CatatanHukum dan Kriminal

Kasus ODGJ Sapudi, Keadilan untuk Siapa?

×

Kasus ODGJ Sapudi, Keadilan untuk Siapa?

Sebarkan artikel ini

Catatan: Hambali Rasidi

ODGJ Sapudi
Saat Sahwito di atas mobil pikap usai diikat oleh warga atas perintah istrinya Siti Nurtabia (FOTO Screnshoot Video)

matamaduranews.com-Anda bisa membayangkan: resepsi pernikahan adalah sebuah momentum sakral. Setelah janji suci diikat, sanak famili berkumpul untuk berbagi kebahagiaan. Bagi kedua mempelai, itu adalah hari yang ingin dikenang seumur hidup.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Soal biaya, tak perlu ditanya. Apa pun dilakukan agar resepsi berjalan layak dan bermartabat. Waktu, tenaga, dan pikiran dikorbankan berbulan-bulan demi satu hari kebahagiaan.

Namun momentum resepsi pernikahan di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Rabu pagi, 9 April 2025, berubah kacau balau.

Kekacauan itu dipicu kehadiran Sahwito—tamu tak diundang.

Tanpa basa-basi, Sahwito datang, duduk di antara deretan kursi penerima tamu, lalu mengamuk. Suasana yang semula khidmat berubah panik.

Bagi siapa pun yang masih berpikir waras, pertanyaannya sederhana: apa yang harus dilakukan tuan rumah dan keluarga besar mempelai ketika sebuah acara sakral dirusak oleh orang yang bertindak brutal?

Itulah yang dihadapi Asip Kusuma. Ia adalah saudara kandung tuan rumah, Abd. Salam (58). Ketika Abd. Salam ditonjok Sahwito di bagian dada, Asip secara refleks mendekat untuk melindungi.

Namun Sahwito semakin brutal.

Pukulan diarahkan ke wajah Asip. Beruntung, Asip sempat menangkis dengan menutup muka menggunakan kedua lengannya. Ia berusaha menghindar, tetapi Sahwito terus mengejar hingga keduanya terpelosok ke jurang atau saluran air di sekitar lokasi resepsi.

Warga dan para undangan segera mengevakuasi keduanya. Pada titik itu, resepsi tak lagi dipedulikan. Yang ada di benak semua orang hanyalah satu: menenangkan keadaan agar kekacauan tidak meluas.

Asip dan Sahwito berhasil dievakuasi ke atas. Asip mengalami luka di betis dan lengan. Sahwito juga mengalami luka-luka—entah di bagian mana, menurut kesaksian warga.

Namun kekerasan belum berhenti.

Alih-alih berterima kasih kepada warga yang menolongnya, Sahwito justru kembali murka. Maklum, ia diketahui sebagai ODGJ. Dalam kondisi emosi tak terkendali, Sahwito melakukan adegan yang menyerupai rear naked choke—mengambil posisi di belakang lawan, melingkarkan lengan ke leher, lalu mencekik hingga korban tak berdaya. Gerakan itu mirip teknik MMA yang kerap ditayangkan di televisi.

Kali ini, Musahwan (41) menjadi sasaran. Dikunci dari belakang, Musahwan tersengal-sengal. Posturnya kalah jauh dibanding Sahwito yang bertubuh atletis dan tinggi. Beruntung, Su’ud (53) datang membantu dan berhasil melepaskan kuncian dari leher Musahwan.

Su’ud adalah warga Gili Iyang, Kecamatan Dungkek. Ia hadir dalam resepsi itu atas undangan Sukilan, menantu Abd. Salam.

Situasi mulai mereda setelah Kepala Desa Rosong, Puri Rahayu, menyampaikan kabar penting. Ia mengaku telah menelepon Siti Nurtabia, istri Sahwito. Dalam percakapan itu, Nurtabia meminta agar Sahwito diikat dan dibawa pulang untuk dipasung di rumahnya di Desa Talaga, Kecamatan Nonggunong.

Atas permintaan tersebut, Senawi—saudara istri Sahwito yang juga hadir di lokasi—meminta warga mengambil tali. Salah satu yang terlihat mengambil tali adalah H. Musahwi, yang belakangan ditetapkan sebagai tersangka namun kemudian berstatus DPO.

Dalam potongan video yang ditayangkan di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Sumenep pada Kamis, 11 Desember 2025, terlihat Senawi turut mengikat Sahwito. Bahkan, ia bersama warga lain mendorong Sahwito ke atas mobil pikap. Saat itu, tangan Sahwito sudah terikat, wajahnya tampak luka-luka dan berlumuran darah.

Dari mana video itu berasal?

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hanis Aristya Hermawan, S.H., M.H. menghadirkan saksi AIPTU Kunto, Bhabinkamtibmas Polsek Nonggunong, yang memberikan kesaksian melalui Zoom. Dalam keterangannya, Kunto menyatakan bahwa video tersebut diperoleh dari orang tak dikenal dan dikirim kepadanya melalui Bluetooth.

