Kalau sudah begitu, Bung Karno akan berujar, “Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita, bagaimana kalau kita menyanyi bersama-sama?†Alhasil, di sela-sela petir yang menggemuruh, terdengarlah satu suara mengikuti Bung Karno menyanyi. Disusul, sepuluh orang menyanyi. Lalu, seratus orang ikut menyanyi. Tidak lama kemudian, menggemalah 20.000 suara menjadi satu paduan lagu gembira. Bung Karno sadar betul, tembang daerah bisa menyatukan rakyat sangat erat, lebih erat dari rantai besi sekalipun.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Hingga hujan reda, dan Bung Karno mengakhiri pidatonya, tak satu pun orang bergeser dari tempatnya berdiri. Salah seorang pengikut Bung Karno berkomentar, “Ini adalah suatu kejadian yang tidak dapat dilakukan oleh orang semata-mata. Bakat yang demikian itu terletak antara Bung dan alam.â€
Kali berikutnya, Bung Karno berpidato di Solo, di mana putri-putri keraton yang cantik- cantik keluar dari pingitan hanya untuk mendengarkan pidatonya. Bahkan salah seorang yang sedang hamil tua menepuk-nepuk perutnya berkali-kali sambil menggumamkan kata, “Saya ingin seorang anak seperti Sukarno.†Di tengah pidato, mendadak muncul ide dadakan Sukarno. Ia melepas pecinya, dan menyerahkan kepada salah satu putri keraton untuk berkeliling mengumpulkan uang untuk pergerakan.
Tidak berhenti sampai di situ. Kisah lain lebih bernuansa tragi-komedi, ya tragis, ya lucu. Kisah terjadi di Gresik, Jawa Timur. Di tengah kerumunan massa, tampak seorang pejabat kolonial yang kebetulan keturunan pribumi. Ia harus memantau kegiatan pidato Sukarno, dan harus membuat laporan tertulis kepada pemerintah Hindia Belanda.
Pejabat kolonial keturunan pribumi yang disebut “patih†oleh Sukarno itu, tampak tekun dan khidmat mengikuti orasi Bung Karno. Ekspresinya sangat serius, seperti menyimak kata demi kata dengan hati. Dan, manakala meledak tempik-sorak massa, ia pun spontan bersorak dan bertepuk tangan penuh semangat, lupa akan baju seragam kolonial yang dipakainya.
Celaka duabelas… tidak jauh dari kerumunan massa, hadir juga Van der Plas, Direktur Urusan Bumiputera. Lebih apes lagi, Van der Plas melihat dengan mata kepala sendiri, anak buahnya ikut bersorak-sorak dan bertepuk tangan mendengarkan pidato Bung Karno. Kisah selanjutnya bisa Anda tebak, ia langsung dipecat. (roso daras)
sumber: kempalan