Catatan

Komisi Informasi Sumenep: Lembaga Keterbukaan yang Dihantui Kontroversi

×

Komisi Informasi Sumenep: Lembaga Keterbukaan yang Dihantui Kontroversi

Sebarkan artikel ini

Catatan: Hambali Rasidi

matamaduranews.com-Masih ingat proses pelantikan lima komisioner Komisi Informasi (KI) Kabupaten Sumenep periode 2019–2023?

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Periode itu dilantik oleh Bupati Sumenep, Dr. KH. A. Busyro Karim, pada 27 Maret 2019.

Tapi perjalanan menuju pelantikan tidaklah mulus. Ada jejak panjang. Lambat dilantik. Penuh protes, hingga dugaan cacat hukum yang mewarnai prosesnya.

Bupati Kiai Busyro ketika itu, menjelaskan alasan Bupati enggan melantik.

Kiai Busyro menjawab ke media: pelantikan 5 orang komisioner KI dilakukan sesuai prosedur.

Artinya karena tidak ada surat rekomendasi dari DPRD ya Bupati tak melantik. “Jika ada surat dari DPRD untuk ditindaklanjuti, ya saya tindaklanjuti,” kata Bupati saat itu, seperti dikutip banyak media.

Publik juga bertanya: kenapa belum ada surat rekomendasi DPRD ke Bupati tentang hasil seleksi 5 orang komisioner KI. Ada apa sebenarnya di tubuh DPRD Sumenep, ketika itu.

Publik hanya disuguhi drama persoalan
Nama-nama calon komisioner yang fit and proper test-nya molor lima bulan dari pengumuman hasil Pansel, 25 Juli 2017.

Selain itu, ada drama hasil uji kepatutan tanpa skoring. Ketua KI saat itu, R. Hawiyah Karim, menyebut, penilaian hanya dilakukan dengan cara contreng atau voting. Bukan berdasar indikator yang jelas. Sebagaimana diatur dalam regulasi.

Kejanggalan itu diperuncing oleh Herman Wahyudi SH yang membawa hasil uji kepatutan ke Komisi Informasi Jawa Timur. Ia menggugat DPRD karena tidak mau membuka dokumen hasil uji kelayakan.

Drama drama itu sebagai konsumsi media. Alasan Ketua DPRD Sumenep, Herman Dali, ketika itu yang enggan membuat surat rekomendasi.

Di depan panggung, publik hanya disuguhi drama: Ketua DPRD H. Herman Dali disebut enggan menandatangani rekomendasi hasil seleksi. Alasan demi alasan muncul.

Publik hanya menduga ada sesuatu yang tersembunyi—deal politik yang tak pernah benar-benar terungkap.

Sejatinya di belakang panggung. Ada sesuatu yang tersembunyi. Ketua Dewan Ji Herman baru bisa bicara sekarang kepada Ainur Rahman. Setelah mendengar hasil seleksi Komisi 1 DPRD untuk Komisioner KI Sumenep periode 2025-2029.

Ji Herman menelepon Ainur Rahman. Katanya, drama-drama KI Sumenep periode 2019 nyaris seperti tulisan Ainur Rahman dan sikap Farid Gaki.

Dalam postingan di media sosial, aktivis Farid Gaki terang-terangan meminta agar Bupati Sumenep tidak melantik hasil seleksi Komisi I DPRD.

Suaranya disambut oleh tulisan Ainur Rahman yang mempertanyakan keabsahan proses seleksi.

Ainur menulis: prosedurnya jelas. Tim seleksi menyerahkan 10–15 nama ke DPRD, lalu Komisi I melakukan uji kelayakan dan memilih 5 orang. Hasilnya ditetapkan..Ketua DPRD membuat surat untuk diserahkan ke Bupati agar ditetapkan lewat SK.

Namun kenyataannya, yang diumumkan justru lebih dulu muncul di media, bahkan sempat dihapus dan dipublikasikan ulang dengan redaksi berbeda. “Apakah ini sudah keputusan resmi? Atau hanya sekadar teaser sebelum DPRD benar-benar menetapkan?” tulisnya penuh tanya.

Lebih jauh, regulasi menegaskan bahwa hasil seleksi harus diumumkan secara terbuka, minimal di dua media cetak dan dua media elektronik selama tiga hari berturut-turut. Komposisi anggota juga wajib menyertakan unsur pemerintah. Jika aturan ini diabaikan, legitimasi hasil seleksi tentu bisa dipersoalkan.

Di sinilah kritik Farid Gaki menemukan pijakan: bagaimana mungkin lembaga yang lahir untuk menegakkan keterbukaan informasi justru lahir dari proses yang gelap?

Komisi Informasi adalah benteng hak publik untuk tahu. Tapi di Sumenep, KI justru hadir dengan penuh kontroversi.

Pertanyaan akhirnya mengendap di benak publik: bila sejak awal lahir dari prosedur yang tak transparan, apakah KI Sumenep benar-benar bisa dipercaya sebagai pengawal keterbukaan informasi?