matamaduranews.com-SUMENEP-Setidaknya ada dua orang bergelar Pulangjiwo yang tercatat dalam daftar penguasa Sumenep.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pulangjiwo pertama ialah seorang pembesar Pamekasan yang selanjutnya menjadi penguasa di Pulau Sapi alias alias Pulau Sepudi. Pendapat ini merupakan yang tertulis di buku catatan Kangjeng Zainalfattah (KRTA Notoadikusumo), sejarahwan legendaris Madura sekaligus mantan bupati Pamekasan di paruh pertama abad 20.
Pulangjiwo ini di Sepudi dikenal dengan nama lain, Panembahan Blingi. Di kalangan masyarakat Sepudi sejak dulu kala, sang panembahan ini dikenal sebagai waliyullah agung di pulau yang dilafalkan Poday ini.
“Disebut Blingi, artinya pemimpinnya reng Balli (orang perpangkat Waliyullah) di pulau ini,†kata H. Abdurrahman, penjaga pasarean Panembahan Blingi, beberapa waktu lalu.
Dalam buku Babad Songennep (1914) karya Raden Werdisastra, nama Panembahan Blingi atau Balinge memang disebut sebagai sesepuh di Pulau Sepudi. Istilah Panembahan di sini sejatinya perlu dikaji ulang. Karena pada umumnya, Panembahan ialah gelar bagi penguasa kerajaan Islam. Nah, apakah benar di Sepudi dahulu adalah kerajaan?
“Kalau merujuk babad, itu masa berdirinya Majapahit. Sehingga penggunaan gelar penguasa Islam masih tergolong resistan. Dan untuk Sepudi memang belum bisa dipastikan sebagai salah satu pusat pemerintahan,†kata Moh. Hairil Anwar, pemerhati sejarah di Sumenep.
Babad Songennep menyebut Panembahan Blingi sebagai ayah dari dua bersaudara pertapa sakti: Adipoday dan Adirasa. Adipoday adalah ayahanda Jokotole alias Pangeran Saccadiningrat III, adipati Sumenep yang keratonnya di Lapa, Dungkek (meski ada pendapat lain yang membantahnya).
Blingi atau Balinge, ejaan aslinya ialah Wlingi atau Walinge. Seperti disebut di atas bermakna kumpulan para Waliyullah. Namun bahasa Madura memang tidak menggunakan huruf “w†kecuali sebagai pelancar. Seperti sawah, menjadi saba; perwira menjadi parbira; sawo menjadi sabu; dan lain sebagainya. Sehingga Wlingi atau Walinge pun dilafalkan Blingi atau Balinge.
Satu-satunya info mengenai asal-usul Ario Pulangjiwo hanya catatan Sumenep. Yaitu menyebut beliau sebagai anak Sunan Lembayung Fadal alias Raja Pandita alias Sayyid Ali Murtadla. Genealogi ini sepertinya saat ini menjadi perdebatan di kalangan pakar nasab.
Pasalnya, Ali Murtadla adalah juga disebut sebagai ayah dari Sayyid Haji Utsman. Haji Utsman ini adalah ayah Sunan Paddusan. Dalam catatan silsilah Sumenep, dan buku Babad, Sunan Paddusan adalah anak menantu Jokotole. Sementara Jokotole adalah anak Adipoday.
“Perlu analisa tahun di dalamnya juga,†kata Ja’far Shadiq, pemerhati silsilah di Sumenep.
Pulangjiwo II
Nah, selain Pulangjiwo di atas, di Sumenep juga terdapat tokoh yang dikenal dengan nama Pangeran Panji Pulangjiwo. Beliau disebut sebagai Raja Sumenep yang memerintah pada 1672-1678.
Meski bernama atau bergelar sama, Pangeran Panji Pulangjiwo tidak memiliki kaitan langsung atau keturunan langsung Pulangjiwo sebelumnya, atau yang bisa disebut saja sebagai Pulangjiwo I.
Pangeran Panji Pulangjiwo bernama kecil Raden Kaskiyan. Beliau adalah putra Pangeran Karangantang, Sampang. Di catatan silsilah Keraton Sumenep susunan R.B. Abdul Fattah (1989), ditulis Pangeran Ragintang alias Syekh Rabet.
Ke atas, Pangeran Ragintang nasabnya bersambung pada Pangeran Gebak atau Kebak. Pangeran Gebak adalah putra Sunan Kulon. Dan Sunan Kulon sendiri adalah putra Sunan Giri I, pendiri Giri Kedaton, sekaligus salah satu dari Wali Sanga Jawadwipa.
Pangeran Panji Pulangjiwo diambil menantu Tumenggung Yudonegoro (memerintah Sumenep pada 1648-1672) alias Raden Bugan alias Pangeran Macan Ulung.
Setelah Yudonegoro mangkat, diangkatlah Panji Pulangjiwo sebagai penggantinya.
Meski menantu, Pangeran Panji Pulangjiwo dikenal sebagai raja yang dicintai masyarakat Sumenep. Hingga namanya begitu dikenal hingga saat ini.
Salah satu riwayat menyebut jika Panji Pulangjiwo merupakan penguasa yang banyak memiliki karomah. Bahkan saat wafat, jasadnya lenyap saat akan dikuburkan.
Meski bukan yang pertama dimakamkan di Asta Tinggi, namun kubah paling sepuh di sana justru dinamai dengan namanya. Yaitu Kubah Pangeran Pulangjiwo. Padahal, sebelum beliau ada Pangeran Anggadipa dan lainnya, yang juga berada di satu kubah yang sama.
Pangeran Panji Pulangjiwo memiliki beberapa anak, salah satunya ialah Raden Ayu Tumenggung Jayakusuma, atau isteri Raden Tumenggung Jayakusuma. Jayakusuma disebut keponakan Pulangjiwo, namun di catatan lain ditulis Tumenggung Joyonegoro, yaitu anak Pangeran Gatutkoco alias Adikoro I Pamekasan.
Dari Raden Ayu Jayakusuma lahirlah Raden Ayu Wongsonegoro atau isteri Raden Demang Wongsonegoro. Wongsonegoro merupakan tokoh penting dalam dinasti Yudonegoro sekaligus di awal berdirinya dinasti Bindara Saot.
Dalam prahara yang sempat terjadi dalam angin perubahan dinasti di Sumenep, Wongsonegoro merupakan tokoh yang membawa keraton di ujung timur nusa garam ini ke suasana kondusif.
RM Farhan