matamaduranews.com-Di tengah gelombang protes atas revisi Undang-Undang KPK, DPR RI tetap mengesahkan UU KPK yang baru dalam rapat paripurna DPR yang digelar Selasa (17/9/2019).
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Sejumlah kalangan khawatir, KPK akan seperti “macan ompong” dalam menjaring pelaku korupsi. Dan membuka peluang transaksi antara koruptor dan penyidik.
Mantan Wakil Ketua KPK, M Jasin – salah seorang yang menyatakan kekhawatiran peluang transaksi – mencontohkan perubahan pada Pasal 12 UU KPK. Aturan di Pasal 12 menjelaskan penyadapan hanya terbatas pada tahapan penyelidikan dan penyidikan. Dan tidak termasuk penuntutan saat berkas perkara tersangka korupsi masuk ke dalam persidangan.
“Kalau dia teleponan dengan hakimnya, bagaimana? Terus ke penuntut umumnya, tolong ya nanti pemberkasannya diringankan`,” kata M Jasin, sebagaimana dikutip BBC Indonesia, Selasa (17/09).
Sebelum direvisi, penyadapan dilakukan sampai tahap penuntutan. Hal ini menurut M. Jasin sebagai langkah pencegahan terjadinya `main mata` antara tersangka dengan Jaksa dan Hakim.
Pemberian kewenangan untuk menghentikan dan menghentikan kasus (SP3) juga dinilai akan membuka celah transaksional kasus korupsi. “Orang itu kan ada khilafnya. Dihibur (penegak hukumnya), diajak transaksional karena transaksinya besar di SP3 itu,” kata M. Jasin.
Penangkapan Kepala Daerah Izin dari Presiden
Dengan UU KPK yang baru, langkah pemberantasan korupsi ke depan diperkirakan akan semakin melempem lantaran jalur penindakan teramat birokratis. M. Jasin menyoroti hal ini pada perubahan Pasal 46 UU KPK.
Singkatnya, sebelum direvisi pasal ini memberikan KPK kewenangan untuk menangkap dan menetapkan tersangka (pejabat negara) tanpa harus izin dari Presiden.
Tetapi setelah direvisi, KPK terikat dengan aturan lain yang menyebutkan penangkapan dan penetapan tersangka harus izin dari presiden.
“Kalau minta izin kan repot mau ditangkap tangan, atau disadap kan… minta izinnya terlalu banyak termasuk kepada dewan pengawas,” lanjut Jasin.
Dosen di UIN Syarif Hidayatullah ini juga mengutarakan pengalaman saat menjabat Wakil Ketua KPK. Kata dia, semua ruang lingkup penyelidikan berada di bawah pimpinan KPK sehingga lebih efektif. Kalau yang sekarang, akan lebih merepotkan.
“Kita membayangkan seperti itu, karena dulu izinnya hanya pimpinan KPK dan semua hal yang menyangkut tentang aspek hukum. Misalnya apabila ada kesalahan dan penyalahgunaan wewenang kan yang bertanggung jawab pimpinan KPK,” kata Jasin.
KPK Jadi Macan Ompong
Sementara itu, Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesian Corruption Watch (ICW), Lola Ester menilai sejak diwacanakan pada 2010, revisi UU KPK ini diniatkan untuk melemahkan KPK.
“Ya, sebutlah macan ompong, sebutlah jadi semacam komisi pencegahan korupsi. Meskipun memang tidak terlihat langsung secara jelas,” kata Lola melalui sambungan telepon, Selasa (17/09), seperti dikutip viva.co.id.
Berbeda dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung, KPK dalam proses penanganan perkara korupsi sejauh ini, menurut Lola, lebih efektif dan efisien. Dengan proses penanganan yang cepat ini, justru memberikan kepastian hukum.
“Nah KPK sedang menuju ke situ dengan proses yang cepat. Makanya dia dibikin satu atap ada penyidikan ada penuntutan. Langsung di KPK,” kata Lola.
Namun, perubahan UU KPK justru akan menghambat kinerja dari KPK, jelas Lola. Terutama, terkait dengan pembentukan Dewan Pengawas.
“Karena ada izin dari dewan pengawas. Dia bisa menentukan izin penyitaan penggeledahan, penahanan, bahkan penyadapan, dalam mekanisme sebelumnnya tidak seperti itu,” kata Lola.
Segera Digugat ke Mahkamah Konstitusi
Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi mengatakan lembaganya segera menggugat UU KPK yang baru disahkan ke Mahkamah Konstitusi.
“Kawan-kawan sudah menyiapkan untuk Judicial Review ke MK, segera,” katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (17/09).
Hal yang dijadikan landasan hukum, kata Fajri, pengesahan revisi UU KPK cacat prosedur. Menurut aturannya, revisi UU KPK tak bisa disahkan karena tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas).
“Ada beberapa hal prosedural yang ditabrak oleh pembentuk Undang-Undang,” kata dia.
Publik juga tidak pernah didengarkan oleh pemerintah dan DPR dalam proses revisi UU KPK, termasuk tidak ada publikasi draf revisi UU KPK. (viva.co.id)