OpiniHukum dan Kriminal

Bela Neneng Lenteng Sumenep

×

Bela Neneng Lenteng Sumenep

Sebarkan artikel ini

Oleh: Marlaf Sucipto*

Marlaf Sucipto
Marlaf Sucipto

matamaduranews.comMembela Kasus Neneng Lenteng.

Sebagai orang yang tinggal di Lenteng, Sumenep, saya menaruh perhatian khusus atas kasus ini. Ini dalam rangka untuk menjaga Lenteng, secara khusus, dan Sumenep secara umum, dari tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis, yang pelakunya adalah keluarga terdekat.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!
Selamat
Ucapan Selamat Bupati
Sukses

Neneng adalah korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Terduga pelakunya, Arfan; Suami Neneng. Arfan sebagai terduga pelaku, saat ini telah mulai diadili di Pengadilan Negeri Sumenep.

Menurut para pemerhati, utamanya dari Aliansi Masyarakat Peduli Neneng yang dikoordinatori oleh Ahmad Hanafi, nama Facebok-nya Hanapie Potona Adhem, termasuk juga pendapat advokat senior yang dipublikasi oleh portal berita online dimadura, bahwa Neneng tidak layak hanya diposisikan sebagai korban KDRT, tapi ia juga layak diposisikan sebagai korban pembunuhan. Bahkan korban pembunuhan berencana. Pelaku, juga layak dijerat dengan pasal pembunuhan dan/atau pembunuhan berencana.

Atas hal ini, saya sepakat. Setidaknya, unsur pasal pembunuhan berencana, dapat didalami dari rilis Polres Sumenep yang kedua, yang menyatakan bahwa Arfan telah mencabut selang oksigen saat Neneng dirawat di Puskesmas Batang-Batang, Sumenep.

Atas rilis itu, tak sedikit media online yang memberitakan.

Mengenai pencabutan selang oksigen ini, saya mendapat penjelasan langsung dari Ahmad Hanafi, melalui pesan maupun telepon What’sApp, katanya, rilis polres yang kedua, didasarkan atas pengakuan Arfan sendiri yang mengaku mencabut selang oksigen tersebut.

Ahmad Hanafi kemudian kaget dan mengutarakan kekecewaannya tatkala sidang perkara Neneng ini digelar perdana Selasa lalu. JPU, katanya, dalam Surat Dakwaannya “hanya” menjerat terduga pelaku dengan ketentuan Pasal 44 ayat (3) UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara atau denda paling banyak 45 juta rupiah.

Konsekuensi hukuman sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 44 ayat (3) itu adalah konsekuensi dari adanya kekerasan fisik yang di atur di dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1). Sedangkan Neneng, disinyalir juga mengalami kekerasan psikis, tak hanya kekerasan fisik. Apalagi, menurut Ahmad Hanafi, kekerasan terhadap Neneng yang kemudian ia meninggal dunia, akibat dari kekerasan berulang yang sebelum-sebelumnya telah dialami Neneng.

Gerakan aksi damai yang rencana akan dihelat pada Selasa (18/2) besok, pada saat sidang kedua perkara ini, di bawah koordinator massa aksi Ahmad Hanafi, jika hanya menyasar Pengadilan Negeri Sumenep tanpa juga menyasar Kejaksaan Negeri Sumenep dan Kepolisian Resort Sumenep, saya rasa kurang sempurna. Sebab, apa yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam Surat Dakwaan yang dibacakan pada Selasa lalu dalam persidangan perdana perkara ini, tidak lepas dari “kerja-kerja” kepolisian yang melakukan penyelidikan-penyidikan.

Kepolisian dan kejaksaan harus juga dimintai pertanggungjawaban atas kerja-kerja penyelidikan-penyidikan dan pra penuntutan perkara ini.

