matamaduranews.com-Untuk kesekian kali saya mengutip istilah ‘tak melo enger’. Di beberapa grup WhatsApp. Istilah itu sebenarnya terinspirasi istilah dari para pengamat Jakarta. Lalu saya sadur ke bahasa Madura.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Tak melo enger ini sebuah realitas. Sebuah fenomena jamak dilakukan para politisi dan aktivis. Juga oleh siapa saja yang bersinggungan dengan kepentingan. Termasuk saya, sebagai wartawan. Saya harus jujur. Untuk apa berbohong. Toh publik sudah mengerti. Karena kepentingan itu sifatnya subjektif. Setiap individu punya kepentingan. Ketika kepentingan tak terakomodir. Itulah suara ktritis menggema. Sebaliknya, ketika kepentingan diakomodir. Kritisisme itu hilang. Lalu diam, seperti orang sariawan.
Fenomena “tak melo enger” adalah refleksi dari mereka yang lantang di forum-forum diskusi. Lalu tenggelam di balik kepentingan yang diakomodir. Mereka yang berjuang kebenaran tanpa lelah, lalu membela yang salah dengan kepentingan kontrak rupiah.
Mereka para politisi dan aktivis di Jakarta bersikap kritis kepada rezim berkuasa. Ketika ditarik dalam kekuasaan. Suara nyaring mereka hilang seperti ditelan bumi.
BSPS hanya sebuah tema. Di luar BSPS itu tema alam yang perlu diambil pelajaran.
Untuk apa kita berbohong?
Ingat, Iblis itu makhluk tanpa noda. Bahkan posisinya dikelompokkan sama dengan malaikat. Karena ketaatan beribadah kepada Allah. Tapi karena sifat angkuh. Menutupi ketaatan beribadah. Iblis tak mau bersujud ke Adam. Iblis dikeluarkan dari surga.
Sikap iblis sebuah pelajaran kepada kita. Sifat sifat egois itu. Yang tak mau merendah. Ingin menunjukkan ke-akuan. Itulah Iblis yang tak mau bersujud kepada makhluk yang dicipta dari tanah. Padahal dari keturunan Adam itu, ada Nabi Muhammad SAW-kekasih Tuhan paling dekat.
“Kalau bukan karena Nur-mu Muhammad. Tak akan Aku ciptakan alam dan seisinya,” inilah ungkapan populer di kalangan mistisisme Islam yang mengutip hadits qudsi.
Itu kenapa di sejumlah pesantren di Indonesia mengedepankan ajaran adab. Akhlak. Dalam tradisi Sumenep dikenal dengan istilah tengka. Yaitu sebuah cara menghargai sesama mahkluk. Mengaku salah jika berbuat tak baik. Tak perlu petenteng-petenteng. Biar tak menular sifat angkuh Iblis.
So…kepada mereka yang bersuara kritis. Belajarlah kepada kehendak alam. Sebelum dapat posisi strategis. Bersuara lantang. Sebelum ada kuota kue. Suara menggelegar di medsos.
Ingat kisah Malaikat Harut dan Marut. Dua malaikat itu diturunkan ke dunia dengan diberi nafsu, lazimnya manusia. Lalu apa yang terjadi pada Malaikat Harut dan Marut?
Harut dan Marut tergelicir pada perbuatan dosa. Karena dorongan nafsu, mereka berdua berbuat maksiat. Keduanya minta ampunan, tapi tetap dapat hukuman dari Tuhan.
Itu malaikat, bagaimana dengan kita manusia yang secara fitrawi sudah condong berbuat maksiat?
Itu kenapa Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk selalu merendah. Selalu bersandar kepada Allah. Kita manusia tak punya kuasa untuk menolak perbuatan maksiat. Dan tak punya kemampuan untuk berbuat taat. Kecuali diberi kekuatan oleh Allah untuk menghindari perbuatan maksiat dan minta diberi hidayah untuk berbuat taat sebagaimana yang diperintahkan.
BSPS hanya simbol dari sekian fenomena alam yang terus berputar. Bisa jadi kita bebas noda di BSPS. Bisa jadi di objek lain kita berlumur kemunafikan.
Tak perlu petenteng-petenteng mengaku bersih. Toh kita ini mahkluk yang sama. Mahkluk yang punya hasrat. Masih lunglai dengan tawaran dolar, rupiah atau handphone senilai Rp 27 juta. (hambali rasidi)