Catatan: Hambali Rasidi
Minggu kemarin, Komisi II DPRD Sumenep mengancam untuk mencoret anggaran Program Wirausaha Muda Sumenep. Ibarat gendang, Fraksi PKB DPRD Sumenep awal mula menabuh program Busyro-Fauzi;Â 5 ribu wirausaha muda.
Saya tak mau berasumsi kenapa Fraksi PKB hasil Pileg 2019 itu, tumben menohok program pemerintah yang diusungnya.
Dan juga tumben Komisi II DPRD Sumenep bikin ancaman. Kata pepatah orang Madura, kalau masih ada ancaman, belum masuk kategori reng tatag (pemberani, red.).
Saya punya cerita soal program mencipta 5 ribu Wirausaha Muda Sumenep (WMS). Dari awal. Sejak 2016 bergulir. Program WMS sudah kacau balau.
Kenapa? Banyak faktor. Pertama, OPD terkait WMS masih setengah hati. Program OPD tetap pakai tradisi lama. Hanya casing diganti WMS. Anggaran Rp 4 M yang diajukan satu OPD untuk 2020 itu bukan bentuk hibah. Sebagian masih dikelola OPD. Belanja barang masih dikelola OPD.
Kedua, Pusat Inkubator (PI). Sebagai pelaksana WMS, awalnya, tak diberi otoritas penuh melatih dan mendampingi peserta.
Idealnya, PI WMS itu, bertugas merekrut, melatih terus mendampingi praktek peserta WMS. Pola ideal itu, baru berjalan dua tahun lalu.
Ketiga, gairah peserta WMS.
Saya akan rinci sejak 2016. Saat itu, langsung digebrak rekrutmen 1 ribu peserta WMS.
Pola pikir (mindset) peserta waktu itu untuk mendapat bantuan. Maka berbondong-bondong yang akan ikut. Lalu, salah satu OPD minta jatah separuh peserta. Separuh hasil rekrutmen.
Peserta itu dikelompokkan sesuai bidang OPD. Yang melaksanakan pelatihan dan study banding itu, bukan PIWS. Melainkan OPD. Saat study banding ke Jogjakarta. Selama tiga hari, peserta diberi uang saku Rp 100 ribu. Bayangkan. Seriuskah? Anda bisa menilai.
Lebih tragis, kepala OPD itu lapor bupati. Semua bantuan ke peserta diatur oleh PIWS. Faktanya, by name by address, separuh ditentukan OPD. Orangnya tak jelas. Tapi ada di by name by address.
Karena menjadi gejolak. Bantuan itu dibatalkan oleh bupati. Bantuan alat untuk usaha catering, tata boga dan lainnya, tetap dilanjut. Itu pun alat catering untuk rumah tangga. Bukan untuk usaha.
Kejadian awal tahun program WMS itu dibenahi. Pola rekrutmen dilakukan serius. Disebar pengumuman rekrutmen ke pelosok kecamatan dan desa.
Animo peserta tinggi. Saat berlangsung pelatihan banyak yang tak aktif. Walau tiap hari ikut pelatihan ada uang transport. Hanya segelintir peserta yang serius. Maka alumni WMS 2017 bikin basecamp produksi. Tempatnya di JL Kartini.
Tiap hari para alumni itu, melayani orderan. Pasar sudah ada. Hanya yang serius menikmati pundi-pundi usahanya. Bantuan alat benar dinikmati alumni untuk berwirausaha.
Para alumni 2017 sudah mandiri. Mereka berpencar. PIWS masih belum publish siapa saja alumni WMS yang sukses mengumpulkan pundi-pundi usahanya.
Sekarang berganti ke alumni 2018. Alumni ini kosentrasi ke bagian konveksi, bengkel, cuci mobil dan kuliner. Mereka sukses melayani orderan bordir dari sekolah dan lembaga-lembaga. Bantuan alat mesin order itu dikelola alumni WMS.
Alumni WMS lain juga sukses berproduksi batik tulis. Para alumni WMS 2018 itu, tiap hari berporduksi. Saya order 10 kain batik tulis. Baru bisa dilayani 1 bulan berikutnya. Saking banyak yang order.
Batik tulis made ini WMS, punya ciri khas. Selain murah meriah. Mentor dari Jogja bisa menularkan ilmu. Mulai dari teknis perwarnaan hingga proses produksi.
Sebelum ada program WMS, bantuan alat dari OPD diterima mereka yang bergerak di UMKM dan home industri. Itu tiap tahun digelontorkan. Apakah bantuan itu, bermanfaat atau tidak. Pokoknya bantuan itu disalurkan. Begitu tiap tahun. Dianggarkan belanja barang. Setelah barang ada, baru disalurkan ke penerima.
Tidak ada transparansi. Siapa saja penerima bantuan alat UMKM itu.
Sama dengan Pokmas atau lembaga penerima hibah. Tak jelas papan namanya. Berapa puluh miliar bantuan/hibah kepada Pokmas dari APBD Provinsi.
Beruntung APBD Sumenep tak niru pola hibah APBD Provinsi.
Lalu, Pak Dewan berencana menghentikan atau mencoret program WMS. Serius?
Saya mau tertawa dulu, hehe..
Pesona Satelit, 4 November 2019