Kepolisian dan Kejaksaan adalah pihak utama yang harus dimintai pertanggungjawaban. Alasannya, kejaksaan, sejak Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dikirim dan diterima oleh Kejaksaan, ia memiliki fungsi dan peran untuk memantau perjalanan penyidikan melalui pra penuntutan. Fungsi pra penuntutan yang melekat kepada kejaksaan, mestinya dioptimalkan dengan bersikap jeli dan teliti atas kasus ini. Apalagi kasus ini menjadi perhatian publik.

Kejaksaan mestinya berperan aktif agar penyelidikan-penyidikan oleh polisi dalam perkara ini berjalan dan/atau dijalankan secara proporsional. Simpelnya, perkara ini tak cukup hanya memasukkan Pasal 44 ayat (3) UU 23/2004 tentang PKDRT. Tapi harus juga di-junto-kan pada Pasal 338 dan/atau Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang unsur pasalnya “merampas nyawa orang lain” dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.

Dalam konteks “merampas nyawa orang lain” akan semakin berat ancaman hukumannya yaitu hukuman mati atau hukuman seumur hidup apabila unsur “berencana”-nya terpenuhi. Hal ini diatur di dalam ketentuan Pasal 340 KUHP.

Nah, untuk sampai pada unsur “berencana” ini, saya rasa tepat apabila kepolisian juga melakukan penyelidikan adanya dugaan pembunuhan berencana terhadap Neneng oleh suaminya yang bernama Arfan sebagaimana ketentuan Pasal 340 KUHP. Hal ini dapat dimulai dari pengakuan Arfan yang mencabut selang oksigen Neneng sebagaimana rilis polres yang kedua itu. Tidak menutup kemungkinan, ada perbuatan-perbuatan lain sebelumnya, baik yang dilakukan Arfan langsung maupun pihak-pihak lain, yang masuk dan/atau memenuhi unsur pembunuhan berencana.

Orang sekarat kemudian dicabut selang oksigennya, kan sudah terang dan jelas itu, kira-kira dalam rangka apa.

Hakim di Pengadilan Negeri Sumenep yang menangani perkara ini, tidak mungkin mengadili perkara di luar yang didakwakan JPU melalui surat dakwaannya. Karena memang begitulah aturan mainnya. Ada fungsi dan kewenangan dari masing-masing institusi negara sebagai instrumen penegakan hukum.

Gerakan Ahmad Hanafi yang mengkoordinatori aksi damai dalam perkara ini, supaya efektif, lakukan juga ke kepolisian dan kejaksaan sebagai institusi yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan. Jika perkara ini terus lanjut sebagaimana surat dakwaan JPU, biarkan, tinggal sempurnakan dengan meminta kepolisian untuk melakukan penyelidikan dalam konteks Pasal 338 dan/atau Pasal 340 KUHP.

Pemidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 44 ayat (3) UU 23/2004 tentang PKDRT, bersifat pilihan; pidana penjara, atau denda. Jika kasus ini tidak dikawal, terduga pelaku, khawatir hanya didenda tanpa dikenakan pidana penjara. Logika hukumnya, dalam frase ketentuan Pasal 44 ayat (3), digunakan kata “atau”, bukan “dan/atau” di antara pidana penjara atau denda.

Menjadi tepat apabila gerakan yang dikoordinatori oleh Ahmad Hanafi ini, selain melakukan pengawalan pada proses hukum di pengadilan, juga meminta kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penyempurnaan penyelidikan, penyidikan, dan pra penuntutan dalam konteks Pasal 338 dan/atau Pasal 340 KUHP

Langkah ini supaya menjadi perhatian dan pelajaran kepada publik, agar kekerasan di dalam rumah tangga, khususnya di Sumenep, dapat ditekan, diminimalisir. Supaya tak ada lagi korban “Neneng-Neneng” berikutnya.

Jika Arfan dihukum dengan hukuman yang setimpal, insyaAllah akan menjadi perhatian, supaya tak ada lagi Arfan-Arfan berikutnya di Sumenep.

Semoga mencerahkan.

*advokat kelahiran Sumenep