CatatanReligi

Inspiratorku; Fenomena Mufassir

×

Inspiratorku; Fenomena Mufassir

Sebarkan artikel ini
KH A. Busyro Karim

Oleh: KH A. Busyro Karim*

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

SUWAKTU muda, saya sering mendengar penceramah mengutip ayat-ayat al-Qur’an dalam pengajian akbar. Seperti bunyi surat at-Taubah ayat 105; waquli i’maluu fasayaraa allaahu ‘amalakum warasuuluhu (Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu).

Para penceramah merubah makna waquli i’maluu yang memiliki arti bekerjalah selalu diartikan berkaryalah kamu. Tentu saja kalimat berkarya berkonotasi Golongan Karya. Padahal, ayat yang dimaknakan “berkarya” itu berisi ancaman dari Allah terhadap orang-orang yang menentang perintah-Nya. Amalan/perbuatan mereka akan dihadapkan kepada-Nya dan Rasul. Ayat ini juga terkait dengan surat al-Haaqqah:18 (pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah). Pada hari ditampakkan segala rahasia (ath-Thariq : 9).

Di lain kesempatan, saya juga sering mendengar penceramah lain mengutip ayat al-Qur’an yang berbunyi, wa man dakhalahu kana amina(aminan) (al-Imran:97) (barangsiapa memasukinya (baitullah) menjadi amanlah dia). Ayat ini selalu dikaitkan oleh penceramah dengan ka’bah. Tentu saja, waktu itu, ada partai politik bergambar baitullah (ka’bah).

Dua model penceramah itu, selalu terngiang-ngiang di telinga hingga kini. Selalu ada ayat-ayat al-Quran yang ditafsirkan berbau politik. Banyak para penceramah mencari pembenaran melalui ayat-ayat al-Quran dalam misi politik dan kepentingan pribadi.
Distorsi tafsir ini bukan saja terjadi pada tafsir ayat-ayat al-Qur’an. Mufassir Kitab Taurat dan Injil juga demikian.

Para pendeta banyak yang menafsirkan Injil dan Taurat sesuai dengan kemauan sendiri. Bukan apa yang difirmankan Allah Swt. Dalam bacaan dziba’ ada kalimat, al-haditsu al-sani ‘an ‘Atha ibni Yasar ‘an ka’ab al-ahbar, qala allaman ibni wattaurata illa shifran wahidan kana yahtimuhu wayathulu shunduk.

Bacan di atas adalah kisah Ka’ab al-Ahbar, seorang mantan rahib (pendeta) Yahudi yang masuk Islam pada zaman pemerintahan Khalifah ‘Umar bin Khaththab r.a. Beliau wafat pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan r.a

Sayyidina Ka’ab al-Ahbar bercerita, saya diajari oleh bapak tentang kitab Taurat hingga tamat. Tapi ada satu lembar yang dimasukkan ke shunduk (laci). Falamma abi, maka ketika bapak saya meninggal, saya lihat ternyata yang satu lembar itu, isi kitab taurat yang menyebutkan bahwasanya nanti akan turun Nabi yang namanya Ahmad, ismuhu Ahmad.

Jika kini para ahli agama banyak yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an bukan berangkat dari munasabah antara satu ayat dengan ayat lain atau ayat dengan hadist atau lafal ke lafal, sudah bukan hal baru.

Sejatinya, ayat-ayat al-qur’an itu ditafsiri dengan satu ayat ke ayat lain. Ayat ke hadits Nabi Saw. Mufassir bisa menafsiri dari kontek lafal ayat (siyaqul kalam). Dikaji dari lughah ayat. Dikaji dari asbabun nuzul ayat. Dikaji dari nasab lafal.

Jika ayat mutasyabihat atau ada lafal-lafal yang memang bisa ditafsirkan dari satu sudut berbeda, lantas ada perbedaan penafsiran, itu bukan kategori distorsi interpretasi. Selama ada nasab keilmuannya. Bisa dilihat dari tata bahasa arabnya, dari asbubun nuzulnya, dari cara ulama-ulama dahulu menfasirkan. Selama ada garis berargumen, perbedaan tafsir hal biasa.

Tetapi apa yang terjadi jika mereka menafsiri ayat-ayat al-Qur’an karena politik atau otak atik pikiran. Tanpa dibarengi kajian lughahnya, kajian asbabun nuzulnya, kajian siyaqul kalam, nasab lafal, keterkaitan ayat ke ayat, ayat ke hadits, saya kira hal itu memang tidak bisa diterimah oleh mereka yang masih jernih dalam berfikir.

bersambung…….
*Bupati Sumenep dan Pengasuh Ponpes
Al-Karimiyyah, Beraji, Gapura.

Dhimam Abror
Catatan

matamaduranews.com-PWI DUA kubu. Konflik PWI tentu berefek pada…