Bukan pemimpin yang tipikal boneka.Terlebih lagi, Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduk banyak, wilayahnya luas dan memiliki sumberdaya alam yang memadai.Dalam hal pemimpin, Plato memiliki konsep filosofer King yakni, yang pantas menjadi raja adalah filsuf. Sebab ia memiliki kebijaksanaan. Kebijaksanaan inilah yang saat ini mulai pudar pada pemimpin sekarang.

Sehingga, kendatipun setiap pemimpin nasional yang pernah menjabat di Indonesia, memiliki gagasan untuk Indonesia Raya dengan cara bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Namun, di era kepemimpinan saat ini, gagasan bangunlah jiwanya yang di adagiumkan denganrevolusi mental, gagal teraplikasikan. Bukan disebabkan gagasannya yang melangit, tetapi karena faktor kepemimpinan sehing gagagal untuk dibumikan.

Karenanya, Partai Gerindra dalam upaya untuk mewujudkan Indonesia Raya yang pancasilais dengan cara bangunlah jiwanya, bangunlah badannya dengan komando PrabowoSubianto, akan terus berkontribusi sebagai kawahcandradimuka. Demi untuk melahirkan kepemimpinan nasional dan lokal degan visi membangun manusianya dan membangun negaranya atau kotanya secara seimbang dan bersama. Semoga!.

*Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Perumahan Rakyat &Anggota Komisi V DPR RI.