Dua pemahaman tersebut telah membuat siapapun menyadari bahwa sudah tidak mengherankan lagi apabila metodologi selalu menjauhi mitologi, dengan mengklaim bahwa metodologi lebih akurat dalam
merepresentatifkan fakta dan realita.
Begitu pula sebaliknya, mitologi menanggap bahwa nenek oyang dan para pendahulu manusia telah jauh memiliki keakuratan dalam memahami segala aspek kehidupan jika dibandingkan dengan manusia saat ini. Maka yang menjadi pertanyaan besar adalah benarkah metodologi itu bertolak belakang dengan mitologi?
Kegagalan kita dalam mendefinisikan modernitas sering kali membuat kita lupa terhadap sesuatu yang lebih fundamental dari sekedar modernitas yang kita yakini tersebut. Bahwa kemajuan pengetahuan dengan segala kemodernan adalah pola pikir dan cara pandang yang maju, hingga negara-negara pencetusnya kita yakini sebagai negara maju. Dan metodologi adalah suatu produk dari sesuatu yang kita yakini sebagai modernitas yang pastinya akan membawa kemajuan.
Maka tidak mengherankan lagi bila akhirnya metodologi kerap diidentikan dengan metode kebarat-baratan. Hingga klaim ilmiah, dimana segala sesuatu yang harus kita tempuh dalam kehidupan harus berilmiah yang dibuktikan dengan pendekatan ilmiah. Lagi-lagi saat ini legitimasi akan keilmiahan hanya berlaku pada setiap pendekatan yang mengedepankan metodologi belaka.
Di sisi lain, selama ini mitologi hanya dianggap suatu dogma dengan stigma yang negatif yang lebih identik dengan hal yang tidak logis dan mengarah kepada subjektifitas manusia. Terlepas dari latar belakang keyakinan yang dimiliki, bangsa timur memiliki banyak mitologi tentang kehidupan jika dibandingkan dengan bangsa barat.
Hal tersebut semakin memperkuat dan mempertegas bahwa milotogi sangat tidak logis dan tidak ilmiah, sehingga pendekatan dalam hidup yang mengedepankan sisi mitologi menjadi bukti akan kegagalan seseorang dalam berpikir logis. Hingga akhirnya mitologi akan mendorong setiap orang
untuk mengedepankan sisi kepercayaan seseorang dengan menaruh rasa percaya terhadap segala hal.
Jika kita telaah kembali, benarkah mitologi dan metodologi adalah suatu yang dikotomis? Jika kita bandingkan dengan mitologi, metodelogi cenderung memiliki hal yang rasional dan logis dimana akal menjadi perangkat utamanya.
Sedangkan mitologi dianggap hanya sekedar hal yang tidak logis dan irasional yang terlalu mengedepankan rasa, dimana hati menjadi piranti utamanya. Tanpa kita sadari, pendikotomian yang telah terjadi seolah mempertegas bahwa terdapat wilayah yang berbeda antara pikiran dan perasaan, dalam hal ini fungsi otak dan hati. Dan seakan telah lupa, bahwa sejatinya kedua hal tersebut, baik pikiran dan perasaan adalah hal yang beriringan, bukan hal yang bertolak belakang. Karena akhir dari pertimbangan setiap perasaan tergantung bagaimana cara seseorang tersebut memikirkannya, begitu pula puncak pemikiran seseorang tergantung seberapa besar yang telah mampu ia rasakan.
Jika kita resapi bersama akan hal tersebut, maka sejatinya logika dan estetika bukanlah hal yang dikotomis, karena pada intinya hanya sekedar perbedaan deskripsi dalam menarasikan suatu fenomena sebagai akibat perbedaan posisi dan cara dia memandangnya saja. Maka sangat terasa mustahil jikalau menempuh jalan kehidupan hanya dengan salah satu diantara dua hal tersebut.