Mengenal Ponpes Raudlatul Falihin, Lombang Dajah, Blega

×

Mengenal Ponpes Raudlatul Falihin, Lombang Dajah, Blega

Sebarkan artikel ini
Kondisi Ponpes Raudlatul Falihin, Lombang Dajah, Blega. foto: Agus, Mata Madura

Pulau Madura seakan menjadi gugusan pesantren. Membentang dari timur ke barat. Bangkalan misalnya. Kota paling ujung  barat pulau garam ini merupakan salah satu kabupaten yang terkenal dengan lembaga pondok pesantrennya.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!
Kondisi Ponpes Raudlatul Falihin, Lombang Dajah, Blega. foto: Agus, Mata Madura
Kondisi Ponpes Raudlatul Falihin, Lombang Dajah, Blega.
foto: Agus, Mata Madura

MataMaduraNews.comBANGKALAN-Selain di perkotaan, daerah pedesaan di Kabupaten Bangkalan seakan menjadi basis pesantren. Seperti di Desa Lombang Dajah, Kecamatan Blega, terdapat pondok pesantren yang sudah berdiri sejak 1968 silam. Pondok pesantren yang dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatul Falihin itu didirikan oleh Kiai Haji Salathin Samsudin.

Alkisah, beberapa tahun silam, Kiai Haji Samsudin, yang merupakan ayah kandung Kiai Salathin waktu masih mondok sempat diberi isyaroh oleh gurunya KH Jazuli, Tengginah. Isyaroh bahwasanya suatu saat Kiai Samsudin akan memiliki keturunan yang bisa menerangi masyarakat.

”Ternyata isyaroh itu benar. Tepatnya pada tahun 1968, setelah Kiai Salathin boyong dari pondok pesantren Jatipurwo Surabaya, beliau mendirikan pondok pesantren setelah sebelumnya sempat mengasingkan diri, bahkan sempat dianggap orang gila oleh warga sekitar,” kata Kiai Haji Abdul Karim Salathin, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Falihinkepada Mata Madura.

Awal cerita keluarnya Kiai Salathin dari pengasingannya itu, menurut Kiai Abdul Karim, bermula pada suatu waktu. Adalah Bajuri, salah satu orang kaya di Desa Lombang Dajah yang memiliki banyak hewan ternak, suatu ketika meminta Kiai Salathin untuk membawa pakan ternak yang sudah ada di kandangnya untuk dibawa ke jalan raya. Kemudian diminta membawa kembali pakan itu ke kandang, dengan harapan Kiai Salathin dianggap sudah waras oleh warga sekitar. ”Karena selama ini Kiai Salathin hanya berdiam seorang diri di dalam kamar, dan dianggap orang gila,” tambah Kiai Abdul Karim.


Perlu diketahui, masyarakat Desa Lombang Dajah sebelumnya masih sangat minim pengetahuan tentang agama Islam. Sehingga tidak heran, walaupun di saat bulan puasa (Ramadlan) masih banyak ditemui warga yang tidak puasa, dan merokok di tempat-tempat umum dengan leluasa. Bahkan tepat di lokasi di mana saat ini berdiri masjid dan pondok pesantren Raudlatul Falihin, konon merupakan tempat paling angker dan menyeramkan. Tempat itu juga digunakan sebagai ajang berjudi, adu ayam serta berkumpulnya para perampok kala merayakan pesta pora sambil meminum minuman keras. Tidak heran di sana banyak ditemukan tengkorak kepala sapi yang ditengarai bekas pesta pora dari hasil sapi rampokan. Penemuan itu terjadi pada saat dilakukan pembangunan masjid dan pondok pesantren di tempat tersebut.

Kembali pada cerita berdirinya ponpes, setelah Kiai Salathin pulang dari nyantri dan mendirikan mushalla, maka semenjak itulah masyarakat Desa Lombang Dajah sedikit demi sedikit mulai mengenal peradaban Islam. Dan tepat pada tahun 1969 akhir, Kiai Haji Usman Aly Zaki yang merupakan guru Kiai Salathin rawuh atau datang berkunjung ke kediaman Kiai Salathin. ”Saat itulah diresmikan berdirinya pondok pesantren Raudlatul Falihin, yang sebelumnya masih sebatas menggelar pengajian biasa di mushalla, dan santri pun belum mukim. Di waktu peresmian itu pula Kiai Usman meminta untuk langsung dibangun pondok pesantren dan masjid, di atas sepetak lahan,” jelas Kiai Abdul Karim.

Lahan itu milik Haji Abdulloh/Pakuki, salah satu warga kaya raya saat itu. Setelah mengetahui bahwa lahan tersebut milik orang kaya, seperti cerita Kiai Abdul Karim, Kiai Usman langsung menyuruh Kiai Salathin untuk langsung meminta lahan tersebut kepada pemiliknya. Maka berangkatlah sahabat Kiai Salathin, yaitu Haji Abubakar untuk menemui Haji Abdulloh untuk menyampaikan pesan Kiai Usman, yaitu meminta sepetak lahan yang dimilikinya untuk didirikan masjid dan pondok pesantren. ”Ibarat gayung bersambut, Haji Abdulloh mengizinkan sekaligus menyerahkan kepemilikan lahannya kepada Haji Abubakar dan Kiai Salathin,” kata putra kedua dari pasangan Kiai Salathin dan Nyai Suhairoh ini.

Betapa bahagianya Kiai Salathin setelah mengetahui bahwa sang pemilik tanah merestui pembangunan pondok pesantren dan masjid tersebut. Namun bukan berarti masalah telah selesai, dikarenakan saat itu Kiai Salathin yang juga sempat menimba ilmu di pondok Demangan Timur, tidak memiliki biaya pembangunan. Maka secara bersama-sama, sahabat Kiai Salathin bergotong-royong membantu biaya pembangunan pondok pesantren dan masjid. Mereka adalah Haji Abdulloh Surabaya, Abubakar Cirebon, Pak Holbari Cirebon, Pak Makki Jakarta, Pak Baijuri, Haji Zurkalam (anggota dewan), dan Pak Sarijo. Merekalah yang bahu membahu membantu biaya pembangunan masjid serta pondok pesantren Raudlatul Falihin. Tidak hanya kendala biaya, pada saat itu banyak juga ancaman serta isu yang mengganggu.

”Maka para sahabat yang terdiri dari tujuh orang di atas secara bergantian memberikan pendampingan, serta datang langsung mengawal pembangunan sampai pondok dan masjid tersebut berdiri dengan baik, tepatnya pada tahun 1977,” ujar Kiai Abdul Karim.


Tahun 2009 keluarga besar ponpes Raudlatul Falihin berduka. Hal itu dikarenakan, pengasuh sekaligus pendiri pondok pesantren wafat setelah kurang lebih 3 tahun dalam keadaan kurang sehat, dan keluar-masuk rumah sakit. Setelah sepeninggal Kiai Salathin, kepengasuhan pondok pesantren dilanjutkan oleh Kiai Haji Abdul Karim Salathin.
Di bawah kepemimpinan KH Abdul Karim, pondok pesantren terus berkembang dengan pesat. Pesantren ini sekarang telah dilengkapi dengan Lembaga Pendidikan formal dan lembaga-lembaga lainnya. Jumlah santri pun terus bertambah sampai. Saat ini ada sekitar 300 santri yang sedang menimba ilmu di pondok pesantren Raudlatul Falihin.
| agus/hasin/farhan