OpiniGaya Hidup

Satu Jam Bersama Aktivis Perempuan Cantik (1)

×

Satu Jam Bersama Aktivis Perempuan Cantik (1)

Sebarkan artikel ini
Satu Jam Bersama Aktivis Perempuan Cantik (1)
Murinatul Aini saat bergumul dengan orang miskin (Foto/dok. Mata Madura)

Catatan: Johar Maknun*

BEBERAPA hari ini, saya agak kurang perhatian sama WhatsApp. Selain kondisi fisik yang belum fit, juga karena lagi fokus nyelesaikan baca buku yang sempat tertunda. Nah, suatu hari, saya iseng buka WA Group Berita Mata Madura. Saat buka, ternyata ada link yang dikirim redaksi ke saya, tentang seorang wanita yang aktif dalam kegiatan berbagi kepada sesama. Judulnya, agak provokatif….*******cantik.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Saya buka link itu. Betul juga, meskipun agak provokatif, saya tuntaskan baca hasil wawancara wartawan Biro Pamekasan tersebut.
Setelah baca, saya telepon redaksi. Saya komplain, koq bahasa yang digunakan dikasi yang sensasional? Setelah terjadi perdebatan, redaksi bersedia merubah diksi berita tersebut. Alhamdulilah, kata saya dalam hati.

Meskipun demikian, saya tetap merasa bersalah atas pemberitaan itu. Dan saya pun meminta nomor kontak sumber berita. Setelah nomor kontak dapat, saya mulai membangun komunikasi dengan sumber berita tersebut. Dan kami pun sepakat untuk bertemu siangnya.
Sebagai seorang jurnalis, saya mencoba membangun objektivitas dengan Aini, wanita yang ditulis di majalah saya. Karena, penulisan terbaik adalah penulisan dengan situasi yang paling objektif. Dan lagi-lagi saya harus mengabaikan gambaran kecantikan Aini, yang saya lihat di foto majalah Mata Madura.

Siang itu pun kami bertemu bersama wartawan Biro Pamekasan. Dan lagi-lagi sebagai seorang jurnalis, saya harus fokus pada informasi aktivitas Aini. Bukan pada yang lain.

Satu Jam Bersama Aktivis Perempuan Cantik (1)

Subhanallah. Sungguh tidak saya duga. Dari diskusi dengan Aini, saya mendapatkan informasi jauh lebih dalam dan lebih lengkap daripada berita hasil wawancara, Basri, wartawan Mata Madura Biro Pamekasan.

Yang menarik, saat sat meminta maaf atas nama Mata Madura Biro Pamekasan, ternyata jawaban yang saya dapatkan, sungguh di luar dugaan.

“Jujur saya kaget dengan pemberitaan Mata Madura. Tapi, akhirnya saya sadar, bahwa ini mungkin teguran dari Allah kepada saya,” jawab Aini datar. Tanpa beban.

Sungguh sebuah jawaban yang hanya keluar dari sesorang yang punya Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yang tinggi. Jawaban Aini menjadi sebuah kritik bagi pesohor dan tokoh publik kebanyakan. Biasanya, para selebritis, tokoh publik, akan sangat mudah marah saat namanya terdistorsi oleh pemberitaan. Keyakinan yang kuat bahwa dirinya adalah orang baik, membuat para selebriti dan banyak tokoh publik menjadi sensitif, saat ada pihak lain yang mendistorsi citra positifnya. Mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat baik. Dan karena demikian baiknya, mereka merasa bahwa setiap distorsi citra dirinya, adalah sebuah ancaman serius yang harus dilawan.

Kesadaran Aini yang tidak merasa tercemar, adalah refleksi dari kesadaran sufistik bahwa sesuatu yang tercemar pasti awalnya bersih. Dan pandangan orang-orang yang tidak selalu positif pada dirinya, semua terjadi sebagai ujian dari Allah sekaligus kesadaran bahwa dunia ini fana.

Saya menjadi teringat apa yang ditulis oleh ahli tasawuf Ibrahim Madkur dalam kitab Fi Falsafah Islamiyah Manhaj wa Tathbiquhu (1976), bahwa dunia ini fana. Ibrahim Madkur menjelaskan, bahwa secara teoritis adalah hilangnya kesadaran tentang eksisitensi diri di hadapan Allah. Ketiadaan eksistensi diri di hadapan Allah muncul karena manusia sesungguhnya fana. Yang kekal hanya Allah. Innamal hayaatuddunya laibun walahwun (sesungguhnya kehidupan dunia ini hanya permainan).

Setelah satu jam berdiskusi, dengan ditemani juga oleh sahabat saya Nur Hasunah dari Women’s Crisis Center, Basri, wartawan Mata Madura Biro Pamekasan, dan anak saya, akhirnya pamit kepada Aini. Kami sepakat untuk bertemu lagi.

Sungguh pertemuan itu adalah sebuah pertemuan awal yang begitu dalam kesannya. Saya harus mengakui, saya harus belajar dari seorang Aini. Saya belum apa-apa.

Bersambung….

*Penulis adalah Kepala Biro Mata Madura di Pamekasan

KPU Bangkalan