Dalam sidang sebelumnya, 8 Desember 2025, saksi verbalisan Bripka Mastoyo dari Penyidik Polsek Nonggunong menyebut bahwa Su’ud (53), Musahwan (41), dan Tolak Edi (53) ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap ikut mengikat Sahwito. Pernyataan ini disampaikan Mastoyo saat menjawab pertanyaan kuasa hukum terdakwa, Marlaf Sucipto.

Empat orang—Asip Kusuma (55), Musahwan (41), Tolak Edi (53), dan Su’ud (53)—ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Sumenep dan kini harus meringkuk di penjara. Mereka dijerat Pasal 170 ayat (1) KUHP dan Pasal 351 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kuasa hukum para terdakwa, Marlaf Sucipto, menilai terdapat banyak kejanggalan dalam pasal-pasal yang disangkakan.

Menurut Marlaf, ironi besar muncul ketika istri Sahwito—yang sebelumnya meminta agar suaminya diikat—justru membuat laporan polisi keesokan harinya. Laporan itu tercatat dengan Nomor: LP/B/01/IV/2025/SPKT Polsek Nonggunong/Polres Sumenep/Polda Jatim, tertanggal 10 April 2025.

Asip Kusuma kemudian membuat laporan balik atas pemukulan yang dialaminya, tercatat dengan Nomor: LP/B/02/IV/2025/SPKT Polsek Nonggunong/Polres Sumenep/Polda Jatim, tertanggal 11 April 2025.

Namun, kepolisian hanya menindaklanjuti laporan dari pihak keluarga Sahwito. Sementara laporan Asip dihentikan melalui Surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan (SP3) tertanggal 23 Juli 2025, dengan alasan Sahwito sebagai terlapor mengalami gangguan jiwa/stres/gila sehingga peristiwa pidana dianggap tidak ditemukan.

Sebaliknya, dalam laporan keluarga Sahwito, penyidik justru menetapkan Asip Kusuma, Musahwan, Tolak Edi, dan Su’ud sebagai tersangka. Perkara ini kini memasuki tahap pembuktian di PN Sumenep.

Desakan Cabut SP3

Melalui kuasa hukumnya, Asip Kusuma mengajukan surat keberatan tertanggal 20 Oktober 2025 yang pada intinya meminta Polres Sumenep mencabut SP3 atas laporan pemukulan oleh Sahwito.

Marlaf mengakui bahwa Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) KUHP memang mengatur bahwa orang gila tidak dapat dipidana. Namun, menurutnya, penentuan seseorang gila atau tidak bukan kewenangan polisi.

“Penentuan itu adalah kewenangan pengadilan, bukan kepolisian. Polisi bertugas menyelidik dan menyidik, bukan mengadili,” tegas Marlaf.

Ia juga meminta agar perkara tersebut dibuka kembali melalui Gelar Perkara Khusus sesuai Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 33 ayat (1) huruf a Perkap Polri Nomor 6 Tahun 2019.

Selain itu, Marlaf mendesak kepolisian segera mengamankan Sahwito. Sebab, berdasarkan keterangan warga dan kepala desa setempat, Sahwito masih dibiarkan berkeliaran dan menimbulkan keresahan publik.

“Kepolisian memiliki kewajiban menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika Sahwito benar dinyatakan mengalami gangguan jiwa berat dan membahayakan, seharusnya ada tindakan preventif,” ujarnya.

Dugaan Kejanggalan

Menurut Marlaf, berbagai kejanggalan terungkap dalam persidangan pada Senin, 8 Desember 2025. Keterangan antar-saksi dinilai tidak konsisten dan saling bertentangan dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Ia juga menyoroti kesaksian seorang saksi yang mengaku melihat Asip dan Sahwito saling pukul, namun tak mampu menjelaskan detail sederhana saat diuji majelis hakim.

Lebih jauh, dua saksi yang dalam BAP menyebut adanya “saling pukul” justru menolak pernyataan tersebut di persidangan. Marlaf menilai hal ini akibat pertanyaan penyidik yang bersifat menuntun dan menjebak.

Tak hanya itu, visum et repertum terhadap Musahwan dan Abd. Salam yang juga diduga menjadi korban kekerasan Sahwito tidak pernah dilakukan. Bahkan, saksi verbalisan mengaku lupa terhadap hasil visum Asip Kusuma yang mencatat luka lecet di lengannya.

Marlaf juga mengutip keterangan dr. Utomo, ahli kejiwaan RSUD dr. Moh. Anwar, yang menyatakan Sahwito mengalami gangguan jiwa berat dan berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Namun ironisnya, Sahwito hingga kini masih berkeliaran bebas.

“Fakta-fakta ini justru memperkuat alasan agar laporan Asip Kusuma yang di-SP3 dibuka kembali, demi ketenteraman masyarakat dan demi penanganan yang tepat terhadap Sahwito,” tegas Marlaf.

Ia juga mempertanyakan penetapan DPO terhadap pihak yang disebut paling aktif mengikat Sahwito, sementara dokumen DPO itu sendiri diakui belum pernah dipublikasikan hingga saksi penyidik memberikan keterangan di persidangan.

Kasus ini pun menyisakan satu pertanyaan besar: keadilan untuk siapa?